Sisi Gelap Fotografer Korporat yang Jarang Diketahui Orang Awam

Sisi Gelap Fotografer Korporat yang Jarang Diketahui Orang Awam

Sisi Gelap Fotografer Korporat yang Jarang Diketahui Orang Awam (Unsplash.com)

Bagi masyarakat awam, menjadi fotografer mungkin terdengar sebagai profesi yang glamor. Fotografer sendiri banyak jenisnya, ada fotografer pernikahan, fashion, makanan, olahraga, hingga fotografer korporat. Dari sekian banyak jenis tersebut, kali ini kita akan fokus membahas fotografer korporat.

Tak bisa dimungkiri, profesi satu ini membuka peluang untuk berinteraksi dengan berbagai perusahaan bergengsi. Belum lagi, akan menjadi suatu kebanggaan ketika foto hasil jepretan terpampang di papan reklame sepanjang jalan.

Akan tetapi sebagaimana pekerjaan lain pada umumnya, terdapat sisi gelap menggelayuti kehidupan fotografer korporat yang tersembunyi di balik kilat kamera. Pilihan mata pencaharian ini bukan hanya tentang mengambil foto yang indah dan bernilai komersial. Sering kali, berbagai rintangan dan tekanan pekerjaan menjadi penguji mental yang tak kenal belas kasihan.

Bayaran besar tidak menjamin kestabilan keuangan fotografer korporat

Mayoritas fotografer korporat menjalani profesi mereka sebagai pekerja lepas. Artinya, mereka dikontrak sesuai proyek yang diajukan perusahaan. Dengan kata lain, mereka tidak memiliki jaminan pemasukan setiap bulan seperti karyawan tetap.

Sering kali, nilai proyek yang tampak besar di awal tidak setimpal dengan risiko yang ditanggung. Sebab, jika terjadi kerusakan alat seperti lensa dan kamera, pengeluaran yang digelontorkan guna memperbaiki atau membeli yang baru bisa jadi hampir menyamai bayaran kontrak. Satu lensa saja bisa mencapai harga belasan hingga puluhan juta rupiah.

Di sisi lain, fotografer korporat wajib memakai perlengkapan terkini sesuai kemajuan teknologi agar hasil yang didapat lebih akurat. Sebab, menangkap objek untuk keperluan suatu industri harus lebih mendetail supaya bisa merepresentasikan nilai organisasi. Menyewa alat pun bukan sebuah solusi mumpuni karena harga sewa per hari cukup tinggi.

Kesialan tidak berhenti sampai di sini. Soal sistem pembayaran, korporasi terbilang berbelit dan memakan waktu lama hingga hitungan bulan. Padahal, selain untuk menyambung hidup, fotografer tetap saja membutuhkan putaran uang untuk modal mengambil proyek berikutnya. Hal ini dikarenakan perusahaan cenderung menerapkan metode reimbursement biaya transportasi. Praktis, kewarasan fotografer korporat diuji di sini.

Ekspektasi klien tidak realistis bikin menangis

Klien korporat tidak jarang menaruh ekspektasi yang tidak realistis tentang apa yang bisa dicapai oleh seorang fotografer. Soal ini tidak melulu berkutat pada hasil akhir, melainkan juga harapan terkait waktu dan anggaran. Misalnya saja ketika hendak mengambil foto muka gedung secara outdoor, fotografer harus memastikan waktu dan cuaca yang mendukung. Jika mendung, jelas pengambilan gambar kudu dibatalkan yang berakibat pada molornya proyek.

Di lain waktu, demi menghemat anggaran, perusahaan meminta pegawai biasa sebagai model foto alih-alih menyewa seorang profesional. Keputusan sepihak ini jelas merugikan fotografer karena harus memandu sedemikian rupa agar karyawan tersebut memahami arahan. Bagaimanapun, daya tangkap model sejati akan jauh berbeda dengan model dadakan.

Tuntutan tak masuk akal juga sering muncul ketika proses editing. Karena tidak berkecimpung di dunia yang sama, kerap kali klien seenak jidat meminta koreksi warna di setiap foto yang hendak dipakai. Bagi orang awam, perkara ini mungkin terlihat sepele. Namun, bagi yang mengerjakan, permintaan ini serasa siksa neraka.

Penderitaan tersebut masih akan terus berlanjut bila pihak klien menginginkan beberapa objek sulit untuk dihilangkan. Misalnya saja adalah bentangan kabel tiang listrik yang malang melintang. Bukan rahasia umum, revisi tak berkesudahan ini sebenarnya dimanfaatkan sederet perusahaan nakal demi menunda pembayaran.

Tumpang tindih kewajiban adalah hal yang biasa

Siapa bilang tugas fotografer hanya memotret dan mengedit? Faktanya, fotografer korporat juga mengalami timbunan pekerjaan yang seharusnya tidak ditanganinya. Salah satunya adalah tuntutan untuk mendalami video juga. Soalnya, banyak klien korporasi yang menginginkan paket lengkap foto dan video dengan harga bundling yang dirasa lebih murah.

Maka dari itu, beban pekerjaan fotografer akan bertambah untuk menyusun alur cerita. Berbeda dengan foto, sebuah video harus bisa menampilkan adegan yang runtut sehingga mudah dicerna siapa pun yang menyaksikannya. Belum lagi, pembuatan moodboard yang selayaknya dipikirkan oleh pihak perusahaan justru dilemparkan kepada fotografer.

Menjalani hidup sebagai fotografer sejatinya merupakan pilihan yang dipenuhi batu terjal. Di balik lensa yang menghasilkan jepretan memikat, sering terselip cobaan kesabaran yang bikin mengumpat. Passion sudah bukan lagi menjadi alasan karena pemenuhan isi perut jauh lebih menuntut.

Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Wisata Kota Lama Surabaya Sebenarnya Indah asal Oknum Fotografer Nggatheli Diberantas.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version