Januari, tahun baru dengan semester baru. Kebetulan, untuk anak-anak di akhir masa sekolah seperti saya, dari sekarang hingga beberapa bulan ke depan, percakapan antarteman akan penuh dengan sesuatu yang berbau “masa depan”. Pertanyaan seputar akan kuliah di mana, bakal kuliah apa mau langsung kerja, PTS atau PTN, belajar bareng untuk UTBK, dan topik semacamnya hampir selalu ada di setiap harinya.
Kebetulan lagi, saya sebagai orang yang woles dengan masa depan (bisa dibilang nggak niat hidup) nggak terlalu menanggapi serius perihal topik pembicaraan tersebut. Berbeda saya, berbeda pula orang lain. Nggak disangka, ada teman saya yang jadi pusing karena orang-orang di sekitarnya terlihat seolah sangat sibuk mempersiapkan masa depan, sedangkan dirinya masih punya banyak pertimbangan untuk memutuskan ke mana doi bakal berjalan ke depannya.
Sebagai orang yang sering banget dijadikan tempat curhat, sedikit banyak saya sudah bisa menebak akan ke mana arah pembicaraan tersebut. Sedikit diskusi yang diselingi dengan curhat itu, berujung pada kalimat yang tiba-tiba doi lontarkan: “Agak menyakitkan buat aku ketika ada yang ngomong bahwa peringkat satu nggak menjamin kesuksesan. Aku tahu kok, nilai itu nggak bisa menjamin kesuksesan. Terus, aku harus apa? Orang yang ngomong begitu tadi, apakah mau membina dan bantu aku sampai aku sukses?”
Kira-kira begitu kalimatnya. Spontan, saya kaget sekaligus merasa tersadar. Doi memang adalah orang yang terkenal dengan kecerdasannya. Setidaknya doi lebih cerdas daripada saya dari segi akademis. Saya juga mengerti (sebab sering menjadi tempat curhat) bahwa ekspektasi orang-orang terhadapnya begitu menjulang tinggi. Berbarengan dengan ekspektasi dan kalimat pedas tadi, rupanya bikin doi merasa tertekan. Tak lupa juga keadaannya yang sebenarnya yang nggak mungkin terekspos oleh khalayak.
Pernyataan teman saya tadi adalah salah satu perasaan yang selama ini tidak pernah berani diungkapkan oleh orang-orang yang tersakiti. Iya, nggak lebay kalau saya bilang doi dan orang-orang sejenisnya itu tersakiti. Begini, orang-orang dengan gampang dan seringkali terkesan menyepelekan berkata kalau peringkat satu dan IPK tidak menjamin kesuksesan. Saya sebagai orang yang pernah mewakili kedua belah pihak, mengerti apa yang kedua pihak maksud.
Mendapat IPK tinggi juga peringkat satu itu tidak mudah. Saya sendiri dapat paralel peringkat satu dari kelas satu SD hingga lulus SMP. Saat SMK, peringkat saya terjun bebas dan nggak jadi masalah untuk saya pribadi. Saya akui, dapat peringkat satu itu nggak mudah dan perlu kerja keras. Saya juga tahu dan setuju bahwa nilai dan peringkat itu nggak menjamin sukses karena definisi sukses tidak sesempit itu.
Poin pentingnya adalah banyak orang yang sengaja banget ngomong IPK tidak menjamin kesuksesan itu untuk menutupi kebodohannya. Untuk menutupi kemalasannya dalam belajar dengan berdalih bahwa nilai di sekolah pun bangku kuliah nggak menjamin sukses di masa depan. Tanpa mereka tahu, ada orang-orang yang berjuang keras untuk mencapai hal tersebut. Tidak, saya tidak sedang meminta belas kasih. Toh, belas kasih juga nggak menghasilkan apa pun.
Saya ingin menghentikan penggiringan opini publik yang satu ini. Mari kita mulai dari keadaan manusia yang berbeda-beda. Ada orang yang punya privilese berupa uang yang cukup, maka orang ini bisa mendapat kursi di sekolah pun universitas di mana saja dia mau. Ada pula orang yang punya jabatan, yang bisa dengan mudahnya menggunakan pengaruhnya untuk dapatkan apa yang dirinya mau. Dan sayangnya, ada orang yang hidup tanpa punya privilese apa pun.
Satu-satunya jalan paling efektif untuk mengisi ketidakpunyaan privilese tersebut tentu adalah memperjuangkan nilai akademis yang bisa terpampang nyata di kertas. Betul, kan? Untuk orang yang nggak punya privilese apa pun, hal apa lagi yang bisa diupayakan selain membuat otaknya menjadi lebih cerdas agar dapat menghasilkan privilese yang tidak dia punyai ini? Orang-orang terus memandang sebelah mata sebuah “nilai” yang ada di selembar kertas rapor tanpa tahu keadaan si pemilik nilai yang sebenarnya.
Dengan menggunakan cerita berbau motivasi seperti, “Teman saya yang dulu pintar dan selalu dapat peringkat di kelas, nggak pernah mau nyontekin saya. Sekarang saya kerja di kantor, sedangkan dia malah jualan baju lewat online.” Apa nggak sinting orang-orang yang dengan songongnya ngomong begini ini? Begini lho, sang homo sapiens yang terhormat, masa depan seseorang itu nggak ada yang tahu.
Kalau terus-terusan menggunakan cerita motivasi yang seperti itu, ujungnya cuma bakal membuat generasi muda malas belajar karena menganggap nilai itu nggak penting. Barangkali nilai memang nggak penting, tapi proses belajarnya yang penting. Nah, sekarang gimana orang-orang mau rajin belajar kalau sudah dicekokin duluan bahwa “nilai di kertas itu nggak berguna”? Sedangkan untuk memberi validasi nilai tersebut ya salah satu medianya memang memakai kertas.
Selain itu, Anda yang ngemis minta contekan, kok pas nggak dikasih malah terus diingat sampai saat sudah kerja? Jangan-jangan Anda adalah tipe pendendam ya? Lagi pula, kerjaan kantor tidak selalu lebih baik daripada berjualan, kan? Siapa tahu omset jualannya lebih besar dari gaji bulanan Anda? Dan kalaupun dia nggak seberuntung Anda yang kerja di kantor, kenapa nggak Anda bantu saja daripada cuma nyinyirin?
Plis, dengan sangat bersungguh saya mengatakan bahwa stop menyebut peringkat dan IPK menjamin kesuksesan. Sadarlah bahwa ada orang yang tersakiti dari kalimat tersebut. IPK dan peringkat memang nggak menjamin apa pun, tapi itu adalah salah satu bentuk upaya paling efektif bagi orang-orang yang kemampuan hidupnya pas dan nggak punya privilese. Kalau memang nggak niat mencapai nilai tinggi, ya terserah saja. Tapi, jangan patahkan semangat dan mimpi orang lain dong.
Kalau memang masih kekeuh juga bahwa IPK dan peringkat itu nggak memengaruhi kesuksesan, ya sudah sekarang tunjukkan bagaimana cara “sukses” yang benar. Sekalian buka kelas motivasi supaya orang-orang yang nggak punya privilese, yang sedang memperjuangkan peringkat dan nilai ini, tahu cara lain yang lebih efektif untuk mengangkat derajat hidup.
Jangan cuma bacot dan ngeremehin doang, MyLov~
BACA JUGA Pledoi Mahasiswa Pengejar IPK Tinggi yang Nggak Mau Tunduk sama Quotes Bob Sadino dan tulisan Vivi Wasriani lainnya.