Stereotip Menyebalkan Masyarakat Awam pada Lulusan Pondok Pesantren

Belumlah AfdStereotip Menyebalkan Masyarakat Awam pada Lulusan Pondok Pesantren terminal mojok.coal Nyantrinya Seseorang Kalau Belum Gudikan santri pondok pesantren gudik terminal mojok.co

Belumlah AfdStereotip Menyebalkan Masyarakat Awam pada Lulusan Pondok Pesantren terminal mojok.coal Nyantrinya Seseorang Kalau Belum Gudikan santri pondok pesantren gudik terminal mojok.co

Saya sering mendengar langsung betapa entengnya orang-orang bilang, “Lulusan pondok pesantren jadi apa sih? Memangnya bisa apa? Alah, palingan cuman jadi modin.” Plis deh, pertanyaan seperti itu nggak etis. Sama saja dengan ngerendahin dan ngeremehin harga diri anak pondok. Perasaan anak pondok yang mendengarnya nggak main-main lho, nyesek.

Memang kenapa sih, sampai segitunya. Mbokyo sudah, jangan beda-bedain antara anak lulusan pondok pesantren dan yang bukan. Wong masih sama-sama manusia, kan nggak ada salahnya. Lagian, kita sebagai anak pondok, selama nggak berbuat masalah dan gaduh dengan Anda, harusnya fair-fair saja.

Pandangan orang luar, terlebih mereka yang tidak begitu tahu dengan seluk beluk anak pondok, selalu datang dengan stereotip menyebalkan dan menyedihkan. Melalui celetuknya yang menyakitkan hingga anggapan yang ingin tak hih rasanya. Saking gemesnya, duh.

Begini kira-kira stereotip menyebalkan mereka. Kalau Anda merasa dan tersinggung, kita satukan suara bahwa “santri bisa segalanya dan bisa menjadi apa saja”. Simak baik-baik ya, Mylov ~

#1 Jago dalam hal mistik dan klenik

Nggak jarang, saya dan teman-teman pondok lainnya diminta membantu kalau a warga yang kesurupan atau kesetanan. Iya, entah kenapa. Mungkin karena santri tirakatnya kuat dan ibadahnya taat, jadi belum sampai begini begitu, jampi-jampi, baru masuk rumahnya saja, setannya sudah keluar. Ketakutan.

Dan ternyata iya juga. Setidaknya ini valid berdasarkan pengalaman guru saya yang pernah mendalami dan jago tentang kurikulum perklenikan. Banyak dari warga kampung yang berbondong-bondong minta bantuan kepada blio. Dan anehnya, belum sampai rumahnya, si setan sudah keluar dari tubuh orang kesurupan. Sebelumnya, sudah banyak yang berusaha mencoba mengeluarkan, tetapi tiada hasil.

Belum lagi, ketika pulang, banyak teman sebaya dan orang-orang tua yang nyeletuk, “Di pondok diajarin apa saja? Mbok yo dikasih ijazah (doa) apa begitu, biar hidupku agak mujur.” Waduh, memang pondok tempat begituan? Mondok itu ngaji, ngabdi, dan taat kepada kiai. Perihal ijazah, hizb, dan doa itu bonus. Lagian, kalau santri sudah manteb dengan ilmunya, bakal mujur sendiri tuh hidupnya.

#2 Hanya bisa mimpin tahlil yasin

Seiring berjalannya waktu, yang dulunya pondok identik dengan kolot dan salaf, kini sudah mengalami transformasi. Bahkan bisa dikatakan mampu menyaingi lembaga pendidikan non-pondok pada umumnya. Sebut saja seperti Gontor, Tebuireng, Amanatul Ummah, dan lainnya.

Gini lho bapak ibu, santri itu multitalent. Selain ngaji dan ngabdi, beberapa pondok juga menyediakan fasilitas lain, seperti wirausaha, multimedia, bisnis, hingga pelatihan bahasa. Jadi santri itu enak. Lulus nggak perlu sedih. Sebab, sudah punya modal dari awal. Mau concern di dunia wirausaha bisa, multimedia bisa, dan lainnya lah. Bonus bisa ngaji dan mengerti ilmu agama. Lulusan pondok pesantren bukannya nihil skill. Pokoknya santri bisa apa saja, selama masih dalam batas kemampuan manusia tentunya.

Iya, memang dulu santri konotasinya kalau nggak ngabdi ya ngaji, kalaupun menyinggung masalah “rabi” musti pikir dua kali. Sekarang hal-hal macam itu sudah tenggelam. Ya masak masih kolot dengan tradisi salaf. Lagian pondok kan lembaga pendidikan, ya harusnya mengikuti kurikulum pendidikan nasional juga lah. Walaupun sebenarnya ada beberapa pondok yang masih kuat dengan tradisi salaf, tapi banyak juga yang sudah modern.

#3 Pulang pondok, kerjanya cuman main doang

Santri juga manusia pada umumnya. Wajar lah ya, kalau ingin refreshing dan rehat diri. Apalagi masa remaja, kepribadian yang ingin bebas dan merasakan suasana luas. Biar nggak kuper. Santri kan hidupnya di asrama, mau izin keluar saja kadang SOP-nya ngalahin-ngalahin ngajuin judul proposal skripsi.

Paham sendiri lah, santri di pondok itu hanya belajar dan ngaji. Lingkungan hanya terbatas di area pondok. Kalau pun boleh keluar harus nunggu ada acara pondok di luar, itupun keluarnya kadang bareng-bareng dan selalu diawasi oleh keamanan. Ketahuan melanggar, rambut konsekuensinya. Gundul bos!

Jadi maklum, kalau misal santri pulang kampung, kerjanya cuman main doang. Kasihanilah kami, wahai bapak ibu terhormat. Justru Anda yang harusnya perlu tahu. Kalau santri selama mondok itu jarang keluar, melulu tentang sekolah, ngaji, dan ngabdi. Terus berputar saben hari. Makanya, nggak heran, kalau santri kadang menyebut pondok dengan “penjara suci”. Izinkanlah kami main sepuasnya saat senggang.

#4 Lulusan pondok pesantren jadi apa kelak?

Senakal-nakalnya santri dulu ketika mondok, selama ia masih punya takzim sama kiai, insya Allah hidupnya aman. Dalam artian, nggak usah bingung nanti mau jadi apa dan bagaimana, kembalikan saja kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yakin deh, hidup ini adil. Lagian kata eyang saya, “Pangeran mboten sare.” Tuhan tidak pernah tidur.

Santri sebenarnya kebal dengan anggapan orang yang terkesan merendahkan dan meremehkan. Tapi tolong! Hal semacam itu nggak etis. Nggak baik. Santri itu sudah mencicip asam manis kehidupan juga. Buktinya, masa depannya saja nggak begitu mereka pikirin. Justru yang ada di benak mereka adalah semoga bisa dan senantiasa mengabdi kepada kiai. Sudah itu saja. Sederhana dan mulia.

Orang yang suka meragukan lulusan pondok pesantren mungkin lupa dan perlu kita ingatkan. Pahlawan yang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu rata-rata santri dan kiai. Sebut saja Kiai Wahid, orang yang mengusulkan digantinya kata-kata sila satu Pancasila. Kiai Hasyim, ulama yang sering dijadikan rujukan dan konsultasi oleh bung Karno. Dan masih banyak lainnya.

Masih banyak stereotip menyebalkan yang nggak kalah menyedihkan dan bikin sakit hati para lulusan pondok pesantren. Seperti stereotip pemalu, nggak pedean, dan lainnya. Belum tahu aja, kalau dapat mantu santri itu hidupnya tenang dan bahagia.

BACA JUGA Sebagai Orang yang Pernah Mondok, Saya Tidak Ingin Disebut Santri dan tulisan Muhammad Lutfi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version