Singapura Memang Semenyenangkan Itu, dan Memang Bikin Betah Banget, Wajar kalau Pada Pindah

Singapura Memang Semenyenangkan Itu, dan Memang Bikin Betah Banget, Wajar kalau Pada Pindah

Singapura Memang Semenyenangkan Itu, dan Memang Bikin Betah Banget, Wajar kalau Pada Pindah (Pixabay.com)

Liburan terakhir sebagai mahasiswa ini saya habiskan dengan banyak hal. Dari seluruh kegiatan yang sudah-sudah, mungkin highlight dari beberapa bulan terakhir ini adalah kesempatan saya untuk berlibur ke Singapura. Cuma 3 hari, sih, pas weekend aja. Tapi, sangat membekas dan jadi ada keinginan besar untuk kerja sampai kaya raya agar bisa memboyong diri sendiri untuk tinggal di sana.

Sebagai warga penggemar jalan kaki yang tinggal di Tangerang Selatan dan kuliah di Jatinangor (yang nggak ada trotoarnya itu), rasanya berat meninggalkan negara yang kayaknya, kok, sayang banget sama pejalan kaki di negaranya.

Ya, sebenarnya masalah kurang terakomodasinya pejalan kaki bukan hanya masalah di Tangerang Selatan atau Jatinangor, sih. Selama 22 tahun tinggal di sini, jalan kaki paling enak cuma jalan kaki di komplek sendiri. Jakarta bisa dibilang punya beberapa daerah yang cukup enak buat dilewati pejalan kaki. Tapi, yakin, deh, semua bakal kalah dalam satu jam pertama menginjakkan kaki di Singapura! Waktu pulang dan ditanya, “Gimana Singapur?” jawaban saya simpel, “Kayak Sudirman, tapi satu negaranya mirip Sudirman.” 

Memang, sih, saya belum muterin satu negaranya, namanya juga ke sana pas weekend doang. Tapi, saya rasa saya sudah jalan-jalan cukup jauh untuk sadar bahwa inilah negara yang pas buat para introvert yang suka jalan sendirian, pake earphone, dan nggak mau ribet pusing mikirin naik apa buat mengunjungi suatu tempat. Bus tersedia banyak banget, MRT juga menjangkau banyak banget destinasi, kira-kira ada delapan kali lipat jumlah stasiun MRT Jakarta.

Oke, dari beberapa hal yang sudah saya sebutkan aja sepertinya sudah terlihat bahwa transportasi umum dan fasilitas pejalan kaki yang sangat memadai memang jadi daya tarik negara kecil yang meskipun nggak jauh-jauh amat dari Indonesia, penampilannya beda banget 180 derajat. Terus, kenapa?

Ke mana-mana nggak ribet, asal nggak malas

Sebagai generasi yang sudah dikaruniai dengan teknologi mumpuni, muter-muter Singapura bukanlah hal yang sulit sama sekali. Sebagai orang yang kalau mau naik KRL atau MRT harus naik-turun angkot atau pesan ojol (yang mana ongkosnya sekarang mahal gokil), kemudahan buat mencari halte bus dan stasiun MRT bener-bener saya apresiasi. Ya, memang, sih, Singapura itu panas, dan ada aja rasa malas menampakkan diri pas matahari lagi begitu teriknya. Tapi, masa warga Jabodetabek ngeluh panas? Plis, deh.

Tinggal modal HP, buka Maps, cari rute ke tempat tujuan, kelar deh. Bus di sana, dari pengalaman saya, sangat tepat waktu. Bukan cuma itu aja, tapi memang antara minat naik transportasi umum dan jumlah mode transportasi umum di sana bisa dibilang seimbang. Bus jarang sepi, tapi nggak juga dempet-dempetan kayak sarden. Saya nggak bisa konfirmasi bahwa situasinya akan sama saat weekdays, tapi untuk saya yang hanya seorang turis dari Indonesia, ini rasanya keren banget. Nggak ada, tuh, drama di twitter sambil mention penyedia transportasi umum untuk nanya kenapa bus ke Ciputat udah satu jam lebih nggak dateng-dateng.

Untuk stasiun MRT sendiri, mungkin banyak dari kita yang sudah merasakan sendiri, ya, karena untuk mode ini nggak bisa dibantah bahwa negara kita memang berkaca pada Singapura. Tapi, balik lagi, dan mungkin ini karena Singapura sudah lebih dulu membangun jaringan MRT mereka, stasiun MRT di Jakarta setelah saya hitung-hitung hanya berkisar 11.5% dari keseluruhan stasiun yang ada di Singapura.

Dari fakta itu saja seharusnya sudah tergambar jelas kemudahan yang dirasakan sehari-harinya oleh masyarakat yang terbiasa kemana-mana naik transportasi umum ini. Mari sejenak berdoa supaya Jakarta dan kota-kota Indonesia lainnya juga bisa makin menyayangi warga tak bermobil dan bermotor yang ada.

Singapura bersih dan rapi

Lagi nggak mau naik MRT atau bus? Merasa nanggung dan lebih enak kalau jalan kaki? Atau memang lagi mood jalan santai sambil dengerin lagu dan meratapi keputusan hidup? Coba aja jalan dari Outram Road ke Chinatown. Kalau belum puas, coba jalan lagi sampe Clarke Quay. Kalau belum puas juga, jalan aja terus, nggak yakin akan terasa begitu capek kalau disuguhi lingkungan yang bersih dan trotoar yang nggak dipenuhi motor-motor nakal maksa mau lewat tempat yang seharusnya jadi hak kita sebagai pejalan kaki.

Nggak ada yang nge-rem kendaraan di zebra cross. Malah sebenarnya kendaraan pribadi nggak begitu banyak, lho, di sana. Nggak perlu, deh, pasang raut sinis ke pengemudi yang sengaja bikin mood pejalan kaki jadi jelek. Nggak ada orang yang buang puntung rokok di depan sepatunya sendiri yang terus dia injek sampe bener-bener mati. Bahkan, perokok yang pusing sendiri karena harus cari smoking area. Less pedestrian accidents and lung cancer scare, who’s excited?

Mengurangi tendensi spotlight effect

Buat yang belum tahu, spotlight effect singkatnya adalah perasaan saat seseorang merasa diperhatiin banget sama orang-orang di sekitarnya. Yang akhirnya membuat orang tersebut jadi cemas dan takut mau melakukan sesuatu karena takut di-judge. Saya sendiri sekali atau dua kali atau bahkan berkali-kali merasakan hal tersebut. Takut salah pilih outfit, nanti di-catcall abang-abang setiap jalan 20 meter. Takut juga dikira sok kebarat-baratan sama orang-orang di jalan. Padahal, masa iya di negara sepanas ini harus sedia pake baju berlapis-lapis setiap hari?

Untungnya hal ini nggak saya rasakan selama liburan saya yang singkat banget itu. Saya senang banget bisa menyaksikan orang-orang dari berbagai negara datang liburan dengan outfit yang bervariasi walaupun cuma sebentar. Juga, saya merasa lebih percaya diri karena mereka yang juga percaya diri. Yang paling penting, saya merasa aman ke mana-mana pakai apa pun yang saya suka karena nggak ada siul-siul yang diikuti dengan, “Neng mau kemana?” atau “sendirian aja neng” atau yang paling malesin, “Sombong amat ih, neng.”

Intinya, jadi merasa nggak perlu takut untuk lebih mengekspresikan diri. Terutama untuk saya yang juga sedikit menggemari fashion, untuk mix and match baju. Kedengerannya simpel, tapi sangat membahagiakan.

Semoga kembali ke Singapura, semoga

Dengan berlanjutnya liburan terakhir sebagai mahasiswa alias menunggu wisuda, yang kemudian akan lanjut liburan lagi sebagai pengangguran, sedikit pengalaman saya di negara tetangga tersebut jadi pemacu untuk cepat-cepat cari uang dan cari kesempatan lagi untuk datang kesana. Sambil nunggu panggilan kerja, kadang ada doa sedikit-sedikit diselipkan supaya liburan kemarin bukanlah terakhir kalinya saya jalan kaki sampai Merlion Park atau The Shoppes at Marina Bay Sands. Tentunya, ada juga doa supaya Indonesia bisa merangkak sedikit demi sedikit menyerupai negara yang berhasil buat saya betah dalam hitungan 80 jam.

Penulis: Alvie Putri Gustiningrum
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA WNI Pindah Negara Itu Nggak Salah, Justru Tindakan Tersebut Amat Rasional, Rumput Tetangga Kali Ini Beneran Lebih Hijau

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version