Hampir lima tahun merantau di Palembang, salah satu hal yang susah untuk dicari di kota pempek ini adalah hiburan ruang terbuka hijau. Untuk mengatasi kejenuhan di dalam rumah, saya dan keluarga termasuk yang sering jalan-jalan saat hari libur. Awal-awal memang cukup excited berkunjung dari satu mal ke mal lainnya sebagai tempat hiburan. Tapi kalau intensitasnya menjadi terlalu sering, memang nggak baik.
Terhitung sudah hampir semua mal di Palembang ini pernah kami kunjungi. Mulai dari mal-mal di tengah kota yang terkenal, seperti Palembang Icon, Palembang Square, dan Palembang Indah Mall, sampai yang agak minggir sedikit, yaitu Palembang Trade Mall dan OPI Mal. Satu dua tahun pertama memang belum terlalu bosan. Mengantar anak ke playground, window shopping beberapa outlet yang menarik, makan di food court atau restorannya.
Tapi, tahun-tahun berikutnya, malas juga kalau tujuan ke luar rumah malah ke mal lagi. Memang terhibur, tapi borosnya itu lho.
Jujur saja ke mal memang mencari kenyamanan karena sudah pasti bebas gerah, mau sholat atau ke kamar mandi juga nggak susah. Tapi, faktor lainnya, saya merasa nggak terlalu banyak pilihan tempat wisata di kota Palembang ini. Apalagi buat kami yang punya anak-anak kecil.
Setelah mal, destinasi tujuan berikutnya yang bisa menghibur hati di kota Palembang ini adalah kafe. Macam-macam sekali kafe yang bisa jadi pilihan. Mulai dari kafe estetik yang instagramable, kafe yang fokus ke racikan kopi dan menawarkan berbagai macam biji kopi dari seluruh Indonesia, sampai kafe yang sajiannya memang memanjakan lidah.
Tapi, lagi-lagi, kalau tiap akhir pekan ke mal, kafe, atau resto, boncos juga keuangan keluarga.
Keberadaan ruang terbuka hijau yang bikin miris
Sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang pembangunan infrastruktur modernnya cukup pesat, yang masih jadi PR besar bagi pemerintah kota Palembang adalah ketersediaan ruang terbuka hijau. Saat ini, ruang terbuka hijau (RTH) di kota yang terkenal dengan Sungai Musinya ini amat minim. Kalau disebutkan dua yang terkenal, yaitu Kambang Iwak Park dan Taman Wisata Punti Kayu, kondisinya pun sama sekali tidak ideal untuk memfasilitasi warga Palembang akan ruang terbuka yang baik.
Sebut saja Kambang Iwak Park yang malah lebih ramai jadi tempat berburu kuliner alih-alih berburu udara bersih. Bagus, sih, untuk pergerakan perekonomian. Tapi, dari sebidang tanah yang diperuntukkan sebagai RTH, bisa dibilang yang lebih dominan adalah fungsi sosial, budaya, dan ekonominya saja.
Sebaliknya, Taman Wisata Punti Kayu saat ini kondisinya makin mirip hutan yang tidak terawat. Walhasil, yang tadinya diperuntukkan sebagai taman, malah cenderung jadi tempat yang agak horor dan jadi relatif sepi pengunjung. Pada dasarnya, fungsi ekologis sebagai RTH-nya baik, tapi dari sosial, budaya, estetika, dan edukasi jadi kurang.
Dua tempat yang sebenarnya bisa jadi andalan kota Palembang. Tapi tidak optimal sebagai RTH karena perawatan dan potensi yang tidak dikembangkan dengan baik.
Lagi-lagi warga Palembang berusaha sendiri
Pada akhirnya karena fasilitas RTH yang tidak memadai, warga dipaksa untuk memutar otak sendiri supaya bisa mendapat manfaat dari paru-paru kota. Antara harus melipir ke pinggiran kota, seperti Kampung Gelam di Gandus atau memasuki daerah lain yang memiliki RTH yang lebih mumpuni untuk sekadar bernapas lebih lega dari padatnya polusi ibu kota provinsi.
Penulis: Izzatun Nisa Syahidah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Oleh-Oleh Palembang yang Sebaiknya Jangan Dibeli
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
