Sisi Menyedihkan Kebumen yang Jarang Diceritakan Warga Lokal: dari Lapangan Kerja yang Itu Aja sampai Ruang Publik yang Stagnan

Sisi Menyedihkan Kebumen yang Jarang Diceritakan Warga Lokal: dari Lapangan Kerja yang Itu Aja sampai Ruang Publik yang Stagnan

Sisi Menyedihkan Kebumen yang Jarang Diceritakan Warga Lokal: dari Lapangan Kerja yang Itu Aja sampai Ruang Publik yang Stagnan (unsplash.com)

Pulang kampung ke Kebumen selalu terasa seperti masuk ke dimensi yang bergerak lebih lambat. Tapi belakangan ini, saya mulai menyadari sesuatu, yaitu ketenangan ini bukan selalu berarti damai. Beberapa minggu lalu, saya menghadiri reuni kecil-kecilan dengan teman-teman SMA. Dari 15 orang yang hadir, cuma 4 yang masih tinggal di Kebumen. Sisanya? Menyebar ke Jogja, Jakarta, Semarang, bahkan sampai Kalimantan.

Hal yang bikin saya tertegun bukan soal jumlahnya. Tapi percakapan yang muncul di tengah malam itu. Saat teman-teman mulai bercerita jujur tentang Kebumen, saya baru sadar kalau ada banyak hal yang selama ini saya lewatkan.

Lapangan kerja yang itu-itu saja di Kebumen

“Kerja apa sekarang?” Pertanyaan standar yang selalu muncul saat pulang kampung.

Bagi yang masih di Kebumen, jawabannya hampir bisa ditebak PNS, guru, pegawai bank, atau kerja di industri sekitar entah itu pabrik kapur, semen, atau tambang. Kalau beruntung, wiraswasta dengan modal warisan keluarga.

Satu teman saya yang kuliah desain grafis sempat bertahan setahun di Kebumen setelah lulus. Katanya dia mencoba mencari klien lokal, tapi kebanyakan UMKM masih belum paham pentingnya desain. “Bikin logo kok mahal? Pakai Canva aja,” begitu kira-kira respons yang sering dia dapat.

Akhirnya, dia hijrah ke Jogja. Di sana, dalam tiga bulan, orderan sudah lancar.

“Bukan berarti Kebumen nggak bagus, tapi ekosistemnya belum siap buat orang kayak aku,” begitu kata Asih (25 tahun).

Yang lebih ironis, Kebumen punya industri besar. Kapur, semen, batu bara. Tapi lapangan kerja yang tercipta untuk anak muda lokal? Minim. Sebagian besar pekerja industri besar itu bahkan didatangkan dari luar. Anak muda Kebumen? Malah pergi mencari nasib ke tempat lain.

Baca halaman selanjutnya: Merantau bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban…

Merantau bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban

Kalau dulu merantau itu prestise, sekarang merantau lebih ke arah “kalau mau hidup layak ya harus keluar”. Saya sendiri merasakan ini. Setelah lulus kuliah, saya sempat galau pulang atau stay di kota.

Waktu itu, saya mencoba mencari lowongan kerja di Kebumen lewat berbagai platform. Hasilnya? Kosong melompong. Atau kalau ada, gajinya setengah dari standar kota besar dengan beban kerja yang sama.

Akhirnya saya putuskan untuk tidak pulang. Bukan karena tidak cinta kampung halaman. Tapi karena secara realistis, Kebumen belum bisa memberi saya apa yang saya butuhkan untuk berkembang.

Ruang publik yang stagnan

Sejujurnya, Kebumen punya alun-alun yang lumayan oke. Ada taman kota yang bersih, ada mall yang cukup ramai di akhir pekan. Tapi selama puluhan tahun, itu-itu saja.

Teman saya yang pernah tinggal di Bandung sempat berkomentar, “Kebumen itu enak, tapi membosankan.”

Kalau mau nongkrong, ya ke alun-alun atau mall. Tidak ada coffee shop kreatif yang jadi tempat komunitas berkumpul. Tidak ada co-working space untuk anak muda yang mau kerja sambil ketemu orang baru. Tak ada ruang seni yang hidup.

Jogja yang jaraknya cuma sejam dengan Prameks jadi pelarian. Mau nonton konser? Ke Jogja. Mau cari buku bagus? Ke Jogja. Mau ikut workshop kreatif? Ya ke Jogja lagi.

Kebumen jadi tempat tidur. Bukan tempat hidup. Beberapa kali ada acara seni atau musik lokal, tapi responsnya dingin. Penonton sedikit, liputan minim, gaungnya cepat hilang.

Mental “sudah cukup begini saja”

Ini bagian yang paling berat untuk ditulis. Karena ini tentang mindset yang mengakar.

Saat ada wacana pembangunan baru di Kebumen, entah itu cafe chain atau toko retail modern, saya sering bertanya dalam hati. “Untuk apa? Yang ada sekarang aja sudah cukup.”

Padahal persoalannya bukan soal “cukup” atau “tidak”. Ini soal perkembangan ekonomi, soal lapangan kerja baru, soal daya tarik daerah. Ketika sebuah brand besar masuk, itu artinya ada investasi, ada pajak, ada sirkulasi uang baru.

Tetapi mentalitas “sudah cukup” ini terlalu kuat mengakar di warga Kebumen. Dan yang paling terdampak adalah generasi muda yang ingin perubahan. Mereka jadi merasa tidak punya ruang untuk berekspresi, untuk mencoba hal baru.

Infrastruktur yang timpang

Geopark UNESCO terdengar megah di telinga. Dan memang, ini pencapaian luar biasa. Tapi coba tanya warga di desa-desa pinggiran Kebumen apa mereka merasakan dampaknya?

Jalan menuju beberapa geosite masih rusak parah. Fasilitas wisata setengah jadi. Promosi yang tidak merata membuat turis bingung mau ke mana.

Saya pernah ngobrol dengan pedagang di salah satu pantai selatan Kebumen. Katanya, “Turis datang, foto-foto, terus pulang. Jarang yang beli makanan atau cinderamata.”

Kenapa? Karena tidak ada upaya membangun ekosistem pariwisata yang utuh. Tidak ada pelatihan untuk pedagang lokal, tidak ada packaging produk yang menarik.

Sementara itu, di pusat kota, pembangunan terus berjalan. Mall diperluas, jalan utama diperbaiki. Tapi desa-desa? Masih dengan jalan berlubang, akses internet lemot, fasilitas umum seadanya.

Kesenjangan ini nyata. Dan semakin lama, semakin terasa.

Kenyataan di balik ketenangan Kebumen

Kebumen dari luar memang terlihat tenang. Bahkan nyaman. Apalagi bagi orang-orang seperti saya yang hanya pulang sesekali, semua terasa baik-baik saja. Tetapi saat duduk lebih lama, ngobrol lebih dalam dengan warganya, cerita yang muncul jauh dari kata “baik-baik saja”.

Ada frustrasi anak muda yang ingin berkembang tapi tidak punya ruang. Ada kekecewaan terhadap pembangunan yang tidak merata. Dan ada harapan yang perlahan memudar karena tidak ada perubahan signifikan.

Reuni malam itu berakhir dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, saya senang bisa ketemu teman lama. Di sisi lain, saya sedih karena menyadari bahwa banyak dari kami yang sebenarnya ingin pulang, tapi tidak bisa.

Kebumen punya PR besar. Bukan cuma soal infrastruktur atau ekonomi. Tapi soal bagaimana membuat generasi mudanya merasa bahwa kampung halaman mereka layak diperjuangkan.

Karena kalau generasi mudanya terus pergi, siapa yang akan membangun Kebumen di masa depan? Siapa yang akan menjaga agar Geopark UNESCO bukan cuma jadi label, tapi benar-benar memberi manfaat untuk warganya?

Mungkin sudah waktunya Kebumen berhenti merasa “cukup”. Dan mulai bertanya, “Apa yang bisa kita lakukan untuk menjadi lebih baik?”

Penulis: Alifia Putri Nur Rochmah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Saran Pikir Dua Kali Sebelum ke Kebumen Itu Benar tapi Itu Dulu karena Sekarang Nggak Lagi Mengenaskan, Sejajar sama Jogja dan Purwokerto.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version