Mohon maaf, ini bukan artikel porno ya. Mentang-mentang saya ngomongin ukuran payudara, bukan berarti saya sedang mesum. Malah, lewat tulisan ini saya mau menyampaikan cerita sekaligus keluh kesah dari teman saya sesama kaum hawa.
Sebut saja kawan saya itu sebagai Melati (biar nggak Mawar melulu gitu). Melati adalah teman SMP saya yang memiliki ukuran payudara yang besar.
Ya, besar. Coba, apa yang kalian pikirkan setelah membaca “ukuran payudara yang besar”? Pasti ada saja yang pikirannya ngeres. Hayo ngaku.
Dan memang itu yang selalu dirasakan Melati. Ia selalu merasa orang-orang memandang payudaranya dengan pikiran kotor. Gara-gara itu, ia tumbuh menjadi sosok yang minder, pemalu, dan pendiam.
Ia benci sekali kalau disuruh lari saat pelajaran olahraga. Ia juga tidak percaya diri ketika harus presentasi di depan kelas. Ia merasa mata-mata teman sekelasnya tertuju pada dadanya. Ia merasa menjadi objek pikiran liar mereka. Ia tak lagi sekadar risi. Ia trauma.
Apalagi sikap teman laki-lakinya kadang sudah sangat di luar batas. Beberapa siswa laki-laki bukan sekadar menggoda bilang, “Wow payudara kamu besar, ya!” Tapi, mereka juga suka mengejek wajah Melati yang menurut mereka ngga cantik. Jadi keminderan Melati semakin menjadi-jadi.
Bayangin deh, kalau temen-temen cowokmu bilang, “Body kamu bagus, tapi wajahnya kok bikin muntah ya?”
Gimana perasaanmu dikatain begitu? Kalau mentalmu kuat, mungkin kamu bakal lempar sendal ke orang macam itu. Tapi tidak semua orang berhati besi dan bermental baja bak Gathotkaca. Bagi seorang remaja yang baru puber seperti Melati, keminderan berlarut-larutlah yang justru ia rasakan.
Waktu SMA, saya dan Melati kembali bersekolah di tempat yang sama. Melati masih menjadi sosok yang pendiam karena rasa mindernya. Saya yang waktu itu masih ABG juga tak bisa berbuat apapun karena saya pun tak paham apa masalah yang menimpa kawan saya.
Barulah di kelas 3 kami lumayan akrab. Melati mulai curhat soal keminderan dan sikap pendiamnya selama ini. Bagi saya tentu itu agak aneh. Saya mengira Melati pendiam karena ia kutu buku. Lah, tiap istirahat aja dia cuma diem di bangkunya baca buku atau komik. Dan sebagai perempuan dengan payudara yang ukurannya standar, saya pun sulit memahami apa yang dialami Melati.
Skip selepas SMA, saya dan Melati memilih jalur kehidupan yang berbeda. Saya bekerja, dan ia kuliah. Kami mulai jarang saling menyapa, sampai kemudian saya melihat ada yang berbeda dengan dirinya. Ia masih Melati yang sama. Ia masih sering update bacaan novel dan komik yang menurutnya bagus. Tapi penampilannya berubah. Jilbabnya jadi sangat panjang.
Ia bilang ke saya bahwa ia memakai jilbab besar karena ia ingin hijrah. Ia merasa terlindung dalam pakaiannya itu. Tapi ketika berhijab lebar pun, ternyata ia masih saja memiliki pengalaman tak mengenakkan.
Seorang teman satu organisasinya pernah mengatakan sesuatu yang sangat tidak pantas hanya karena ia menolak ajakannya untuk berpacaran. Ia bilang ke Melati bahwa ia munafik. Ia menuduh hijab besar Melati hanya kedok untuk menutupi masa lalunya yang suram.
Kok bisa? Ya, bisa soalnya dalam pikiran temannya itu, Melati memiliki masa lalu yang suram karena payudaranya besar. Anda bingung? Saya pun sempat gagal paham dengan tuduhan ini. Tapi kemudian Melati menjelaskan bahwa temannya itu menuduhnya sering berbuat mesum. Payudaranya yang besar dianggapnya sebagai bukti kemesuman itu. Sebab menurutnya, besarnya ukuran payudara ditentukan oleh seberapa banyak tangan laki-laki yang menyentuhnya.
Semakin sering payudara disentuh laki-laki, maka ukurannya semakin besar, kurang lebih begitu ia berpikir. Dan karena Melati berpayudara besar… tuduhan nakal pun disematkan kepadanya.
Melati tentu shock. Saya yang cuma dengerin curhatnya ditelepon juga ikut shock. Tapi yang lebih bikin kami shock, ternyata tidak sedikit pria yang berpikiran sama seperti teman Melati itu.
Teman saya yang lain punya cerita yang mirip. Dia cerita soal mantannya yang pernah mengkritik badannya karena menurutnya “darat” alias dada rata. Mantannya punya pikiran seperti teman Melati, bahwa payudara perempuan akan membesar ketika dipegang laki-laki. Ia pun coba-coba merayu teman saya agar diizinkan meraba payudaranya biar teman saya tidak bertubuh bak “papan cucian.”
Jijik banget, kan? Wong cuma pengen enaknya kok pake dalih sok-sokan jadi pahlawan. Untungnya teman saya waras, detik itu juga, white knight “ora mutu” itu langsung didepak sebagai pacar.
Gini loh… Saya paham bahwa manusia adalah makhluk seksual. Tak ada salahnya laki-laki mengagumi payudara perempuan. Tak ada salahnya laki-laki tertarik dengan itu.
Hanya saja, jangan bikin asumsi aneh-aneh dong soal bagian tubuh perempuan ini. Apalagi sampai mengatakan bahwa perempuan berpayudara besar adalah perempuan yang nakal. Dan lagipula kalau nakal pun, “you-you” tidak berhak atas bagian tubuh kami ini. You–-para cowok—juga tidak ada urusan menyebut kami nakal. Emang situ siapa? Emak kita aja nggak sembarangan ngatain kita.
Saya bukan feminis. Catet ya. Saya cuma perempuan biasa yang tidak baca teori-teori feminisme dan sejenisnya. Tapi tidak perlu jadi feminis kan kalau sekadar berharap agar laki-laki tidak berkonspirasi soal payudara kami? Kalau mau bikin teori aneh-aneh, ya bikin aja soal bagian tubuh sampeyan sendiri.
BACA JUGA Jika Cintamu Hasil Doktrin Blue Film, Aku Bisa Apa? dan tulisan Nar Dewi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.