Suka Duka Jadi Istri Pria Keturunan Tionghoa, Pernah Dikira Baby Sitter Anak Sendiri

Suka Duka Jadi Istri Pria Keturunan Tionghoa, Pernah Dikira Baby Sitter Anak Sendiri terminal mojok.co

Suka Duka Jadi Istri Pria Keturunan Tionghoa, Pernah Dikira Baby Sitter Anak Sendiri terminal mojok.co

Banyak orang bilang bahwa gen keturunan Tionghoa itu kuat. Orang Tionghoa menikah dengan bangsa apa pun hampir dipastikan wajah anaknya bakalan Tionghoa juga. Lihat saja di Indonesia. Putri Titian menikahi Junior Liem, anaknya punya tampang oriental. Anak dari pasangan Samuel Zylgwyn dan Franda pun begitu. Juga buah hati Gisel dan mantan suaminya Gading Marten. Sekali melihat, orang bisa mengerti bahwa ada darah Tionghoa yang mengalir di buah hati mereka.

Itulah yang terjadi dengan saya. Perempuan keturunan Betawi berkulit coklat bangsat, eh, langsat yang menikahi pria keturunan Tionghoa berkulit putih kuning serta bermata sipit yang terlahir dari seorang ibu bersuku Hokkien. Hasilnya, anak saya mewarisi wajah oriental mereka.

Saya lihat, tak satupun warisan wajah saya yang terpatri di wajah anak saya. Seujung hidung saya yang “nongkrong” pun tidak. Padahal saya yang melahirkannya. Mungkin itu yang membuat orang-orang sering salah paham.

Beberapa kali kejadian ada orang yang menyapa anak saya saat bermain di taman. Menanyakan di mana ibunya padahal jelas saya sedang berada di dekat mereka. Sungguh mengesalkan.

Pernah juga saya dan keluarga sedang asyik menikmati liburan di sebuah hotel. Saya menyuapi makan anak saya sambil bermain di pinggir kolam ikan. Tiba-tiba ada seorang perempuan yang mendekati kami. Ia menyapa anak saya dengan sangat ramah. Dari seragam yang dikenakannya, saya tahu bahwa ia seorang baby sitter. Ia pun mengajak anak saya bermain dengan anak yang sedang diasuhnya. Lalu sejurus kemudian ia menepuk pundak saya dan bertanya, “Majikan kamu yang mana? Anaknya cantik ya. Lucu, bersih, enak dilihat.”

Ya, Robbi. Dia pikir aku ini “mbak” anakku. Sad banget!

Saya dan suami pernah pergi ke area Chinatown di Bogor. Saat saya sedang menggendong anak saya sambil mengantri martabak, seorang ibu yang sudah sepuh menghampiri. “Mbak, ini anak lucu sekali. Ibunya mana?”

Saya langsung bilang, “Saya ibunya.”

Dan kamu tahu, ia menanyakan itu sampai 3x. Seolah belum benar percaya bahwa saya benar-benar ibunya. Pengin nyambit nggak sih?! Huh!

Belum lagi kalau ada acara kumpul-kumpull keluarga. Saya selalu resah melihat hasil foto-foto acara. Lah, gimana nggak?! Di foto tersebut saya buleng sendiri di tengah orang-orang keturunan Tionghoa lainnya. Bagai nila di susu sebelanga.

Kadang saya malu dan rendah diri saat berada di antara saudara-saudara suami. Sudah kulit coklat butek keling sendiri, nggak bisa bahasa Mandarin lagi. Kalau mereka ternyata lagi ngomongin saya, saya nggak bakal ngerti. 

Tapi, saya merasa beruntung kalau lagi belanja di toko Arab, saya kerap mendapat diskon melimpah dan bonus do’a. Mereka selalu menganggap bahwa suami saya seorang mualaf keturunan Tionghoa dan sayalah yang membuatnya memeluk agama Islam. Hahaha. Padahal suami saya sejak lahir ya sudah beragama Islam.

Kadang mereka pun meminta saya mendoakan agar tokonya laris. Saya dianggap punya karomah karena berhasil mengislamkan seseorang. Selesai mendoakan, mereka mencium tangan saya. Ingin rasanya iseng mengelus kepala dan meniup ubun-ubun mereka. Tapi, takut batal dapat diskon. Hehehe.

Soal agama ini memang lucu. Ibu kandung saya pun kena getahnya. Beliau seringkali terpaksa blusukan ke rumah saudara atau grup arisan warga untuk menepis omongan miring bahwa saya dipungut mantu oleh keturunan Tionghoa Kristen. Katanya, saya menjual iman saya demi harta. Padahal pas awal nikah sama saya, suami saya cuma pria biasa yang berpenghasilan ala kadarnya.

Lucunya lagi, ada kejadian saat pilkada DKI Jakarta 2017. Saat sedang jalan-jalan di mall, suami saya kerap dihampiri para relawan Ahok yang sedang mengumpulkan KTP dukungan. Tapi, biasanya mereka mundur teratur saat tiba-tiba saya menghampiri suami saya. Mungkin karena melihat penampilan saya yang bisa dibilang mirip kader PKS. (Padahal emang iya, hihihi.)

Saya pun pernah tertawa terpingkal-pingkal waktu suami pulang dari dokter gigi. Suami saya cerita, dokternya curhat bahwa beliau tidak suka bekerja dengan perawat berhijab. Dia bilang, “Ini kan klinik milik orang kita. Jadi saya sudah bilang ke pimpinan agar menerima orang kita saja yang bekerja. Itu yang pake tutup-tutup kepala dikeluarkan saja. Orang kita juga banyak yang pintar.”

Jadi dokternya menduga bahwa suami saya adalah “orang mereka” dan bukan beragama Islam. Tapi, tentu suami saya diam saja karena khawatir giginya bakal diapa-apain kalau ngebantah. Boro-boro dapat diskon harga, kalau dikasih promo cabut satu gratis dua gimana? Bisa habis giginya.

Kelucuan-kelucuan seperti itu banyak menghampiri kehidupan rumah tangga kami. Tetapi, juga diselingi sedikit rasa sedih dan sakit hati.

Tak terhitung rasanya saya merasa sedih saat bergabung di beberapa grup WhatsApp. Tentu saja pesertanya adalah orang-orang di lingkaran pertemanan saya. Baik yang terdekat maupun yang biasa saja.

Namun, saya perhatikan isinya seragam saat membahas kasus-kasus yang ada kaitannya dengan negeri Cina ataupun warga keturunan. Dengan seenak jidat mereka memberi cap bahwa semua warga keturunan Tionghoa itu bukan warga negara yang baik. Dianggap serakah dan rakus karena telah mengambil lahan pekerjaan warga pribumi. Dinilai sombong dan petantang-petenteng padahal cuma numpang hidup di negeri orang. Lalu beramai-ramai membully dengan perkataan-perkataan yang kejam.

Dan saya tak menyangka mereka membicarakan itu semua tanpa menghiraukan kehadiran saya di grup tersebut. Mereka tak memperhitungkan perasaan saya. Padahal sebagian besar mereka adalah orang yang rajin bertegur sapa dan haha-hihi dengan saya.

Ada kejadian yang paling membuat saya terluka. Waktu itu pasca-Pilpres 2019. Warga yang tidak bisa menerima hasil pilpres karena menganggap adanya banyak kecurangan menggelar aksi di depan gedung KPU.

Sambil bercucuran air mata saya meminta bantuan seorang pegiat anti hoaks. Saya meminta beliau untuk mencari keterangan foto polisi berwajah oriental yang sedang viral. Apakah benar bahwa itu adalah polisi selundupan dari Cina yang dikirim untuk “menghabisi” para demonstran?

Habis-habisan saya memberi penjelasan kepada kawan-kawan di Facebook dan WAG bahwa apa yang mereka sangkakan itu belum tentu benar. Suku Tionghoa beserta keturunannya telah lama tinggal di Indonesia, bahkan sebelum bangsa kita merdeka.

Mereka menjadi bagian dari negara kita, mengikuti program asimilasi, menjadi WNI, lalu kawin silang dengan pribumi dari berbagai suku dan beranak pinak. Jadi, anak yang terlahir meski berwajah oriental adalah anak-anak asli Indonesia.

Anak-anak tersebut tidak bisa memilih dari orangtua mana mereka dilahirkan. Dan saat mereka terlahir dan tumbuh besar di Indonesia, bekerja di Indonesia dan bisa menjalani profesi yang sama dengan orang Indonesia lainnya, mereka tak pantas dicurigai ini dan itu tanpa bukti. 

Bagaimana mungkin kita bisa sembarangan menuduh mereka penyelundup atau polisi palsu hanya karena berwajah oriental? Bagaimana bisa kita seenaknya berbicara tanpa fakta dan data bahwa keturunan Tionghoa tidak ada yang mau atau berbakat menjadi polisi? Di mana baiknya saat kita menggeneralisir bahwa orang berwajah oriental pasti jahat semua?

Sudah dijelaskan panjang lebar begitu, stereotip mereka tetap sama. Tak bisa diubah. Mereka benar dan saya yang termakan kebohongan.

Hikmah dari kejadian tersebut adalah saya dan suami lebih menggiatkan aktivitas sosial kami agar lebih dikenal masyarakat. Tapi, rasa sedih, gelisah, dan deg-degan tentu saja masih terasa saat entah bagaimana mulanya kasus-kasus yang terjadi di Indonesia ujungnya pasti dikaitkan dengan keberadaan keturunan Tionghoa di Indonesia. Bahkan masalah kecil pun bisa dibesar-besarkan saat melibatkan orang berwajah oriental.

Apalagi sekarang sedang pandemi Corona yang berawal mula dari Wuhan. Stereotip terhadap warga keturunan pun semakin menjadi. Sudah dianggap sombong, serakah, culas, dan berbahaya, sekarang dianggap agen pembawa penyakit juga.

Kalau begini rasanya saya bakal terus komat-kamit tiap pagi, titip pesan ke suami saat berangkat kerja.

“Tiati ye, Bang. Jangan nyebut, jangan nyalip. Kalau disalip atau kesenggol dikit istighfar aja. Abang jangan ngejar atau nungguin buat maen kata-kataan. Inget tampang, Bang. Ntar abang nyang bonyok kena kepruk tapi di sosmed beritanye malah: Cina songong menzolimi pribumi. Atau Cina belaguk minta disantet. Usir dia dari kampung ini!!!”

BACA JUGA Dunia Tidak Butuh Anak yang Jago Menghafal dan tulisan Aisha Rara lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version