Tangerang Selatan (Memang) Masih Jelek, tapi Apa Ada Kota Pinggir Jakarta yang Lebih Baik?

Tangerang Selatan dan Jakarta Sama Aja, Sama-sama Baiknya Ditinggalkan

Tangerang Selatan dan Jakarta Sama Aja, Sama-sama Baiknya Ditinggalkan (Unsplash.com)

Saya sudah lama tidak menulis. Saya hanya menulis ketika ada dua hal: sedih dan jengah sehingga jadi uneg-uneg yang menumpuk. Salah satu dari unsur itu sudah memenuhi syarat untuk saya agar menulis artikel ini. Dan kali ini tentang Tangerang Selatan.

Ketika saya membaca artikel Tangerang Selatan dan Jakarta Sama Aja, Sama-sama Baiknya Ditinggalkan milik teman saya, Andi Hidayat, saya bangga sekaligus ngedumel sendiri. Tiba-tiba saya tersenyum pahit lantaran penulisnya pun, yang bangga dengan skeptismenya, masih tinggal di Tangerang Selatan, bukan di Rajeg atau Maja. Sebagai anak yang besar dan kini masih tinggal di Pamulang, saya merasa ini cukup harus diulas agar tak jadi perdebatan.

Tangerang Selatan ini bukanlah tempat yang layak-layak banget buat ditinggali, jika melihat kondisinya yang sumpek saat ini. Tapi, Tangerang Selatan bisa jadi sudah menjadi tujuan bagi banyak orang yang ingin menghemat 300 ribu demi tetap bergaya hidup ala anak-anak Selatan Jakarta. Termasuk teman saya itu.

“Itu ada kos-kosan di gang-gang Jakarta, kenapa Tangerang Selatan yang dipilih?”

Banyak dari kalian mungkin bertanya-tanya. Jika memang mau berhemat, masih banyak gang di Jakarta yang menyediakan kos murah. Tapi, kenapa Tangerang Selatan?

Begini. Keputusan bijak bagi para kaum-kaum bergaji UMR di Jakarta adalah tidak tinggal di Jakarta, ya kan? Katakanlah gaji Anda 5 jutaan, Anda masih bisa pilih Depok, Bekasi, atau Kota Tangerang. Kos-kosan di sana memang lebih murah sedikit dibanding Tangerang Selatan, ya sekitar 200 ribu lah bedanya, dengan AC dan kamar mandi dalam, dan akses kereta yang mungkin lebih oke.

Tapi, orang-orang tidak tahu bahwa menghemat 200 ribu itu terkadang juga bukan pilihan bijak. Apakah hemat 200 ribu jadi berarti jika harus menghadapi ruwetnya Margonda, akses utama dan satu-satunya warga Depok ke Jakarta (kecuali anda rela muter melewati Sawangan) setiap pagi? Atau, Daan Mogot yang bukan saja macet, menghadapi truk besar adalah makanan sehari-hari?

Ingat, Kota Tangerang ke Jakarta Barat saja sudah satu jam setengah tanpa macet, buktikan saja sendiri. Atau dua jam terjebak hanya demi lolos dari Bekasi dan terjebak lama di Kali Malang. Tangerang Selatan, mepet banget posisinya dengan Jakarta Selatan, paling biang macetnya hanya Ciputat. 

Dengan akses KRL yang sama, sama sama irit, dan transum yang sama-sama sedikit, dengan beberapa alasan di atas, Tangerang Selatan lebih layak disebut sebagai jangkar bagi warga UMR Jakarta. Anggap saja 300 ribu itu uang kompensasi untuk membayar kopimu lebih banyak di tiap sebelum rapat jam 9 pagi. Ironi memang, tapi ya itu potret permasalahan negara juga soal perumahan.

Tangerang Selatan sama Jaksel memang sama gaya hidupnya, tapi jauh lebih bersahabat

Saya mengamini harga kopi di Tangerang Selatan kini tembus Rp30 ribu, tapi aneh. Teman saya itu harus pergi ke Pamulang, di mana kopi sekitar Witana Harja, dengan harga kopi segitu, justru digandrungi oleh warga-warga kabupaten Bogor seperti Gunung Sindur atau Parung.

Lagi pula, di Jakarta Selatan, Pusat, dan Barat, harga kopi itu bisa lebih dari Rp30 ribu, hanya menjual tempat tanpa rasa, bahkan sebagian juga nggak nyaman-nyaman banget, mending di Tangerang Selatan. Banyak kopi-kopi di Tangerang Selatan yang lebih berani secara tempat dan rasa tanpa harus menghadapi macet dan masuk gang, serta masih di kisaran 30 ribu ke bawah. Bersahabat dengan kantong, gaya hidup tetap skena meski sekenanya. UMR sih, tapi bisa dihemat buat New Balance.

Masih memiliki harapan di harga makanan

Tentang harga makanan yang kian melambung, kita semua setuju ini bukan fenomena yang hanya terjadi di Tangerang Selatan. Dan itu harus disadari. Bos, Tangerang Selatan ini sejak awal kebanyakan daerahnya rawa dan bukan wilayah yang bergerak di sektor pertanian. Kalaupun bisa sebanding dengan Jakarta, harusnya jadi pertanyaan: mengapa bisa tetap murah?

Saya tinggal di Bandung hampir 5 tahun, dengan UMR yang jauh lebih rendah dari Jakarta, pada 2018 saja seporsi nasi rames pun juga minimal Rp13 ribu, tanpa daging dan ayam. Di warteg di rumah saya di Pamulang, saya mendapati nasi plus ayam dengan harga segitu, tambahan sayur, orek tempe, atau tumis usus. Apa sih yang perlu didebat?

Jadi sebenarnya sebanding dengan harga di daerah lain. Saya kira kita memang perlu melihat dari kacamata yang berbeda. Masakan enak tidak selalu harus mahal, dan Tangerang Selatan memberikan peluang lebih untuk menemukan kuliner lokal yang menggugah selera tanpa harus menguras kantong.

Baru belasan tahun, dan gabungan dari beberapa permukiman

Kalau ditanya mengenai ketimpangan infrastruktur, saatnya berbicara legenda dan sejarah, dan perlu berapa lama warga Jakarta Selatan berdebat mengenai MRT yang melewati Fatmawati dengan segala polemiknya kala itu.

Tangerang Selatan adalah daerah yang mungkin rumit karena persatuan dari beberapa wilayah perumahan swasta. Bisa jadi hanya Tangerang Selatan kota yang berdiri dengan menyatukan kompleks-kompleks perumahan dari yang dibangun BTN hingga swasta macam BSD, Bintaro Jaya, dan Alam Sutera. Ketiga daerah ini memang direncanakan untuk dibangun sebagai kota mandiri, namun sayangnya, mereka baru mengalami kemajuan sejak Tangerang Selatan berdiri di 2009.

Saya ingat betul macam Alam Sutera dan Bintaro sektor 9 dulunya adalah tempat jin buang anak. Rumah harga selangit dengan akses hanya tol, KRL pun belum berbenah, siapa yang mau tinggali? Mereka mungkin hanya melihat sekarang, namun pernahkah anda melihat bundaran di Bintaro sektor 9?

Oke, jika memang ketimpangan itu terjadi adalah hal kewajaran. Karena Tangerang Selatan ini baru berdiri tepat 12-13 tahun, Jakarta butuh 492 tahun untuk merasakan MRT, atau mundur ke-477 tahun di mana Transjakarta baru pertama beroperasi, bis butut Kopaja, metromini dan angkot itu juga pernah dan mungkin masih mewarnai Jakarta. Berbenah di umur yang sangat tua bukan halangan, dan Tangerang Selatan, di umur 8-9-nya, memiliki feeder bus di BSD dan Bintaro. Halo, emang Jakarta Barat tidak mengalami ketimpangan infrastruktur dengan pusat dan selatan? Jauuuuhh~~

Ini pun sekaligus menjawab beberapa infrastruktur yang belum lengkap, perpustakaan misalnya. Kota yang baru berdiri belasan tahun pun dinamika politiknya masih ribet. Mending fokus dengan infrastruktur utama seperti jalan atau berapa banyak sekolah yang dibangun dan gratis. Jangan sandingkan kami dengan kota yang sudah berdiri hampir 500 tahun seperti Jakarta.

Oke panas, tapi ini memang permasalahan seluruh wilayah pinggir Jakarta

Dan sekali lagi, tenang, BSD dan Bintaro Jaya itu dibangun dari lahan kosong. Wajar butuh puluhan tahun agar pohonnya rimbun, Saya masih merasakan hawa sejuk di pagi hari kalau di Pamulang, cuacanya kadang sedikit berkabut sebelum akhirnya polusi-polusi yang dikeluarkan dari knalpot Nobi skutik itu memenuhi ruang-ruang biru di Tangerang Selatan. 

Mana sih daerah pinggir Jakarta yang nggak panas? Bogor? Apaan. BMKG bilang di Oktober 2024 suhu di sana sempat mencapai 35,3-35,5 derajat Celcius.

Mungkin iya, cuaca panas di Tangerang Selatan memang tidak terbendung. Ciputat pun menjadi panas lantaran wilayahnya adalah kawasan penyambung dari Bogor dan Depok, asap-asap itu yang membuat Ciputat panas. Dan ini pun sejak Ciputat masih tergabung di Jakarta Selatan memang sudah panas. Tapi, jujur, panasan Bekasi dan Depok, bahkan Jakarta. Jakarta mana yang adem selain wilayah Menteng, Tebet, dan Kebayoran Lama? Sementara di Tangerang Selatan, masih ada Bintaro, Alam Sutera, Pamulang, BSD tahap awal. Serpong, nggak sepanas itu sih.

Jadi, kepada penulis yang berniat meninggalkan Tangerang Selatan: saya mengajak Anda mempertimbangkan kembali. Uang kos lebih hemat, infrastruktur transportasi masih oke-oke aja,  dan lain-lain. Jadi, apa ada alasan lain untuk meninggalkan Tangerang Selatan?

Penulis: Ilham Dwiputra
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 4 Keanehan yang Kamu Rasakan kalau Tinggal di Tangerang Selatan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version