Barangkali bukan cuma saya di sini yang sering memperhatikan betapa banyaknya orang yang sering mengeluh akan cuaca yang kadang sangat panas, tapi sejam kemudian hujan deras. Biasanya banyak yang berkoar-koar mengaitkan keadaan cuaca ini dengan isu climate change dan global warming. Bahkan tidak segan-segan menunjuk suatu pihak dan menuduh tidak peduli dengan isu climate change atau perubahan iklim ini, seakan paling paham dan telah berkontribusi banyak.
Anehnya, perhatian orang-orang terhadap isu perubahan iklim ini hanya bertahan 15 hingga 30 menit. Setelah merasa puas dengan ceramahnya, mereka semua berhenti memperhatikan isu ini dan kembali mengerjakan aktivitas masing-masing.
Tapi hal ini bikin saya jadi penasaran, kenapa sih orang-orang denial banget terhadap isu perubahan iklim? Mereka seperti sadar akan dampak dari perubahan iklim ini, tapi tetap memilih untuk tidak peduli.
Rasa penasaran saya ini terjawab ketika saya lagi sibuk ngulik-ngulik buku bacaan di toko buku. Ada satu buku yang langsung menarik perhatian saya, karya George Marshall dengan judul Why Our Brains Are Wired to Ignore Climate Change. Sebenarnya, saya jarang baca buku nonfiksi, tapi entah kenapa kali ini saya nggak pake mikir buat beli buku itu. Saya sependapat banget dengan judul buku itu. Saya merasa orang-orang tuh seperti terikat untuk nggak peduli dengan permasalahan perubahan iklim.
Padahal sebenarnya saya udah nabung lama buat beli buku idaman lain yang pengen banget saya baca, tapi gapapa, siapa tau saya bisa jadi the next Greta Thunberg. Uhuk.
Secara garis besar, buku ini menjelaskan alasan mengapa banyak manusia memilih untuk tidak peduli terhadap isu perubahan iklim. Buku ini juga menjelaskan bahwa tantangan utama dari isu perubahan iklim bukanlah dari segi ilmiah maupun teknis, melainkan dari segi psikologis manusia sendiri.
Salah satu teori psikologis yang bersangkutan dengan sikap denial dan ketidakpedulian manusia dengan isu ini adalah Terror Management Theory (TMT; Greenberg, Pyszczynski, & Solomon, 1986). Sederhananya, manusia memiliki model pertahanan untuk melindungi diri mereka sendiri dari kekhawatiran tentang kematian (mortality salience).
Ini menjelaskan kenapa masih banyak manusia yang memilih untuk membalikkan badan terhadap isu ini. Mereka memilih untuk tidak peduli dibandingkan harus memikirkan kematian yang akan meneror mereka yang diakibatkan oleh perubahan iklim.
Hal ini juga berkaitan dengan Neglect of Probability, yaitu salah satu bias kognitif yang menyebabkan seseorang untuk mengabaikan probabilitas tertentu, di mana seseorang tersebut akan menimbang positif dan negatif saat akan mengambil keputusan, kemudian memilih solusi yang paling positif dan mengabaikan kemungkinan-kemungkinan negatifnya.
“Hidup saya udah cukup bermasalah, ngapain lagi saya memikirkan sesuatu yang jelas-jelas cuma akan menambah masalah?” begitu kurang lebih alasannya. Padahal, probabilitas negatif yang diabaikan punya dampak jauh lebih parah.
Dan nggak cuma orang-orang yang denial aja, saya juga sering menemukan opini orang-orang di media sosial yang berpendapat bahwa mereka skeptis isu perubahan iklim ini dapat ditangani. Emang sih, isu ini bisa dikatakan sangat abstrak dan berat, apalagi pengaruh atau dampaknya tidak langsung dan terasa seperti jauh dan masih lama, tapi bukan berarti nggak akan sampai pada kehidupan kita.
Di sini, cara sosialisasi dan pendekatan akan isu perubahan iklim kepada masyarakat berperan penting. Menurut saya pribadi, pendekatan isu perubahan iklim ke masyarakat akan jauh lebih efektif jika dilakukan dengan pendekatan secara pribadi dan emosional dari pada menjajarkan data-data saintifik. Menurut saya, masyarakat akan lebih mudah mengerti dan berempati jika isu ini disosialisasikan secara pendekatan emosional.
Bukannya saya nggak setuju dengan informasi-informasi isu perubahan iklim berbasis data saintifik hasil penemuan para saintis. Justru pendekatan ini sangat esensial, terutama untuk memaparkan hal-hal rasional terkait isu. Hanya saja, menurut saya, pendekatan secara emosional juga sama pentingnya. Apalagi jika disampaikan oleh seseorang yang memiliki pengaruh besar.
Sederhana saja, selain memberitakan isu perubahan iklim menggunakan kata dan data yang hanya Tuhan dan para saintis yang ngerti, kita juga dapat mengoptimalkan media sosial dengan sejuta influencer-nya untuk membuat konten menarik tentang isu ini dengan cara yang dapat menyentuh emosi dan empati masyarakat luas. Misal, memaparkan contoh nyata akibat dari perubahan iklim, seperti dokumentasi para penguin yang kehilangan habitatnya karena lapisan es yang semakin menipis.
Selain itu, konsistensi juga penting. Saya optimis dengan kita semua bekerja sama untuk konsisten mensosialisasikan isu perubahan iklim ini, psikologi masyarakat perlahan-lahan akan tergerak untuk peka dan mau berkontribusi hal-hal kecil untuk paling nggak, nggak memperparah kondisi bumi kita. Sebab, hal ini bukan sesuatu yang akan terjadi di masa depan, semuanya sudah terjadi sekarang.
Penulis: Anissa Kinaya Maharani
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tertawa dari Awal Sampai Akhir Bersama Film Srimulat: Hil yang Mustahal