Saya buka halaman home Terminal Mojok, ada sebuah judul artikel yang eye catching menurut saya. Saya tertarik dengan artikel yang ditulis dengan judul bahasa Jawa, “Sing Nduwe Mobil i Ngopi Toh Seneng Men Ngebut Nek Udan, Padahal Lak Yo Ra Keudanan?” Saya membaca dengan seksama, memahami apa yang penulis ingin sampaikan, dan mengolahnya dengan hikmat. Setelah selesai membaca, saya membatin. Sepertinya ada sesuatu yang salah tempat.
Saya akan memberikan intro, mungkin akan sedikit tidak nyambung. Jadi begini, artikel tersebut ber-setting di Jogja, kebetulan saya juga perantau yang baru 3 bulan di Jogja. Memang, saya belum banyak tahu tentang kota ini, tapi saya telah sedikit mengamati beberapa hal tentang tingkah laku masyarakat Jogja.
Jadi, memang benar sesuai namanya, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tapi menurut saya, masyarakat Jogja bukan hanya sekadar istimewa, tapi lebih cenderung ke unik. Tak perlu saya ceritakan di mana letak uniknya, kalau penasaran silahkan mencoba merantau ke Jogja. Sendiri. Saya hanya akan menceritakan sesuatu yang menurut saya unik yang berkaitan dengan judul artikel di atas. Ya, saya akan membahas tentang cara pengendara, baik motor ataupun mobil menghadapi cuaca.
Sebelum merantau ke Jogja, saya sudah merasakan merantau di Semarang. Semarang selalu saja padat kendaraan saat jam berangkat dan pulang kantor. Dan ndilalah hal ini akan diperparah ketika cuaca mendadak mendung, rintik-rintik menuju hujan. Entah itu pengendara motor ataupun mobil mereka akan berkendara secara ugal-ugalan alias barbar. Rasa kemrungsung, takut kehujanan, rasa pengen cepat sampai rumah berpadu ria, mereka mendadak menjadi pengendara ulung yang main salip sana-sini, gas los-losan, padahal posisi jalan sedang ramai. BAYANGNO. JENGKELNO KAN? PODO! MAKANE AKU PINDAH TEMPAT RANTAU WKWK
Dan menurut kacamata saya, pengendara Jogja justru kebalikan dari pengendara Semarang. Pengendara Jogja justru akan lebih selow, ngati-ngati tur sekecak kalau cuaca sedang mendung atau kondisi otw hujan. *Lho kok isa? Lha embuh, aku ae yo heran kok*.
Pernah saya suatu siang kejebak di cuaca mendung dan takut kehujanan, saya pun berniat ngebut, trus saya mengamati pengendara lain. “Lha kok mereka do santai. Kok ora kesusu-susu le numpak motor?” batin saya. Saking merasa aneh, saya mau ngebut pun jadi sungkan. SERIUS. ORA NGAPUSI. Btw saya ini motor Mio lovers. Hehe.
Jadi, menurut saya memang ada kesenjangan cara berkendara antara warga asli Jogja dengan warga luar Jogja a.k.a plat luar itu. Di mana pengendara luar jogja dianggap lebih ngawur karena ngebut di kondisi yang tidak tepat. Ya, bisa ngebut karena di kota sebelumnya terbiasa ngebut hehe.
Tapi rasanya kurang etis, kalau kita orang yang katanya “susah” ini selalu menyalahkan orang “kaya” yang membawa mobil. Mungkin ada beberapa alasan sih, kenapa kita tidak perlu melulu menyalahkan si punya mobil kalau kita kecipratan genangan air:
Pertama: Jalan yang Remang-Remang
Jadi begini, tidak semua jalanan di Jogja itu diberi lampu penerang jalan, ringroad pun yang ramai dilewati kendaraan pun kadang masih remang. Contohnya, Jembatan Janti, Jl. Majapahit, Ringroad Timur. LUMAYAN REMANG ITU MAS ~
Meskipun mobil punya lampu, kadang genangan air ini seperti bunglon, nggak terlihat, berkamuflase seperti jalan biasa. Apalagi kalau airnya bening serupa warna jalannya. Rak segojo ujug-ujug mak byurrrrr
Kedua: Ngebut Karena Ada Kepentingan
Menurut saya, tidak ada pengendara mobil yang berniat memuncratkan air ke pengedara sekitar. Kalaupun terjadi itu pasti ada sebabnya. Kita tidak pernah tahu masalah apa yang sedang dilalui si pengendara mobil. Misalnya, pengendara mobil mendapat telepon dari rumah sakit bahwa istrinya akan segera lahiran. Nah karena berada di luar kota, pengendara mobil ini pun sedikit jeru menginjak gasnya. Ngebut. Nggak sadar kalau genangan air yang telah dilewatinya merugikan orang lain. Di pikirannya yang penting dia sampai rumah sakit tepat waktu. Lagian yo ngopo sih bermobil sengojo nrabas genangan air, edan po? Eman-eman lah. Ngotor-ngotori mobil tok!
Ketiga: Sadar Diri
Seperti apa yang saat ini terjadi di dunia maya, kita semua terlalu sering saling salah-menyalahkan, dalam hal apa pun. Layaknya netizen, aku dan kamu sering kali membenarkan pendapat sendiri tanpa melihat realita. Saya berikan contoh, banjir yang terjadi di Jakarta konon akibat dari kinerja Gubernur yang kurang kompeten. Oke, mungkin itu bisa saja benar. Karena kenyataannya normalisasi sungai atau waduk yang sudah direncanakan belum selesai atau terealisasikan. Ditambah pemotongan anggaran bencana banjir sekian miliar. Lantas para netizen maha benar ini menyudutkan posisi gubernur seolah semua kesalahan beliau. Padahal nih, bila kita mau lebih sedikit terbuka, banjir di Jakarta tahun ini disebabkan oleh cuaca yang memang sangat ekstrim. Bahkan curah hujan tanggal 1 Januari kemarin, dinyatakan BMKG menjadi yang tertinggi sejak 24 tahun terakhir. Sampai di sini paham? JANGAN HOBI SALAH MENYALAHKAN MUNAROHH!
Di akhir artikel ini, sebenarnya saya punya solusi simpel. Kalau kita naik motor dan tidak ingin basah kena air entah air hujan, air genangan atau pun air mata, cukup pakai sendal jepit, pakai mantol, pakai helm dan kacanya diturunin. Taraaa, selamat sampai tempat tujuan tanpa basah. Worth it kan saran saya? HAHAHA.
Saya sungkan mau mengucapkan ini, tapi bagaimanapun akan tetap saya ucapakan sebagai kalimat penutup.
“Kowe sing numpak motor i ngopo toh? Senengmen udan-gerimis rak nganggo mantol. Lak yo wis ngerti nek udan ning dalan akeh banyune. Kok malah menumbalkan diri untuk diciprati?”
BACA JUGA Lebih Baik Bertanya ‘Kapan Turun Hujan?’ Daripada ‘Kapan Kawin?’ atau Rinawati tulisan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.