Kawasan Rest Area Tahura Gunungkidul: Pusat Belalang Goreng yang Penuh Cerita Tragis dan Mistis

Kawasan Rest Area Tahura Gunungkidul: Pusat Belalang Goreng yang Penuh Cerita Tragis dan Mistis

Kawasan Rest Area Tahura Gunungkidul: Pusat Belalang Goreng yang Penuh Cerita Tragis dan Mistis (Pixabay.com)

Kawasan Tahura Bunder menjadi salah satu jalan paling ikonik di Gunungkidul. Selain karena dijadikan rest area untuk bus-bus wisata, jalur ini menjadi ikon juga menjadi pusat kuliner aneka olahan belalang. Hampir setiap hari, para pedagang belalang goreng berjajar rapi di pinggir jalan.

Terus terang, saya suka dengan lintasan di kawasan Tahura, tentu saja pada waktu siang hari. Tapi kalau malam, ya, beda lagi. Sebab, meski sudah terpasang beberapa tiang lampu di pinggir jalan, tetap saja kalau malam hari, kawasan ini masih (terasa) gelap-gulita.

Di balik ramainya bus-bus pariwisata yang melintas di kawasan Tahura, tidak sedikit kisah tragis hingga mistis yang menyelimuti jalan ini. Saya pribadi, juga pernah mengalami nasib sial di kawasan Hutan Bunder Tahura, Playen, Gunungkidul.

Streng Putus dan orang baik yang berpakaian hitam

Ya, sekitar dua bulan lalu, streng atau V-belt Honda Vario saya putus di lampu merah Gading, persis setelah melewati kawasan Hutan Bunder atau Rest Area Tahura, Playen, Gunungkidul. Nasib sial yang terjadi sekitar pukul 1 malam itu menyebabkan kuda besi saya nggak mau diajak jalan. Mati total.

Terpaksa saya tuntun motor dengan pasrah. Belum genap jarak 600 meter, ada dua pemuda berpakaian serba hitam (seperti seragam bela diri) menghampiri. Saya panik bukan main, mengingat sudah larut malam dan jalanan tampak lengang. Tak ayal, keringat dingin bercucuran dan otak saya penuh dengan pikiran macam-macam.

“Kehabisan bensin, Mas?,” Tanya pria berpakaian serba hitam.

“Bensin aman sih, Mas. Nggak tahu ini tiba-tiba mati”

“Naik saja, Mas. Saya coba bantu dorong dari belakang”

Dengan lincah, dua remaja baik itu mancal postep motor saya. Perasaan sedikit lega nggak bisa saya tutupi. Butir-butir keringat yang menempel di pori-pori wajah, perlahan tapi pasti seperti diusap-usap semilir angin malam.

“Rumahnya mana to, Mas?,” tanyanya lagi sembari menjaga keseimbangan kaki.

“Semanu, Mas. Lha sampeyan?”

“Oalah, saya dekat situ (Playen, Gunungkidul). Dari Jogja to tadi?

“Iya, Mas, pulang kerja. Tadi ngopi-ngopi dulu sama teman sampai kemalaman, hehe”

Sepanjang perjalanan, nggak banyak yang kami obrolkan. Masing-masing fokus menjaga keseimbangan badan agar motor bisa melaju aman. Terlihat dari gaya kakinya saat step motor saya, tampak anak muda itu sudah sangat berkompeten mancal motor mogok. Pertahanan kakinya begitu kuat sehingga motor saya terdorong dengan lurus, stabil, dan kencang.

Tak ada bengkel buka 

“Maaf ya, Mas, cuma bisa dorong sampai sini (kawasan Tugu Tobong Gamping Gunungkidul). Tunggu saja, kayaknya overheat itu,” ujarnya.

“Siap, Mas. Matur nuwun, matur nuwun”

Sesaat setelah mereka pergi, saya putuskan untuk duduk di salah satu emperan Indomaret di Gunungkidul, lalu menelpon adik saya dan salah seorang kawan. Suasana jalanan saat itu cukup lengang, hanya ada dua kendaraan yang tampak parkir di gerai sejuta umat itu.

Tak sampai satu jam, adik ditemani kawan saya datang. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 malam. Tak banyak pilihan selain langsung menyetep motor sembari melihat-lihat barangkali ada bengkel yang masih buka.

Namun, sepanjang perjalanan, saya nggak melihat atau menemukan bengkel yang masih buka. Akhirnya, mereka dorong motor saya sejauh 8 kilometer, dari Tugu Tobong Gamping sampai depan rumah. Meski sedikit terseok-seok karena kurang ahli mancal motor mogok, tapi perjalanan cukup lancar dan sedikit ngos-ngosan. Alhamdulilah.

Pembunuhan hingga penemuan mayat di Kawasan Tahura Gunungkidul

Sampai rumah saya tertegun bin deleg-deleg. Saya nggak sanggup membayangkan seandainya streng saya putus tepat di tengah-tengah kawasan Tahura Bunder Gunungkidul itu (semoga nggak akan pernah). Pasalnya, selain dikenal gelap dan berliku, kawasan ini juga rawan tindak kejahatan.

Ya, nggak sedikit kejadian tragis yang pernah terjadi di kawasan jalan ini. Mulai dari penjambretan, kasus pembunuhan, hingga penemuan mayat.

Publik tentu masih ingat dengan penemuan mayat laki-laki yang terjadi pada tahun 2018 lalu. Korban bernama Sarwanto (38), warga Bantul itu ditemukan tewas di kawasan Tahura dengan posisi tengkurap. Penemuan mayat berbaju biru yang belum diketahui motifnya itu menambah daftar kasus kekerasan yang pernah terjadi di jalan Hutan Bunder. Sebelumnya juga pernah terjadi pembunuhan yang menimpa seorang perempuan pada Juni 2016 lalu.

Suasana jalan yang gelap dan banyaknya tindak kejahatan itulah yang bikin saya harus memacu sepeda motor sedikit lebih kencang setiap melewati kawasan Tahura pada malam hari. Bahkan, sebelum memasuki kawasan Hutan Bunder Gunungkidul, nggak sedikit pengendara yang menunggu pengendara lainnya tepat sebelum pintu masuk, agar bisa berengan karena takut kalau melintas sendirian.

Jujur, ketika ada dua orang berpakaian hitam menawarkan pertolongan saat motor saya mogok, hati saya sebenarnya cukup takut dan waswas. Perasaan ini muncul bukan tanpa alasan. Sebab, selain santer terdengar banyak tindak kejahatan, juga ada cerita horor yang acap menghantui para pengendara.

Bengkel misterius di pintu masuk rest area Tahura Gunungkidul

Kejadian mistis di kawasan Tahura Bunder Gunungkidul datang dari Irfan, salah seorang kawan sekaligus tetangga dekat saya. Pria berkulit sawo matang itu beberapa tahun lalu motornya juga pernah mogok di kawasan Tahura. Bedanya, kalau motor saya mogok gara-gara streng putus, motor Irfan mogok karena kehabisan bensin. Tapi, tampaknya Irfan sedikit lebih sial. Sebab, motor dia kehabisan bensin tepat di dekat pintu masuk Rest Area Tahura.

Irfan bercerita, kejadian kehabisan bensin ini terjadi pada pukul 01.30 WIB. Kebetulan saat itu dia sendirian alias nggak bawa boncengan. Setelah memastikan kalau bensinnya benar-benar habis, dia langsung mendorong motornya dan berniat ingin membeli bensin di SPBU Gading.

Menurut penuturan Irfan, jalan di kawasan Tahura Gunungkidul benar-benar sepi dan bahkan dia nggak melihat ada pengendara lain yang melintas. Selama mendorong motor, dia melawan segala rassa takut dengan membaca salawat Nabi. Sekitar 200 meter dari tempat kejadian, persisnya di pintu masuk Rest Area Tahura, dia melihat bengkel pintunya tertutup, tapi di depannya ada bensin eceran.

Perasaan lega sedikit menyelimuti hatinya. Doa-doa (sepertinya) dikabulkan. Tanpa berlama-lama, dia pun langsung memanggil tukang bengkel sembari mendekati rak bensin eceran. Tapi, tukang bengkel itu tak kunjung keluar. Padahal Irfan mendengar ada suara tawa beberapa orang laki-laki di dalam bengkel berpintu itu.

Dua sosok hitam

“Permisi, beli bensin,” panggil Irfan.

Tak ada jawaban. Irfan memanggil beberapa kali, sebelum akhirnya mendapat respons dari tukang bengkel.

“Jupuk dewe mawon” kata pemilik bengkel itu.

Irfan segera mengambil bensin 2 liter yang ada di rak itu. Tampak suara tawa kembali terdengar dari dalam bengkel. Setelah menuangkan bensin ke dalam tangki motor, Irfan memanggil tukang bengkel dan berniat ingin membayarnya. Tapi, tanpa sepengetahuan Irfan, ada dua orang berpakaian serba hitam berdiri di belakangnya.

Kepala dua laki-laki itu menunduk. Sampai sekarang, Irfan nggak bisa menggambarkan bentuk wajah mereka seperti apa. Yang Irfan lihat hanya dua pria bertubuh ceking dan berpakaian serba hitam.

“Berapa, Mas,” tanya Irfan.

Sekali lagi, tidak ada jawaban. Tanpa pikir panjang, Irfan langsung menyerahkan uang Rp20 ribu kepada tukang bengkel yang sudah membuka telapak tangannya. Dengan perasaan yang mengganjal, Irfan langsung naik motor dan memacu Honda Beat-nya dengan kencang tanpa menoleh ke belakang.

Tidak ada bengkel di depan pintu rest Area Tahura Gunungkidul

Sepanjang sepengetahuan saya, yang sudah ratusan bahkan ribuan kali melintas di kawasan Tahura Bunder Gunungkidul, belum pernah melihat bengkel yang berada di depan pintu masuk rest area ini. Irfan pun sebenarnya juga demikian. Tapi, waktu itu Irfan berpikir kalau ada bengkel baru di lokasi ini.

Ketika sampai rumah, Irfan sadar kalau ada yang nggak beres dengan kejadian yang baru dia alami. Keesokan harinya, dia memastikan keberadaan bengkel tersebut. Namun, bengkel itu tidak ada. Merasa kurang puas, sepulang dari kerja sekitar pukul 7 malam, dia kembali memastikan. Lagi dan lagi, bengkel yang sudah menolongnya itu sungguh-sungguh tidak ada.

Ya, memang nggak ada bengkel di dekat pintu masuk Rest Area Tahura Gunungkidul. Sebenarnya, cerita tentang bengkel misterius itu sudah santer terdengar di kalangan para pejalan yang sering melewati kawasan Hutan Bunder. Irfan pun baru tahu tentang urban legend itu setelah kejadian yang menimpanya.

Sama-sama baju hitam, jangan-jangan…

Beberapa waktu lalu, saya kembali bertemu dengan Irfan karena masih penasaran dengan ciri-ciri dua pria berpakaian hitam itu.

“Ciri-ciri wujude jane kepiye sih, Pan?,” tanya saya.

“Ya itu, berpakaian serba hitam”

“Pakaiannya kayak seragam bela diri?”

“Lha iya, persis kaya gitu,” jawab Irfan sembari makan gorengan.

Sampai di sini saya jadi ingat sesuatu. Apalagi kalau bukan peristiwa streng putus di Gading, Gunungkidul. Bulu kudu saya sudah merinding. Tatapan mata saya kosong dan keringat dingin kembali membasahi tubuh ini.

“Serius, Pan? Ada logo PSHT ndak yo di seragam serba hitam itu?,” tanyaku sekali lagi.

“NGGAK ONO LAH,”

“Alhamdulilah…”

Ya, saya ingat kalau dua orang yang membantu dorong motor saya adalah kawan-kawan PSHT. Terlihat dari logo yang saya lihat ketika sampai di depan Tugu Tobong Gamping, Gunungkidul. Keringat dingin yang menempel di pori-pori wajah perlahan saya perlahan sirna. Plong dan lega.

Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Mengenal Gunungkidul, Kabupaten (yang Dianggap) Gersang yang Ternyata Dulunya Dasar Laut

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version