Saya bertugas di daerah pesisir selatan Kabupaten Trenggalek. Dari terminal Trenggalek yang berada di daerah kota (daerah pusat) perlu waktu sekitar dua jam untuk menempuhnya. Satu jam terakhir harus menempuh perjalanan berkelok ala pegunungan yang sungguh aduhai. Jalan-jalan tanjakan maupun turunan yang berbentuk huruf S, bahkan S kuadrat dengan tingkat kemiringan sekitar 45 derajat amat banyak dijumpai. Jalan tersebut menjadi amat mengerikan di kala musim hujan. Apalagi ditambah dengan bekas tumpahan oli mobil di sepanjang aspal yang menghitam.
Sudah jadi hukum alam bahwa sesuatu yang butuh perjuangan berat untuk mencapainya, pasti ada suatu hal yang spesial di sana. Demikian juga tempat tugas saya. Begitu berhasil melewati seluruh tanjakan dan seluruh turunan, tibalah saya di satu kecamatan di balik bukit.
Kecamatan tersebut masih sangat asri dan jauh dari polusi. Di musim tanam padi, sawah-sawah dipenuhi burung bangau berwarna putih yang berburu berudu. Perbukitan yang menghijau juga mengelilingi bagian barat dan utara. Sementara sepanjang pesisir selatan dan timur berhadapan dengan pantai selatan dengan ombaknya yang khas. Pantai yang jauh dari kata ramai dari pengunjung karena memang tidak dikomersialkan. Lagi pula, siapa yang mau susah payah melewati jalan sesulit itu?
Sungguh indah, bukan? Jika Anda merasa takjub, saya juga. Bahkan lebih dari itu. Saya sering mengupload foto saat berdiri di pantai, entah sendiri, bersama teman, atau foto alamnya saja. Kawan-kawan sampai berebut membubuhkan jempolnya untuk foto yang saya upload. Atau mereka buru-buru komentar, “Bagus sekali pantainya”, “Pengin liburan ke sana.” Saya cuma tersenyum geli menyimpan satu hal penting yang ingin saya utarakan.
Namun, saat ada salah seorang teman yang berkomentar, “Saya pengin hidup di daerah sana, dekat pantai, asri, jauh dari keramaian kota,” wajah saya benar-benar bersungut. Tidakkah mereka berpikir ulang sebelum mengatakan hal itu?
Saya membahas hukum yang kedua. Keindahan selalu sepaket dengan pengorbanan besar. Andaikan saja, paket pengorbanan ini ada dua. Paket pertama, tinggal di desa nan asri memiliki arti yang sama dengan jauh dari perkotaan. Tidak ada mal atau bioskop.
Baiklah, untuk kedua hal tersebut memang tak terlalu berpengaruh bagi saya yang anak rumahan. Berikutnya, tak ada toko buku, sering pemadaman, serta saat pemadaman sinyal sering hilang. Kami juga jauh dari terminal sehingga untuk keluar dari kecamatan nan asri itu amatlah susah. Kami perlu menumpang pick up yang kebetulan hendak ke kota untuk mengantar atau mengambil barang.
Sopir pick up akan sangat berterima kasih akan upah sekitar Rp20.000,00-Rp25.000 yang dibayarkan. Jika tak ada pick up lewat, ya silakan menunggu. Atau jika nyali sudah tebal, silakan menaiki kendaraan pribadi. Syaratnya hanya satu, yakin. Ada juga angkutan lain seperti kol. Namun, kita harus menyimpan nomor sopir dan menghubunginya untuk pesan layaknya travel.
Paket yang kedua adalah yang paling sering dibicarakan oleh orang-orang ahli Meteorologi dan Geofisika. Mereka amat ringan menyebutkan ancaman bencana tsunami di sepanjang pesisir selatan Jawa. Jika ada gempa sebesar delapan SR, ada kemungkinan datang tsunami yang gelombangnya akan menyapu daratan sepanjang sepuluh kilometer di depan pantai.
Saya tercekat. Saya orang yang baru tinggal satu tahun di sana. Saya tak punya sanak saudara di sana. Saya tinggal bersama salah seorang warga yang baik hati. Jarak rumahnya dengan pantai hanya selama kita menyanyikan selawat badar tiga kali. Tiap malam, dinginnya udara memudahkan cepat rambat gelombang bunyi. Suara ombak yang berdebur di pantai terdengar hingga ke dalam kamar saya. Tak ada seorang pun yang beraktivitas. Malam yang dingin dan sepi. Dengan kecamatan dikelilingi bukit dan pantai, saya tak bisa melakukan apa pun selain memegang tasbih di tangan kanan sambil menyebut nama Sang Maha Kuasa.
Bagaimana respons penduduk asli sana yang mendengar berita ini? Tentunya beraneka macam. Bergantung pada kepribadian masing-masing. Ada yang cemas dan berpikir untuk menjual rumah. Ada lebih banyak yang cuek karena selama ini sudah sering mendengar berita yang serupa. Ada lebih banyak lagi yang pasrah. Selama ini daerah tersebut telah menyediakan tempat tinggal, keluarga, dan pekerjaan. Bagi mereka, tak bijak mengutuk kemungkinan bencana yang terjadi buat tanah yang telah memberikan mereka kehidupan.
Kenyataan memang tak bisa di hindari. Risiko tinggal di daerah pesisir memang seperti ini adanya. Bahkan saya telah tiba pada satu simpulan, hidup ini hanya pinjaman. Kelak, yang memiliki hidup akan mengambilnya kembali. Harapan saya (mengutip dari pengajian Gus Baha) adalah keadaan sulit apa pun yang akan dihadapi semoga jadi penyebab rida-Nya.
Jari-jemari saya terus memutar tasbih saat ombak berdebur semakin kuat. Saya memejamkan mata. Diam-diam juga saya bersyukur. Berkat berita tersebut dan tinggal di daerah pesisir, saya sempat merasakan kepasrahan yang amat kepada Tuhan. Meskipun kemudian saya sadar, puisi Joko Pinurbo pernah menyindir orang-orang seperti saya. Yang ingat Tuhan hanya ketika HP-nya rusak dan semua nomor hilang, kecuali satu nomor, yaitu nomornya Tuhan. Bagaimana pun saya tetapi bersyukur, sekaligus malu.
Tiba-tiba, suara notifikasi dari gawai saya berbunyi. Lalu saya lihat ada seorang teman mengirim chatnya lewat story yang saya upload. “Saya pengin tinggal di sana. Saya sudah bosan hidup di kota.”
BACA JUGA Pesisir Barat, Mutiara di Pojok Tanah Sumatera