Tagline ‘Harga Kaki Lima Rasa Bintang Lima’ Sebaiknya Jangan Dipakai Lagi

harga kaki lima rasa bintang lima

harga kaki lima rasa bintang lima

Saat ini dunia sudah bertransformasi menjadi serba canggih, mulai dari belanja online, bank digital, mobil listrik dan banyak hal-hal lain lagi yang serba canggih. Nah, dari sekian banyak hal-hal canggih dan high-tech di Dunia ini. Ada satu hal yang makin hari makin membuat hati saya gelisah, membuat hati tidak nyaman yakni masih maraknya penggunaan tagline ”harga kaki lima, rasa bintang lima”.

Kita semua tahu jika tagline “harga kaki lima rasa bintang lima” sudah ditemukan bahkan dari sebelum dunia ini ditemukan alias sudah lamaaa banget. Ya walaupun nggak selama itu sih, tapi tetap saja sudah lama. Tapi saya heran, kok masih banyak orang yang pakai tagline tersebut buat usaha kulinernya. Apakah masih efektif tagline tersebut digunakan dalam era saat ini? Atau justru sebaliknya?

Terlepas dari itu, saya punya beberapa alasan mengapa tagline “harga kaki lima rasa bintang lima” jangan dipakai lagi.

Pertama, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Tagline tersebut sudah sangat lama ditemukan. Dan jika tagline tersebut diibaratkan menjadi manusia, tentu usianya sudah sepuh atau uzur. Dan kalau manusia sudah tua jadi apa tahu kan? Betul, sudah tidak tangkas dan trengginas lagi. Apalagi jika tagline tersebut diibaratkan menjadi alutsista atau senjata. Bukannya meledak di area musuh, tapi meledak di area sendiri. Atau dalam kata lain usaha yang masih menggunakan tagline tersebut dicap sebagai usaha yang kuno, tidak mengikuti perkembangan jaman.

Kedua, yakni tagline “harga kaki lima rasa bintang lima” sudah melebihi batas. Seperti yang kita ketahui, jika kita harus selalu sadar diri. Ketika kita menjual makanan dengan harga yang murah, tidaklah perlu kita mengharap rasa seperti di rumah makan atau hotel bintang lima. Selain itu tagline semacam ini memberikan harapan semu serta cenderung memberikan gambaran yang salah mengenai rasa makanan di hotel atau restoran bintang lima kepada pelanggan mereka. Terutama bagi saya yang belum pernah makan di tempat bintang lima.  

Ketiga, merupakan faktor utama mengapa tagline tersebut jangan digunakan lagi. Yakni tidak nasionalis. Bayangkan saja tagline tersebut melanggengkan sistem kelas sosial yakni penggunaan istilah “bintang lima”. Hal tersebut sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sila-5 atau sila terakhir yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Hal semacam ini tentu saja tidak boleh dibiarkan, harus diawasi keberadaannya. Takutnya jadi bibit-bitit pemberontak pancasila.

Jika perlu malah harus dilakukan TWK atau tes wawasan kekulineran terhadap pemilik usaha yang masih setia menggunakan tagline “harga kaki lima rasa bintang lima” ini. Nanti langsung mendadak saja tesnya, dan pertanyaannya dibuat yang kontradiktif. Misal, “Lebih baik berdagang atau lebih baik makan?”, atau, “Soto lamongan atau soto kudus”. Hal semacam ini harus sesegera mungkin dilakukan sebagai langkah antisipasi serta pencegahan untuk ke depannya.

Kemudian, para pedagang yang tidak lolos tes wawasan kekulineran ini harus ditindak tegas dengan tidak boleh membuka usaha kuliner lagi. Dan jika di kemudian hari terjadi protes besar-besaran oleh pedagang makanan yang tidak lulus TWK untuk meminta ijin berdagang lagi, jangan berikan izin tersebut. Atau saya punya saran, bagaimana jika pedagang yang tidak lulus tes diminta berjualan mainan saja, ya misal pistol-pistolan.

Kalian bingung sama yang poin ketiga? Sama, kek saya bingung kenapa tagline itu masih dipake sampai sekarang.

Intinya, tagline tersebut sudah sebaiknya tidak dipakai. Harga murah itu udah poin yang cukup ampuh untuk menggaet pelanggan. Atau kalau mau dipakai, bikin inovasi yang baru. Contoh, harga kaki lima rasa yang pernah ada. Gitu.

Lucu kan? Lucu lah ya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version