Saya kira ketularan hobi pasangan hanyalah ungkapan untuk pemanis pernikahan. Nyatanya, setelah menikah dengan suami yang seorang penggemar sound system, saya jadi ikutan menyukainya. Asal tahu saja, suami saya dahulu tukang sound system berbagai hajatan. Dia pensiun setelah tidak sengaja membakar alat-alat yang dipakainya.
Beneran deh, lama-lama saya makin mirip suami saya versi perempuan. Saat ke kondangan misal, hal pertama yang saya cermati bukan hidangan prasmanannya, tapi kualitas suara yang dihasilkan sound system. Saya akan ikut puas kalau suara yang muncul jernih dan pas di kuping. Kalau kualitas suaranya buruk, saya jadi bete.
Setelah menyelami lebih dalam, ternyata dunia sound system keren juga. Tidak mudah lho menyesuaikan komposisi sedemikan rupa hingga menghasilkan suara yang diinginkan. Sayangnya, hobi satu ini terlanjur dipandang sebelah mata karena ulah beberapa orang di festival atau hajatan. Orang-orang ini menghasilkan suara yang asal keras hingga mengganggu sekitar. Ya siapa sih yang tidak kesal.
Memandang sebelah mata
Awalnya saya pun memandang sebelah mata hobi suami. Selain karena suka bikin ribut di hajatan atau festival, saya tidak menemukan letak menarik dari sound system. Kalau mendengarkan sebuah lagu, saya sudah cukup dengan memahami lirik dan mendengar alunan musiknya. Tidak peduli dengan komposisi bas dan lain-lain.
Semua itu berubah ketika suami mulai merakit sound system di rumah. Saat itu saya diminta untuk memutar salah satu lagu. Dengan asal, saya mainkan lagu apa saja yang lewat di YouTube waktu itu. Beuh, suara yang dihasilkan benar-benar memanjakan telinga. Tiba-tiba seperti sedang di tengah konser. Tentu saya kagum bukan main dengan alat rakitan suami ini, kok bisa begitu jernih.
Kuping yang selama ini terbiasa dengan sound mini di ponsel atau laptop akhirnya punya pengalaman baru. Sejak saat itu, saya jadi seperti suami, peka dengan kualitas suara apapun itu. Saya jadi ikut memperhatikan kualitas suara yang dihasilkan sound system di berbagai kesempatan.
Kontes sound system
Saya semakin tercengang ketika tahu sound system ternyata bisa dilombakan. Penilaiannya diukur dengan Sound Pressure Level alias SPL. Kalau sebagai orang awam seperti saya, SPL semacam keras-kerasan suara bas.
Sepanjang kontes, peserta menggeber sound system mereka. Berusaha menjadi yang paling keras menghasilkan suara bas. Ya semacam festival sound daerah yang bisa bikin horeg sekitarnya. Bahkan, sound system beberapa peserta sampai terbakar karena terlalu dipaksakan.
Sejujurnya saya tidak terlalu suka kontes ini. Kerasnya suara bas sepanjang kontes bikin pusing saja. Menurut suami, saya lebih cocok kontes kategori clarity atau kejernihan. Kategori clarity lebih mengutamakan cara mengatur sound system sedemikian rupa sehingga suara yang dihasilkan benar-benar pas antara vokal dan musik pendukung.
Hobi mahal
Suara yang enak di kuping memerlukan kemampuan yang mumpuni untuk mengatur komposisi suara. Di sisi lain, kemampuan perlu didukung oleh alat-alat yang tidak kaleng-kaleng. Dua hal itu tidak bisa dipisahkan dalam dunia sound system.
Saya jadi nggak heran kalau orang-orang penggemar sound system rela mengeluarkan dana yang besar untuk menghidupi hobinya. Awalnya saya sempat syok mengetahui harga mixer, box, sampai printilan di dalam box yang bisa mencapai jutaan rupiah. Belum lagi perawatannya yang bisa dibilang nggak murah.
Setelah tau alat-alat mahal itu bisa menghasilkan suara yang begitu nyaman di kuping. Saya berusaha memakluminya. Namanya juga hobi.
Penulis: Anisa Fitrianingtyas
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.