Satgas Covid-19: Dicari Saat Ada Paparan, Dimusuhi Saat Beri Imbauan

Suka Duka Jadi Satgas Covid-19: Dicari Saat Ada Paparan, Dimusuhi Saat Beri Imbauan terminal mojok.co

Suka Duka Jadi Satgas Covid-19: Dicari Saat Ada Paparan, Dimusuhi Saat Beri Imbauan terminal mojok.co

Akhir Juni 2021 ini sepertinya akan menyisakan keprihatinan Indonesia dan tak perlu diromantisasi dengan puisi Sapardi Djoko Damono “Hujan Bulan Juni.” Virus corona yang telah lama “mampir” di negeri +62 sejak Maret 2020, telah bermutasi menjadi varian delta yang mudah menular. Tak diduga varian yang berasal dari India ikut pula beranjangsana ke negeri ini. Lonjakan signifikan mereka yang terpapar di setiap wilayah NKRI telah membuat semua pihak terkejut, termasuk perumahan saya di sebuah wilayah Kabupaten di Jawa Barat.

Kebetulan saya berada di salah satu RW di perumahan tersebut, telah mempunyai satgas Covid-19 sejak 29 Maret 2020. Sebagai salah seorang satgas yang ditugasi pak RW membuat notifikasi paparan Covid-19 warga, Juni ini saya mencatat peningkatan drastis jumlah yang terpapar hingga 55 jiwa—baik yang terpapar karena klaster keluarga maupun klaster kantor.

Ditambah pula, potensi paparan kian terbuka mengingat Indonesia memasuki apa yang disebut BMKG sebagai kemarau basah, artinya walaupun musim kemarau tetap terjadi hujan sesekali seperti itu. Tak heran jika akhirnya imunitas tubuh rawan melemah dan fase kelelahan karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir. Ditambah demotivasi mengikuti berbagai langkah perlindungan, kewaspadaan yang semakin berkurang, dan cenderung abai pada protokol kesehatan semakin menambah paparan.

Meski sudah sangat menjaga prokes, tapi tanpa kita duga sang virus tetap menyasar tanpa pandang bulu dan usia. Saat ini notifikasi mereka yang terpapar hingga kematian yang disebabkan paparan Covid-19 sudah seperti e-flyer webinar yang bersliweran di grup percakapan pertemanan, kolega kerja, hingga perumahan. Ngeri sekaligus prihatin.

Selama menjadi satgas Covid-19, terselip suka dan duka selama saya menjalankan amanah sosial kemasyarakatan ini. Untunglah, istri dan keluarga kecil saya sangat mendukung tugas mulia yang cukup menyita waktu dan pikiran di luar jam kerja dan keluarga ini. Berikut suka duka yang saya dapat bagi.

#1 Dicari saat ada paparan

Sebenarnya, tak tepat juga poin ini dianggap suka. Pasalnya, meski saya suka dicari saat ada paparan Covid-19—karena menjadi ladang pahala saya melakukan 3T (testing, tracing, dan treatment) mereka yang bergejala dan terpapar, tapi sesungguhnya saya juga berduka karena otomatis bertambah jiwa yang terpapar.

#2 Merasa senang saat berhasil mengedukasi

Rasa suka lainnya adalah saat menyampaikan pesan-pesan kepada warga tentang informasi dan literasi Covid-19 dari sumber valid bukan hoaks. Juga menegur teman sendiri atau tetangga yang tak memakai masker atau yang sudah memakai masker tapi belum sempurna.

Di samping itu, menyosialisasikan tentang bahaya stigma negatif Covid-19 juga membuat saya bahagia jika berhasil mengubah mindset warga. Saat awal-awal pandemi, ketika kapasitas rumah sakit penuh buat isoman, seorang kolega saya di daerah lain, berkisah lebih memilih menginap di Wisma Atlet. Lebih aman dan terjamin katanya. Itu akibat stigma negatif. Untunglah di RW saya, sosialiasi melalui BC WA dan surat edaran RW, membuat warga sudah biasa mendengar paparan Covid-19—bahkan saling support baik supply makanan dan vitamin maupun semangat.

#3 Lega ketika membuat notifikasi release

Notifikasi release warga setelah 14 hari isolasi mandiri adalah momentum yang membahagiakan semua warga, termasuk saya yang mengetiknya penuh suka cita—tanda bertambah warga yang sembuh.

#4 Dimusuhi saat memberi Imbauan

Memberi imbauan prokes adalah momentum yang penuh tantangan. Pasalnya, masih ada saja yang menganggap kalau saatnya mati, ya mati saja. Duh, ini namanya pasrah, Hyung. Memangnya kalau mati ngubur sendiri? Nggak, kan? Tetap diurus warga. Belum lagi kalau kena Covid-19, ngajak-ngajak orang banyak jadinya.

Tak jarang akhirnya satgas “dimusuhi” warga yang menganggap Covid-19 adalah flu biasa atau yang membagongkan dianggap konspirasi global ala Lord Rangga. Padahal kan saat terpapar bukan hanya dirinya, lah kalau anak dan orang tuanya nggak sekuat belio imunnya? Bahkan sudah vaksin sekalipun bisa terpapar. Bagus kalau masih didoain cepet sembuh, kalau disalahin sama orang lain sebagai carrier?

#5 Sedih saat harus membuat notifikasi paparan

Membuat notifikasi paparan warga yang terpapar Covid-19 adalah momentum mellow saya. Sudah 100 lebih notifikasi yang saya buat sejak paparan pertama di RW saya—dimulai Oktober 2020. Hingga artikel ini saya tulis, saya baru saja menyelesaikan sebuah notifikasi paparan. Seorang yang positif tapi imbasnya 5 orang dalam keluarganya yang terdiri anak istri otomatis harus isoman semua. Sedih.

Di sini, saya tetap mengimbau agar teman-teman selalu waspada, tenang, dan beraktivitas dengan mematuhi dan menerapkan perilaku 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas). Paparan Covid-19 bukanlah aib dan pandemi belum berakhir. Semua proses penanganan harus kita dukung. Tetap lakukan 3T (testing, tracing, dan treatment) jika ada paparan dan bersiap untuk isolasi mandiri (isoman) mengingat rumah sakit semakin terbatas kapasitasnya.

Pastikan ventilasi udara bekerja dengan baik dan batasi durasi pembicaraan di ruang tertutup. Tak perlu pusing dan buang waktu dengan sikap mereka yang abai karena kata Sayyidina Ali r.a, “Teman yang bodoh lebih berbahaya dari musuh yang cerdas.”

BACA JUGA DPR ‘Pemburu Sunrise’: Wakil Rakyat yang Nir-Empati dan Kita yang Pelupa dan tulisan Suzan Lesmana lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version