SKBN, Surat Tanda Bebas Zat Terlarang yang Bikin Pekerja Pusing Plus Kantongnya Jadi Kering

SKBN, Surat Tanda Bebas Zat Terlarang yang Bikin Pekerja Pusing Plus Kantongnya Jadi Kering skck

SKBN, Surat Tanda Bebas Zat Terlarang yang Bikin Pekerja Pusing Plus Kantongnya Jadi Kering

Pengalaman mengurus SKBN di RSUD buat daftar kuliah membuat saya sadar, ternyata SKBN sama ribetnya dengan SKCK, demi tuntutan administrasi birokrasi.

Kalau kalian tak tahu SKBN, saya coba jelaskan dengan sederhana dan membandingkannya dengan SKCK. Sebab, dua surat ini fungsinya mirip. Jika SKCK adalah surat pengakuan bahwa kita tidak pernah mencuri sandal jepit di masa lalu, maka SKBN adalah sertifikat suci yang menyatakan kita adalah manusia bermoral, setidaknya di hadapan wadah tes urine.

Alias, SKBN tanda kalian dianggap bebas narkoba, SKCK tanda kalian dianggap baik, tentu saja, oleh negara.

Kemiripan yang lain, selain pengakuan oleh negara, tentu saja keribetannya. Mengurus SKBN ini menghabiskan waktu, menguras kantong, dan bikin kalian dalam situasi paling canggung dalam hidup kalian. Semuanya hanya demi selembar kertas yang buat kalian diakui kalau kalian bebas narkoba. Sesederhana itu.

SKCK dan SKBN: Duo Iblis Birokrasi

Untuk memahami tragedi SKBN, kita harus membandingkannya dengan SKCK, kembaran siam birokrasi yang sama-sama nggak ada kesempatan kedua. Keduanya adalah palu godam yang menghantam orang yang sudah berusaha move on.

SKCK berfokus pada sidik jari dan catatan kriminal, hukuman bagi orang yang berbuat salah. Sementara SKBN berfokus pada tes urine dan riwayat kesehatan, hukuman bagi orang yang pernah sakit atau khilaf menggunakan zat terlarang. Di mata sistem, taubat dan proses pemulihan hanyalah dongeng pengantar tidur. Kertas-kertas ini jauh lebih percaya pada data kepolisian dan reaksi zat kimia daripada pada perubahan hati dan niat baik manusia.

Tapi, yang bikin pedih, SKCK dan SKBN nggak berlaku buat pejabat cacat hukum dan bekas pecandu narkoba, tapi bikin trauma rakyat jelata. Kelihatan diskriminatif? Memang.

Antrean yang gila

Amat wajar jika ada yang bilang kalau antrean menuju loket SKBN adalah masa di mana kesabaran kalian diuji. Bayangkan seperti ini: di kursi plastik yang terasa murah itu, kalian dikelilingi sesama pemburu surat pengakuan, dan dalam waktu yang tentu saja tidak singkat.

Kesabaran kalian makin diuji oleh petugasnya, yang kecepatannya diatur sesuai mood mereka. Dan hal antrean masih bisa makin lama jika ada berkas ditolak, entah karena fotokopi KTP yang buram, pas foto yang tidak sesuai, atau apalah itu semau mereka.

Biaya SKBN yang kelewat mahal

Sebenarnya, urusan birokrasi yang lama itu sudah jadi rahasia umum. Justru aneh kalau cepat. Orang-orang sudah paham lah, bahkan narimo. Tapi yang tak akan bisa diterima, tentu saja, biaya.

Biaya mengurus SKBN ini 300 ribu. Bayangkan, kalian harus mengurus surat misalnya untuk cari kerja, tapi harus keluar uang yang sebegitu besar. Jangan sepelekan angka 300 ribu, itu bukan uang yang kecil. Kalau rata-rata gaji pekerja Indonesia adalah 3 juta, maka butuh kerja 2 hari untuk bayar ngurus SKBN. Dan itu jelas tidak masuk akal.

Bebas Narkoba Versi Birokrasi

Ketika SKBN keluar dan berstempel NEGATIF, seolah-olah resmi diakui sebagai manusia suci. Tapi, status ini bersifat buta dan kejam. Status ini tidak peduli pada riwayat seseorang yang sudah menjalani rehabilitasi. Status ini tidak peduli pada masalah kesehatan mental yang mungkin melatarbelakangi penggunaan zat terlarang. Di mata SKBN, hasil negatif adalah pengesahan kepatuhan, dan hasil positif adalah penolakan permanen.

Yang jelas, surat ini adalah bukti bahwa birokrasi lebih mudah percaya pada reaksi kimia di wadah plastik daripada pada perubahan hidup manusia.

SKBN adalah bukti bahwa untuk diakui sebagai orang baik di Indonesia, harus punya dua hal apalagi kalau bukan uang untuk bayar tes mahal, dan kemampuan kencing tepat waktu di bawah tekanan.

Pada akhirnya SKBN sama halnya SKCK adalah gerbang diskriminasi yang paling efisien di negeri ini. Semoga gaji yang kita dapatkan sepadan dengan trauma birokrasi yang sudah dialami.

Penulis: Dodik Suprayogi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA SKCK Harusnya Tidak Lagi Jadi Syarat Melamar Kerja, kalaupun Wajib Ada, Sebaiknya Dipermudah Saat Menerbitkannya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version