Pernahkah kalian mendengar kalau lulusan SMA/SMK bisa bekerja selama 3 tahun di Jepang sebagai kenshuusei (pekerja magang)? Kerja sama program magang antara Indonesia dan Jepang sudah terjalin sejak tahun 1993.
Saya sendiri sudah hampir 10 tahun bergelut di dunia per-kenshuusei-an ini. Diawali sebagai pengajar bahasa Jepang di salah satu lembaga pengirim kenshuusei, lalu tesis S2 saya pun meneliti tentang mereka, membuat saya merasa ada semacam “kedekatan” dengan para kenshuusei.
Kenshuusei
Sebenarnya kenshuusei memang diasumsikan sebagai pekerja migran yang digaji kecil lantaran mereka dianggap masih magang, sementara perusahaan Jepang maunya menerima pekerja yang sudah profesional dan siap bekerja. Oleh karena itu, pemerintah Jepang membuat program ini.
Bagi tenaga kerja pemula, dia bisa bekerja di Jepang dan perusahaan Jepang bisa menggahi mereka dengan “uang saku” magang. Terlebih Jepang kekurangan tenaga kerja sektor informal karena anak muda Jepang sendiri jarang ada yang mau bekerja di tempat kotor dan bergaji kecil ini. Boleh dibilang perusahaan dan kenshuusei sama-sama diuntungkan.
Sayang kenyataannya tak seperti itu juga. Banyak kenshuusei yang diperlakukan tidak sesuai dengan kontrak kerja mereka. Lembur tidak dibayar, fasilitas tidak memenuhi syarat, diskriminasi orang asing, potongan gaji yang fantastis, dll. Meski begitu, pada tahun 2020 saja pekerja migran asing di Jepang dengan visa magang jumlahnya mencapai 251.721 orang. Peringkat pertama datang dari Vietnam dengan jumlah 104.800 orang, 79.959 orang dari Tiongkok, 25.740 orang dari Filipina, dan Indonesia yang menduduki peringkat 4 dengan jumlah 20.374 orang.
Kualitas kemampuan bahasa, fisik, dan kedisiplinan peserta magang menjadi “nilai jual” tersendiri. Terkadang satu perusahaan Jepang menerima kenshuusei tak hanya dari satu negara saja, lho.
Walau banyak dukanya, cerita suka para pekerja magang ini juga banyak, kok. Bisa mendapat pengalaman baru, berwawasan lebih luas karena tahu dunia lain yang tak kalah seru budayanya, bisa berbahasa Jepang dan keterampilan teknik yang bisa digunakan untuk melamar pekerjaan nanti, dan tentu saja cuan yang tak sedikit dari hasil tabungan selama 3 tahun.
Sebelum berangkat ke Jepang
Seorang calon peserta magang biasanya menjalani proses yang panjang untuk bisa sampai ke Jepang melalui jalur swasta. Awalnya, dia akan mengikuti pelatihan bahasa Jepang selama kurang lebih 2-3 bulan terlebih dahulu di sebuah LPK. Untuk bisa mengikuti pelatihan ini, calon siswa harus sehat dan lulus beragam tes yang telah ditentukan.
Setelah belajar bahasa Jepang, calon peserta magang akan diikutkan wawancara pekerjaan dari user perusahaan Jepang. Kalau dinyatakan lolos dan mendapat pekerjaan, dia akan kembali mengikuti pelatihan bahasa dan budaya Jepang dengan latihan fisik yang lebih ketat selama 2-3 bulan atau sampai Certificate of Eligibility (CoE) turun sehingga bisa mengajukan visa. Barulah kemudian calon peserta magang ini bisa berangkat ke Jepang.
Biaya yang dikeluarkan untuk pelatihan awal bervariasi, mulai dari 4 juta sampai 10 juta rupiah. Biaya tersebut meliputi belajar bahasa Jepang dasar, asrama dan makan, dll. Setelah mendapat pekerjaan, biaya pelatihan lanjutan sekitar 30 juta rupiah, meliputi 10 juta rupiah untuk biaya pelatihan bahasa Jepang lanjutan dan 20 juta biaya pemberangkatan termasuk pembuatan paspor, visa, tes kesehatan, dll.
Semua biaya tersebut beragam jumlahnya, tergantung LPK dan lembaga pengirim, tetapi harus sesuai anjuran Kementerian Tenaga Kerja. Ada juga lembaga yang memberikan pinjaman dengan bekerja sama dengan pihak bank, dan calon peserta magang bisa membayarnya dengan mencicil per bulan selama bekerja di Jepang.
Selain jalur swasta, ada juga jalur negeri (Disnaker) dengan perekrutan lebih ketat (pemberkasan, tes kesehatan, fisik, kesemaptaan, matematika dasar, dll.), tanpa dipungut biaya. Calon peserta magang hanya membayar biaya asrama dan biaya pribadi yang dikeluarkan selama pelatihan bahasa dan budaya Jepang. Kenapa jauh lebih murah? Ya karena mendapat subsidi dari pemerintah. Peminatnya sangat banyak karena semua warga Indonesia yang memenuhi persyaratan diperbolehkan mengikuti tesnya.
Pengalaman kenshuusei
Selama kontrak 3 tahun, peserta magang tidak diperkenankan pulang ke Indonesia, apa pun yang terjadi. Itu berarti peserta magang harus menjalani 3 kali Lebaran tanpa kumpul keluarga. Kalau bekerja di lapangan dan saat musim panas yang terik, terkadang puasa tidak diperbolehkan oleh perusahaan. Urusan puasa, salat, pengajian, dan kegiatan keagamaan lainnya diperbolehkan, asal tak mengganggu kinerja dan profesionalisme. Bagaimanapun, agama bukan sesuatu yang diatur oleh pemerintah Jepang.
Urusan diskriminasi karena orang asing juga tak kalah peliknya. Kalau sudah bawa-bawa gaijin (orang asing), urusannya panjang. Padahal di Jepang banyak juga pekerja migran dari Tiongkok, Vietnam, Thailand, India, Brazil, dan Filipina. Dalam satu perusahaan saja kadang sesama kenshuusei ada yang tidak akur. Pokoknya ribet, deh.
Urusan cuan juga tak kalah ribet. Banyak dari kenshuusei ini yang berutang sebelum berangkat sehingga mau tak mau harus melunasi utangnya dengan mengirim uang ke Indonesia setiap bulan. Banyak juga kisah tetangga dan saudara yang meminjam uang karena menganggap kenshuusei ini punya banyak uang. Ada juga cerita utang piutang antar-kenshuusei yang nominalnya tidak sedikit, lho. Lantas, urusan menagih pun jadi cerita yang tak kalah dramatis.
Banyak kenshuusei yang pulang ke Indonesia kemudian bekerja, kuliah, atau memulai usaha. Uang yang ditabung selama 3 tahun jadi modal mereka. Ada juga yang membangun rumah, membeli sawah, sepeda motor keren macam NINJA, dll. Kalau uang sudah habis, mereka pun mencari pekerjaan dan mulai lagi dari nol lagi. Namun, sekarang ada juga program untuk melanjutkan magang mereka menjadi 5 tahun dan status magang bisa berubah menjadi “skilled-worker” (tokutei ginou).
Meskipun bekerja di Jepang itu pahit dan tidak 100% enak, nyatanya banyak kenshuusei yang ingin kembali ke Jepang lagi untuk bekerja di sana. Bagaimanapun Jepang jadi salah satu negara tujuan anak muda Indonesia yang ingin bekerja dan mencari pengalaman hidup di luar negeri. Bagaimana? Kalian tertarik bekerja di Jepang sebagai kenshuusei?
Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi