Banyak stereotip tentang jurusan Sastra Jawa. Kebanyakan terkesan horor, sih. Seperti yang akan saya bahas di tulisan ini.
Saat semester-semester awal, kami ada mata kuliah Tembang Macapat. Tugas kami selama satu semester adalah harus menguasai dan harus bisa menembang sebelas tembang macapat. Tembang macapat tersebut adalah Mijil, Megatruh, Sinom, Kinanthi, Gambuh, Maskumambang, Durma, Asmarandana, Dhandhanggula, Pangkur, dan Pocung.
Kami pun juga harus menguasai per tembang dengan laras slendro dan pelog. Sedangkan untuk laras slendro sendiri ada slendro pathet sanga dan slendro pathet manyura. Untuk pelog, ada pelog pathet nem dan manyura. Laras ini sesuai dengan suara gamelan. Kalau laras slendro biasanya nadanya lebih semangat, sedang pelog ini lebih mendayu-dayu. Dan kami harus memilih satu laras pelog dan satu laras slendro per tembang macapat. Misal, untuk tembang Durma, kami harus menyelesaikan satu laras slendro dan satu laras pelog. Terserah pilih yang mana.
Sebagaimana mahasiswa yang harus belajar, kami pun juga harus belajar di rumah maupun kos-kosan. Untuk mempersiapkan setor tembang keesokan harinya. Kebanyakan mahasiswa adalah anak kos-kosan. Sehingga, bila belajar nembang pada saat habis magrib, kami takut mengganggu tetangga beda jurusan dalam mengerjakan tugas. Yang jelas kami membuat kos-kosan jadi berisik. Pasti yang suka keheningan akan terganggu.
Maka, satu-satunya jalan adalah kami harus belajar saat keadaan sunyi dan penghuni kos sudah tidur. Sekitar pukul sebelas atau dua belas malam. Apesnya, karena mahasiswa, jadi jarang tidur. Banyak dari teman kos yang terjaga. Apalagi kamar saya tidak kedap suara. Jadi, saat saya menembang pasti terdengar sampai ke tetangga kosan.
Kalau di rumah sih nggak apa-apa. Mungkin hanya orang rumah saja. Kalau di kos-kosan ini, kadang teman-teman beda jurusan menganggap kami itu horor. Apalagi kalau yang punya latar belakang sebagai sinden atau pokok ahli dalam bidang tembang, suaranya pasti mendukung. Kalau bagi kami itu bagus, tapi untuk teman lain beda jurusan itu menakutkan.
Keesokan harinya, pasti saya sering mendengar teman kosan lain sambat, karena semalam saya latihan menembang. Mereka merasa bulu kuduk berdiri, merinding, takut, dan tidak bisa tidur.
Mohon maaf nih ya, teman-teman. Sepertinya pikiran kalian terkontaminasi akibat film horor yang menggunakan tembang Jawa sebagai pemanggil hantu. Lingsir wengi itu lo salah satunya. Ditambah suara sinden yang nggegirisi. Sehingga hal tersebut merekonstruksi pikiran-pikiran kalian, bahwa tembang berbahasa Jawa itu serem.
Padahal, kalau kalian mau belajar atau mau tahu aja tentang tembang macapat, tidak seserem itu, kok. Pahamilah bahwa tembang macapat itu sama dengan puisi dalam bahasa Indonesia. Hanya saja, tembang macapat lebih terikat aturan guru gatra (baris), guru lagu (rima akhir), dan guru wilangan (suku kata). Jika tembang macapat ditembangkan, itu sama seperti musikalisasi puisi.
Tembang Lingsir Wengi yang ada di salah satu film horor, liriknya diubah sedemikian rupa untuk memanggil hantu. Hal ini berbeda dengan tembang Dhandhanggula yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang justru sebagai doa penolak bala. Kemungkinan, Lingsir Wengi yang digunakan dalam film horor tersebut diambil dari tembang yang diciptakan Sunan Kalijaga. Bukan dari lagu yang dipopulerkan oleh Didi Kempot yang menceritakan tentang orang yang jatuh cinta dan terbayang-bayang di malamnya.
Tembang yang diciptakan Sunan Kalijaga ini juga setingnya tengah malam, seperti lingsir wengi. Sementara Lingsir Wengi yang ada di film horor itu lebih mirip tembang Durma, hanya saja baris terakhir harusnya memakai rima –i, bukan –e. Sedangkan tembang yang diciptakan Sunan Kalijaga menggunakan aturan tembang Dhandhanggula.
Biar lebih jelas, akan saya kutip tembang tersebut,
Ana kidung rumeksa ing wengi (ada lagu yang dikumandangkan tengah malam),
Teguh hayu luputa ing lara (yang menjadikan kuat selamat bebas dari semua penyakit),
Luputa bilahi kabeh (terbebas dari segala petaka),
Jin setan datan purun (jin dan setan tidak mau mendekat),
Paneluhan tan ana wani (segala jenis sihir tidak berani),
Niwah panggawe ala (apalagi perbuatan jahat),
Gunaning wong luput (guna-guna tersingkir),
Geni atemahan tirta (api menjadi air),
Maling adoh tan ana ngarah ing mami (pencuri pun menjauh dariku),
Guna duduk pan sirna (segala bahaya akan lenyap).
Tembang di atas nggak horor, kan? Wong isinya tentang doa agar jauh dari penyakit. Mungkin juga bisa dipakai untuk doa agar terbebas dari covid-19. Hanya karena dilagukan seperti di film horor saja, pikiran kalian sudah ke mana-mana. Haduh, sutradara film itu juga membuat kami mangkel. Gara-gara ulahnya, kami yang kena!
Dan untuk teman-teman, jangan takut ya kalau ada orang nembang Jawa. Bisa jadi tembang tersebut sebenarnya petuah untuk kita dari mbah-mbah kita dahulu. Supaya dalam menjalani hidup, kita tidak salah jalan.
BACA JUGA Masuk Jurusan Sastra Jawa Itu Harus Kuat Menghadapi Pertanyaan Aneh atau tulisan Ervinna Indah Cahyani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.