Surat Protes dari Perwakilan Kampret untuk Sandiaga Uno

sandiaga uno prabowo-sandi cebong kampret jokowi mojok

prabowo-sandi cebong kampret jokowi mojok

Selamat pagi, siang, malam, Bro Sandiaga Uno. Tergantung mas bro bacanya kapan. Pun ijinkan saya belaga sok asik pakai sapaan “ bro” seperti yang biasa Bro Sandi gunakan di kanal YouTube Bro Sandi. Santai saja, Bro, saya paham, politikus jaman sekarang kan pada penginnya merangkul kaum milenial. Yah, walau caranya kebanyakan norak, sih.

Lha Bro Sandiaga Uno manggil “Mas Bro” gitu biar kelihatan milenial, kalau saya yang pakai kok ya malah kelihatan seperti memaklumi boomer ya, bro? Wagu gitu. Ah, nggak masalah. Bukan itu inti yang mau saya luapkan kemarahan ini kepada Bro Sandi.

Oh iya, perkenalkan, nama saya Gusti. Biasa disapa “Gus” walau bukan lulusan pesantren, bukan juga saudaranya Agus Mulyadi. Bukan keturunan Keraton, darah saya seutuhnya berwarna merah, bukan biru. Bebas Bro Sandiaga Uno nyapa saya dengan sebutan apa. Mau manggil mas, bro, dab, coy, nyuk, su, ngan, apa pun itu, boleh.

Saya adalah fans fanatik Bro Sandi. Buktinya saya punya kaos pas Bro Sandi nyalon bakal wapres. Nggak percaya, bro? Itu lho kaosnya masih ada, di samping kompor rumah saya, jadi penahan jatuhnya minyak ke lantai.

Bahkan saya selalu memaknai atribut dari Bro Sandi, kan? Biar nggak mubazir. Walau gagal jadi cawapres, atribut Bro Sandiaga Uno tetap saya gunakan sampai kapanpun juga. Jadi gombal nggak masalah kan, bro? Yang penting berguna. Biar janji-janji selama kontestasi saja yang nggak berguna, atribut berupa kaos saringan tahu jangan.

Apalagi sisi milenial Bro Sandi yang selalu memikat perhatian. Dari mulai nabrak jembatan, sampai bikin konten di Instagram jadi superhero, wes to pokoknya sepak terjang Bro Sandi saya suka. Kapan lagi to ada politisi cum pengusaha sukses yang selo dan kurang gawean kayak Bro Sandi ini. Sungguh, saya kagum.

Kenapa kok saya bisa suka? Begini lho bro, soalnya selera saya itu suka sama yang wagu, maksa, dan norak gitu, Bro. Yah, bisalah kita bersepakat untuk yang satu ini. Kita bersepakat bahwa norak dan cenderung pekok bisa jadi poin plus—semisal—menang kontestasi.

Pokoknya makin norak, saya makin suka, bro. Apalagi politisi atau mantan pejabat publik seperti Bro Sandi. Ketika kebanyakan menjual gagasan dan harapan, Bro Sandi menjajakan sesuatu yang lebih realistis; hal norak dan maksa jadi milenial.

Dan Bro Sandi memenuhi asupan konsumsi hal-hal wagu itu. Gimana nggak ngefans coba, Bro? Sampai sini, jelas lah ya alasan mengapa saya suka dengan gelagat Bro Sandi? Sejak jaman tandem sama Anies, sampai duet maut dengan Prabowo, Sandiaga Uno selalu menjadi sesuatu di mata saya.

Sejak saat itu saya membaptis diri menjadi kampret yang kaffah, Bro. Wes pokoknya yang berhubungan dengan kecebong, apalagi kodok, saya bakal lawan mati-matian. Saya jadi buzzer tanpa bayaran, saya masuk grup pendukung Bro Sandi dan siap war dengan para cebong.

Kalau hal-hal ndlogok bisa dimasukin ke CV dan LinkedIn, wah kebak sudah laman bagian profesionalitas di CV saya, bro. Lha gimana, di desa saya ada yang cebong saja saya datengin sama kawan-kawan kampret. Poster Jokowi saya kleteki, tak ganti dengan wajah Bro Sandi yang berdikari indah mewangi.

Bro Sandi denger kabar nggak ada dua desa berseteru gara-gara kontestasi Pilpres 2019 lalu? Ya itu dia desa saya, Bro. Dua desa gontok-gontokan, nggak mau calon idamannya dinyek dan diplekotho. Segala dedikasi saya di muka bumi, saya limpahkan demi Bro Sandi. Saya sekolah bertahun-tahun, jadi pekok hanya dalam hitungan hari.

Saya juga jadi lebih Tuhan ketimbang Tuhan itu sendiri. Isu kebangkitan komunis saya dengarkan. Isu bahwa Jokowi keturunan Njoto pun saya manggut-manggut menyetujui. Saya jauh lebih pekok daripada ayam yang nglilir pukul tiga pagi, berkokok nggak tepat waktu.

Saya jadi lebih cerewet dan pandai politik dalam sekejap. Saya adalah kampret yang luar biasa. Buku puisi Chairil Anwar di rumah, saya ganti dengan puisi mengancam Neno Warisman. Sisi kemanusiaan sebatas mengasihani Ratna Sarumpaet. Slavoj Žižek saya tinggalkan lantaran Rocky Gerung adalah sohib Bro Sandi.

Pokoknya demi Bro Sandi, saya bertingkah begitu ngawu-awu baik di kehidupan nyata sampai di dunia maya. Semua saya sikat dengan urat. Jemari saya lebih jahat daripada siluman. Gimana, bro, betapa militannya saya, bukan?

Ndilalahnya, bagai hati seorang perempuan yang terluka, Bro Sandi telah menghianati kebodohan saya. Pertama dimulai ketika Bro Sandi jadi mesin tempur utama dalam memenangkan Gibran Rakabuming Raka di Solo. Saya masih biasa saja kalau ini, yah namanya juga politik, selicin belut dan sebau tahi.

Yang bikin saya nggak habis pikir, kok ya bisa-bisanya Bro Sandi ini masuk kabinetnya Jokowi. Prabowo nggak masalah, deh. Saya tahu tabiat blio sejak jaman tandem sama Megawati. Jadi ya lumrah ketika jadi menhan. Ini lho, mosok Bro Sandi junjunganku masuk kubu Jokowi. Hyung alaaah.

Melihat kondisi seperti ini, 2024 jadi nggak menarik, bro. Lha gimana, oposisi yang bakal saingan sama istana ya palingan hanya dua: Anies Baswedan dan kotak kosong. Yang terakhir paling realistis untuk melawan kekuatan besar istana.

Kalau sekadar melawan kotak kosong, Bro Sandi tahu lah kiat-kiatnya. Lha wong Gibran menang lawan kotak kosong saja berkat Bro Sandi. Eh, di Solo itu Gibran menang lawan kotak kosong kan, ya?

Eh nggak ding, nggak lawan kotak kosong. Tapi, rasanya kek kotak kosong sih.

Coba Bro Sandi mikir sebentar, diumpamakan Bro Sandi jadi saya. Saya lho, Bro, sudah melakukan banyak hal pekok, bentrok sama desa sebelah, muter-muter Ring Road buat kampanye, jadi buzzer tanpa bayaran, kok ya Bro Sandi malah masuk sarang “musuh lama”.

Bagi kampret senior seperti saya, ini namanya sudah jatuh malah njlungup! Saya nggak berani ke cakruk lho, Bro. Edan po, aku isin banget, Bro. Apalagi ketemu Mas Zainal cah lor ndesa yang merupakan cebong hooligan. Bisa-bisa saja dionek-onekke sampai kejer, Bro.

Entah karena Bro Sandi memenangkan Gibran atau apa pun itu, saya meminta pertanggungjawaban atas mencla-mencle-nya Bro Sandi. Nggak urusan. Ada rasa malu yang kudu Bro Sandi tanggung di tubuh kampret-kampret seperti saya ini.

Udah segini dulu, Bro. Saya mau menggulung poster-poster Bro Sandi di rumah saya. Mau saya masukan ke dalam lemari, bersama dengan rasa malu yang terus menumpuk dari waktu ke waktu.

Dari saya,

Kampret Palugada.

BACA JUGA Perbedaan Mendasar Nahan Berak di Bis dan Kapal dan tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

 

Exit mobile version