Siluman Dapodik, Sebuah Upaya Curang agar Bisa Lolos PPG Guru Tertentu yang Muncul karena Sistem Pengawasan Lemah

Siluman Dapodik, Sebuah Upaya Curang agar Bisa Lolos PPG Guru Tertentu yang Muncul karena Sistem Pengawasan Lemah

Siluman Dapodik, Sebuah Upaya Curang agar Bisa Lolos PPG Guru Tertentu yang Muncul karena Sistem Pengawasan Lemah

Pada akhirnya, persoalan akal-akalan siluman Dapodik dan PPG Guru Tertentu bukan sekadar masalah administratif, melainkan cermin dari krisis integritas dalam sistem pendidikan

Fenomena sulitnya lulusan baru jurusan pendidikan untuk menembus dunia kerja di sektor pendidikan formal bukan lagi cerita baru. Setiap tahun, ribuan sarjana pendidikan diwisuda dengan harapan besar dapat segera mengabdi sebagai guru, mencerdaskan generasi bangsa, dan meniti karier profesional sesuai bidang keilmuannya. Tapi, realitas di lapangan sering kali jauh dari idealisme bangku kuliah. Banyak dari mereka justru terjebak dalam pengangguran terselubung, bekerja di luar bidang pendidikan, atau hanya menjadi guru honorer tidak tetap dengan penghasilan yang jauh dari kata layak.

Masalah ini semakin kompleks ketika dihadapkan pada sistem rekrutmen guru yang tidak sepenuhnya transparan dan adil. Salah satu isu krusial yang belakangan ramai diperbincangkan di kalangan pendidik adalah praktik “akal-akalan” agar bisa masuk ke dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Dapodik sejatinya dirancang sebagai basis data resmi untuk memetakan kondisi pendidikan nasional, termasuk data guru dan tenaga kependidikan.

Namun, dalam praktiknya, sistem ini kerap dimanfaatkan sebagai “gerbang seleksi tak kasat mata” yang hanya bisa dilalui oleh mereka yang sudah memiliki akses, relasi, atau kedekatan dengan pihak sekolah.

Tembok tinggi penghalang mimpi

Bagi fresh graduate pendidikan, Dapodik ibarat tembok tinggi yang sulit dipanjat. Tanpa status mengajar resmi di sekolah yang terdaftar, mereka otomatis tersingkir dari berbagai peluang pengembangan profesional, salah satunya Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Guru Tertentu. Program ini menjadi harapan besar karena menjanjikan sertifikasi pendidik dan peningkatan kesejahteraan. Ironisnya, justru mereka yang baru lulus dan belum memiliki jaringan kuat di sekolah sering kali tidak diberi kesempatan untuk sekadar masuk sistem.

Di sinilah muncul istilah yang sering dibicarakan secara lirih di kalangan guru: “siluman dapodik”. Istilah ini merujuk pada individu yang secara administratif tercatat sebagai guru aktif di Dapodik, meskipun dalam praktiknya peran mengajarnya minim, bahkan ada yang nyaris tidak pernah mengajar. Mereka bisa masuk karena rekomendasi orang dalam, hubungan keluarga, atau kedekatan personal dengan pimpinan sekolah. Dalam banyak kasus, jalur nepotisme menjadi kunci utama untuk membuka pintu tersebut.

Fresh graduate yang mencoba melamar ke sekolah-sekolah sering kali dihadapkan pada jawaban normatif: kuota guru sudah penuh, jam mengajar tidak tersedia, atau belum ada kebutuhan. Namun di balik itu, ada realitas pahit bahwa posisi tersebut sebenarnya “dititipkan” untuk kerabat atau kenalan tertentu. Akibatnya, kompetensi akademik, IPK tinggi, kemampuan pedagogik, dan semangat mengajar menjadi tidak relevan ketika berhadapan dengan praktik-praktik non-profesional.

Ketimpangan ini semakin terasa ketika melihat teman seangkatan yang telah lebih dulu mengajar meski awalnya hanya berbekal relasi, kini melenggang mengikuti PPG Guru Tertentu. Mereka memenuhi syarat administratif karena sudah terdata di Dapodik, memiliki SK mengajar, dan jam mengajar yang “diatur” agar sesuai ketentuan. Sementara fresh graduate lain hanya bisa menjadi penonton, meskipun secara akademik mungkin lebih siap dan kompeten.

Semua dapet kesempatan yang sama atau yang kenal-kenal saja?

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keadilan dalam sistem pendidikan kita. Apakah tujuan utama PPG Guru Tertentu benar-benar untuk meningkatkan kualitas guru, atau sekadar melanggengkan mereka yang sudah berada di dalam sistem, apa pun latar belakang masuknya? Jika akses awal saja sudah timpang, maka output kebijakan pun berpotensi bias dan tidak mencerminkan meritokrasi.

Lebih jauh, praktik akal-akalan Dapodik berdampak pada kualitas pendidikan di kelas. Guru yang masuk bukan karena kompetensi, melainkan karena kedekatan, berisiko tidak memiliki komitmen dan kemampuan pedagogik yang memadai. Sementara itu, fresh graduate yang idealis dan terlatih secara akademik justru terpinggirkan. Dalam jangka panjang, peserta didiklah yang menjadi korban dari sistem yang tidak adil ini.

Dari sisi psikologis, tekanan yang dialami fresh graduate pendidikan tidak bisa dianggap remeh. Setelah bertahun-tahun kuliah, praktik mengajar, dan menyusun skripsi dengan harapan menjadi guru profesional, mereka harus berhadapan dengan realitas pahit: ijazah tidak menjamin akses kerja. Banyak yang mulai meragukan pilihan jurusan, bahkan merasa kalah sebelum bertanding karena tidak memiliki “orang dalam”.

Tidak sedikit pula yang akhirnya memilih jalan pintas: mengikuti pola yang sama, mencari relasi, atau bahkan rela menjadi “guru bayangan” demi bisa masuk Dapodik. Di sinilah siklus masalah terus berulang. Sistem yang seharusnya bersih justru mendorong individu untuk berkompromi dengan praktik tidak sehat demi bertahan hidup.

Pengawasan Dapodik yang masih begitu lemah

Pemerintah sebenarnya telah berupaya melakukan berbagai pembenahan, mulai dari digitalisasi data hingga seleksi berbasis sistem. Namun, selama pengawasan di tingkat satuan pendidikan masih lemah, celah-celah nepotisme akan selalu ada. Kepala sekolah dan operator memiliki peran besar dalam menentukan siapa yang masuk dan siapa yang tertinggal. Tanpa integritas, Dapodik hanya menjadi alat administratif, bukan instrumen keadilan.

Sudah saatnya kebijakan PPG Guru Tertentu dan pengelolaan Dapodik dievaluasi secara menyeluruh. Fresh graduate pendidikan perlu diberi ruang dan jalur afirmatif agar dapat masuk ke sistem secara adil, misalnya melalui kuota khusus, seleksi nasional terbuka, atau masa transisi yang memungkinkan lulusan baru terdata tanpa harus bergantung pada relasi personal.

Selain itu, transparansi rekrutmen guru di sekolah harus menjadi prioritas. Informasi kebutuhan guru, mekanisme seleksi, dan kriteria penerimaan perlu dibuka secara jelas kepada publik. Dengan demikian, peluang nepotisme dapat ditekan dan kepercayaan terhadap institusi pendidikan dapat dipulihkan.

Pada akhirnya, persoalan akal-akalan siluman Dapodik bukan sekadar masalah administratif, melainkan cermin dari krisis integritas dalam sistem pendidikan. Jika kita benar-benar ingin meningkatkan kualitas guru dan pendidikan nasional, keadilan akses harus menjadi fondasi utama. Fresh graduate pendidikan bukan beban, melainkan aset bangsa yang menunggu kesempatan.

Menutup mata terhadap masalah ini sama saja dengan membiarkan generasi pendidik potensial tersisih oleh praktik-praktik lama yang tidak sehat. Sudah waktunya sistem berpihak pada kompetensi, bukan koneksi. Jika tidak, PPG Guru Tertentu hanya akan menjadi privilege segelintir orang, bukan solusi bagi masa depan pendidikan Indonesia.

Penulis: Aldivano Sulthanu Aulia
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Ketika Kebijakan P3K Membuat Sarjana Pendidikan Patah Hati

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version