Sebelumnya kenalin, saya perwakilan dari Korawa, Duryodana sang putra sulung. Kalian pasti rata-rata sudah tahu cerita tentang permusuhan Pandawa dan Korawa. Tahu dari mana sih? Baca buku atau lihat serialnya di televisi?
Ah terserah kalian tahu dari mana, hanya saja kami sebagai tokoh yang dianggap antagonis kadang merasa sedih. Iya, kami sering nangis tengah malam, bareng-bareng seratus orang. Kami tahu, kalian para pembaca epos Mahabharata mati-matian membela Pandawa. Atau bahkan kalian sering memaki dan menyumpahi kami, para Korawa.
Sebel juga sih, sama pengarang cerita Mahabharata dan kalian para pembaca sekaligus pengagum Pandawa. Gimana nggak sebel, wong kalian banyak nyalahin kami. Tapi kalian sebenarnya tahu nggak sih kenapa kami begitu membenci Pandawa?
Jadi gini ya wahai netizen, khususnya netizen +62. Bukan tanpa alasan juga kok kami begitu tidak menyukai Pandawa. Ada beberapa alasan yang mungkin tidak kalian perhatikan di setiap bagian cerita Mahabharata.
Kalian tahu nggak kalau secara biologis Pandawa itu bukan anak dari paman Pandu? Iya, semasa muda paman Pandu terkena kutuk pastu dari seorang resi. Jika paman Pandu melakukan hubungan suami istri, ia akan langsung meninggal dunia. Jadi bibi Kunthi dan bibi Madrim itu hamil dengan bantuan para dewa. Dengan kata lain Pandawa bukanlah keturunan kakek Wicitrawirya, kakek kami.
Sampai sini jelas bukan? Pandawa seharusnya tidak berhak meneruskan pemerintahan di Hastinapura. Secara biologis kan kami yang keturunan kakek Wicitrawirya. Enak sekali mereka yang harus meneruskan pemerintahan di Hastinapura. Di mana coba letak keadilan dari si pengarang dan kalian para pembenci kami?
Lagi nih, ayah kami tunanetra. Ya, sosok ayah yang seharusnya menjadi panutan kami justru memiliki kekurangan. Baiklah mungkin tidak masalah jika anaknya hanya dua sampai tiga orang, lha ini seratus, Bro. Dan ibunda kami, Gandari, memilih untuk sering menutup matanya, mengikuti sang suami karena begitu besar rasa cintanya kepada ayah kami.
Saya Duryodana, yang kalian maki-maki sebagai tokoh yang paling kejam, memikul beban yang berat itu. Saya harus momong Dursasana dan ke-98 adik-adik saya, 99 laki-laki dan satu perempuan saja. Bayangkan saja, kalian sanggup nggak? Idih punya adik satu aja udah bikin kepala kalian pusing kan?
Belum lagi nih, dari kecil kami selalu bersama paman Sengkuni. Kalian tahu kan paman kami yang satu itu cerdas. Tapi ia licik. Kami sudah terbiasa dengan kelicikannya sejak kecil. Jadi, wajar nggak sih kalau kita lama-lama juga ikutan licik. Hayo coba ngaku nih kalian para tokoh Mahabharata, siapa yang merekomendasikan paman Sengkuni menjadi pengasuh kami?
Sekarang kalian merenung dulu, coba posisikan diri kalian sebagai Korawa nih. Punya sepupu tanpa hubungan darah dan mereka justru yang harus melanjutkan pemerintahan di Hastinapura. Ayah tunanetra, ibunda juga setia meniru sang ayah dengan menutup mata. Belum lagi kami berpusing ria dengan jumlah 100 saudara. Eh, justru kami diasuh oleh orang yang salah sejak kecil.
Kalau disuruh memilih ya, jelas sekali kami memilih untuk menjadi tokoh yang baik. Bisa menjadi panutan. Eits jangan salah, kalian udah baca bagian Swargarohanaparwa belum? Ya, itu bagian terakhir dalam epos Mahabharata. Di situ kami yang pertama kali masuk surga dan Pandawa masuk neraka, kecuali Yudhistira. Meskipun tidak lama.
Kaget? Wajar sih wong Yudhistira aja juga kaget melihat adik-adiknya dan Dropadi ada di neraka. Sedangkan para Korawa justru berada di surga. Kalian mungkin harus saya ingatkan dulu dengan pepatah Jawa ”Sakputih-putihe uwong mesthi ana irenge, sakireng-irenge mesthi ana putihe.” Artinya kurang lebih ’seputih-putihnya orang pasti ada sisi hitamnya, sehitam-hitamnya orang pasti ada sisi putihnya’.
Lalu apa maknanya? Jadi, yang perlu kita camkan adalah sebaik-baiknya manusia pasti memiliki kelemahan atau keburukan. Sedangkan seburuk-buruknya manusia pasti memiliki kelebihan atau kebaikan.
Ya, kami Korawa yang licik menempuh dharma dengan sebaik-baiknya. Kami membela negara kelahiran hingga tetes darah penghabisan dan mengorbankan segalanya. Bahkan ketika di ujung pertempuran saya diminta damai saya nggak mau. Lha damai mbahmu, adik-adik saya sudah banyak yang meninggal. Kami juga yang mengangkat Karna, anak Kunthi yang dibuang, menjadi raja di Kerajaan Angga.
Sedangkan Pandawa yang kalian anggap luhur juga memiliki kelemahan. Yudhistira yang suka main judi. Bhima yang rakus dan Arjuna pernah memperdaya seorang pemanah, Ekalawya. Arjuna itu juga playboy akut, buayanya buaya. Hingga Dropadi yang lebih menyayangi Arjuna daripada keempat suaminya (versi India Dropadi adalah istri dari kelima Pandawa).
Sudah jelas kan sampai di sini? Kami tidak meminta pembelaan dan belas kasihan kalian sih. Wong kami juga hanya wayang yang harus manut kersane dhalang. Hanya saja jangan terlalu membenci kami, ya. Salam hangat dari Korawa untuk kalian.
BACA JUGA Teori Soal Kenapa Orang Sunda Tidak Menikah dengan Orang Jawa dan tulisan Riski Fidiana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.