Sok Tahunya Mereka yang Langsung Ngasih Solusi Uang Kripto buat Korban PHK

Sok Tahunya Mereka yang Langsung Ngasih Solusi Uang Kripto buat Korban PHK terminal mojok.co

Sok Tahunya Mereka yang Langsung Ngasih Solusi Uang Kripto buat Korban PHK terminal mojok.co

Gara-gara Elon Musk bicara dogecoin, semua orang memuja-muja uang kripto. Seolah-olah uang kripto adalah jawaban dari masalah ekonomi. Apalagi bagi mereka yang terdampak pandemi Covid-19. Seolah-olah uang kripto adalah kendi leprechaun yang penuh uang segar.

Saya tidak ingin bicara perkara potensi uang kripto. Toh, saya kurang tertarik pada sesuatu yang sifatnya embuh. Di mata saya, uang kripto lebih dekat dengan judi. Namun, tolong jangan sibukkan diri Anda untuk mendebat pandangan saya ini.

Hal yang membuat saya sebal, uang kripto menjadi mantra jitu untuk “membantu” korban PHK. Setiap ada yang sambat setelah di-PHK, pasti akan dijawab, “Mending investasi uang kripto.” Hampir sama menyebalkan dengan jawaban, “Mending rakit PC.”

Logikanya adalah: investasi uang kripto sangat menguntungkan. Jadi korban PHK bisa mendapatkan penghasilan. Enak, toh? Mantep, toh? Luar biasa, toh, mimpinya? Bukankah investasi di ranah uang kripto itu menjanjikan?

Jika Anda berpikir demikian, selamat. Lantaran artikel ini adalah untuk Anda ya, Mas dan Mbak. Selain itu, untuk Anda semua yang selama ini memandang bisnis dan investasi adalah solusi dari korban PHK.

Saya tidak bermaksud mengatakan pemikiran tersebut salah, ya. Benar, kok, korban PHK memang perlu pemasukan, baik dari wiraswasta atau dari pekerjaan baru. Namun, menyarankan bentuk-bentuk investasi sebagai jawaban bagi korban PHK itu ramashok blas!

Mengapa ramashok? Lantaran yang Anda bicarakan adalah situasi yang bukan sekadar materiil. PHK tidak hanya kehilangan mata pencaharian. Apa yang terenggut dari korban PHK adalah hak, rasa aman, sampai identitas diri. Jadi jangan pernah menyepelekan mereka yang mendadak tanpa pekerjaan karena dipecat.

Ketika seseorang memiliki pekerjaan, dia dalam situasi yang “aman”. Aman dalam arti dia memiliki kepastian materi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Nah, rasa aman ini adalah kebutuhan dasar manusia. Jika rasa ini hilang, akan sama sakitnya dengan Anda yang mengucapkan selamat pagi, tapi tak pernah dibalas. Bahkan lebih.

Identitas diri juga ikut hilang. Selama bekerja, dia dikenal sebagai “pegawai” sebuah usaha. Tiba-tiba dia menjadi “pengangguran” yang punya kelas sosial rendah. Tak perlu sok-sokan baik, nyatanya memang pengangguran dianggap aib. Tentu momen jatuhnya status sosial seperti ini berdampak secara psikologis.

Belum lagi ketika korban PHK juga kehilangan hak-haknya. Tekanan dari mantan perusahaan untuk mengambil hak para pekerja juga berdampak pada kondisi psikologis korban. Sudah kehilangan pekerjaan, masih ditempatkan sebagai pesakitan. Apalagi jika sampai tahap advokasi, tekanan dan rasa jenuh bisa berdampak negatif pada psikologis korban, lho.

Nah, dengan situasi seperti ini, kok, malah diajak mikir investasi. Kondisi tidak punya uang, kok, diajak menyisihkan dana demi main saham atau uang kripto. Bahkan dipaksa segera buat usaha. Tolonglah, jangan ke sana dulu. Pasalnya, yang paling dibutuhkan adalah bantuan dan pendampingan psikologis.

Tentu pendampingan ini juga harus dilakukan profesional. Bukan dengan moto, “Kamu mending, lah, aku.” Sumpah, ungkapan demikian bukannya menumbuhkan semangat hidup dan struggle pada keadaan yang ada malah makin jatuh dalam pusaran stres setelah PHK.

Sayang sekali, kesadaran ini masih rendah. Ketika saya berdiskusi dengan pemilik akun @BuruhYogyakarta, blio juga menyayangkan kondisi ini. Banyak orang yang abai pada urusan psikologis para korban PHK. Bahkan serikat pekerja juga abai pada hal penting ini.

Dampak psikologis bisa berpengaruh dalam waktu yang lama. Bahkan berujung pada tindakan destruktif seperti pengrusakan dan bunuh diri. Bukankah menjaga kondisi psikologis korban PHK jadi sangat penting? Sayang sekali, urusan ini diabaikan.

Banyak yang menganggap urusan cari uang dan status lebih penting dari kondisi psikologis. Bahkan memandang stres akibat PHK sebagai sesuatu yang berlebihan. Berlebihan ndhasmu kuwi!

Harusnya urusan pendampingan psikologis menjadi perhatian serikat. Namun, realitanya tidak demikian. Kesibukan mengurusi advokasi (yang sama pentingnya) sampai iuran anggota membuat urusan psikologis menjadi terlewatkan. Ya, maklum, stres dan tekanan mental kurang seksi jika jadi proker, sih.

Dalam masyarakat juga sama. Harus kita akui, kesadaran pada kesehatan mental memang rendah. Bahkan dijadikan bahan gurauan yang ra lucu serta nggatheli. Korban PHK dianggap aib, serta pada saat yang sama dianggap nggak penting-penting banget.

Oalah, susahnya jadi korban PHK. Sudah diremehkan, kesehatan mentalnya diabaikan, masih jadi sasaran mimpi investasi yang kadang berakhir jadi MLM lagi.

BACA JUGA 5 Ciri Karyawan yang Rentan Kena PHK dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version