Siapa Kita kok Ngatur-Ngatur Tuhan?

ngatur-ngatur tuhan ritual agam islam mojok.co

Siapa Kita Kok Ngatur-Ngatur Tuhan?

Beberapa hari terakhir, wajah Misbah, entah kenapa selalu tampak gusar. Pemandangan yang membuat kawan baiknya—Kang Salim—terpantik untuk menanyakan; apa hal yang sebenernya tengah dirisaukan oleh Misbah?

“Ada masalah apa tho, Mis, coba cerita,” pancing Kang Salim membuka obrolan sore itu, seperti biasa, di cangkruk bambu depan rumah.

“Begini loh, Kang, saya kok ngerasa setiap doa-doa saya nggak didengar sama Gusti Allah.”

Mendenger keluh Misbah yang demikian itu, Kang Salim agak terperanjat. “Loh, atas dasar apa kamu bilang gitu, Mis?” tanya Kang Salim kalem.

“Ya sekarang coba pikir tho, Kang, saya ini kalau berdoa perasaan sudah sepanjang mungkin, sudah sambil mengiba-ngiba loh, Kang. Tapi masih aja nggak ada jawaban. Satu pun nggak ada yang terkabul.”

“Hahaha Mis, Mis, sejak kapan ada aturan kalau doa itu harus begitu? Kata siapa berdoa itu harus panjang-panjangan?”

“Ya kan biar detail gitu, Kang. Maksudnya sudah saya jelasin sejelas-jelasnya kepada Gusti Allah kalau saya lagi butuh ini, ini, dan ini. Masa iya doa saya nggak sampai, Kang?”

Kang Salim menghela nafas. Matanya menelisik raut wajah Misbah yang sepertinya sudah sangat kecewa.

“Mis, kalau kamu cermati, kira-kira doa kamu ada yang balik ke rumah, nggak?” tanya Kang Salim.

“Hah? Maksudnya, Kang?”

“Kata Gus Dur, Mis, kalau doamu nggak ada yang balik ke rumah, berarti sudah sampai ke tempat tujuan hahaha.”

“Yaaahhh, malah bercanda, saya ini lagi bener-bener gelisah, Kang,” respon Misbah sambil mbesengut. “Lagian, kalau doa saya sampai ke Gusti Allah, mana coba hasilnya? Satu pun nggak ada yang hasil, hmmm.”

Menyadari situasi hati Misbah sedang tidak bisa diajak ngobrol dengan bahasa jenaka, maka inilah saat di mana Kang Salim harus menggunakan bahasa ruhani.

“Mis, begini, ini harus kamu catat. Sesekali cobalah curiga sama doa yang kamu panjatkan.” Mendengar keterangan Kang Salim, Misbah mengernyitkan dahi, tanda belum sepenuhnya mengerti. Maka, Kang Salim dengan senang hati melanjutkan penjelasannya.

“Kita emang harus curiga dengan doa yang kita panjatkan. Karena bisa jadi, doa-doa tersebut, kalau merujuk apa kata Ibnu Athaillah, justru merupakan bentuk ittiham; tuduhan kepada Gusti Allah. Secara nggak langsung kita ini menuduh bahwa Gusti Allah nggak tahu apa yang sedang kita butuhkan. Apalagi kalau doamu bertele-tele, itu malah ngawur lagi. Lha emangnya kita ini lebih maha tahu dari Allah apa kok berani-beraninya jelasin panjang lebar apa yang kita butuh. Nggak usah didetail-detailkan, Dia sudah tahu kali.”

“Loh, loh, Kang, tapi kan Gusti Allah sendiri yang bilang dalam Alquran; Berdoalah (meminta) kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan. Jadi ya nggak salah tho, kalau saya mengajukan macem-macem. Hla wong instruksinya begitu, kok.

“Yang harus kamu perhatikan, Mis, pertama, Gusti Allah hanya memerintah untuk berdoa atau meminta, titik. Nggak ada bagian harus panjang. Sepintas kelihatannya emang baik berdoa dengan redaksi yang panjang lebar. Tapi dalam pandangan tasawuf, ternyata doa yang bertele-tele, meminta macem-macem, itu malah dianggap tindakan yang kurang patut. Seolah Gusti Allah masih perlu keterangan dari kita tentang kebutuhan kita. Kata Gus Baha, kalau mau berdoa panjang silakan, tapi yang diperbanyak dan diperpanjang itu istighfar atau memuji-memuji Gusti Allah dan Kanjeng Nabi. Ada pun permintaannya, satu sampai dua kalimat udah cukup. Gus Baha menyontohkan, misalnya kita beroda; Ya Allah, Panjenengan Tahu apa yang saya butuh. Gitu aja Dia udah paham, kok, Mis.

“Kedua, coba anggap perintah berdoa tersebut sebagai apa adanya perintah. Artinya, kalau diperintah, ya tugas kita hanya memenuhi, tanpa mengharap imbalan apa-apa. Diperintah berdoa ya sudah kita berdoa, nggak harus minta hasil doanya gimana. Anggap doamu itu bukan sebagai permintaan, tapi sebagai bentuk ibadah dan ekspresi manembah atau menghamba. Dan selayaknya seorang hamba, menyembah adalah suatu kewajiban.”

“Loh, tapi kan misalnya, nih, ada anak yang diperintah orang tuanya terus minta imbalan kan nggak masalah, Kang. Sama nggak masalahnya kalau kita berharap sesuatu dari doa kita kepada Gusti Allah,” sela Misbah.

“Nggak masalah, Mis, tapi nggak etis aja. Nggak tahu diuntung. Ibarat kata nih, ya, apa masih kurang perjuangan orang tua buat kita sampai-sampai disuruh aja harus ada upahnya? Sama dengan apa masih kurang segala kenikmatan dari Gusti Allah, sampai diperintah buat doa aja harus ada timbal baliknya?

“Kalau ngambil contohnya Gus Baha; untuk mengakui suatu kebenaran mutlak, harusnya kita nggak butuh imbalan, dong. Misal, kita mengakui 1+1=2  sebagai kebenaran mutlak saja nggak butuh pamrih apa-apa. Hla kok buat mengakui kalau Gusti Allah itu Maha Segalanya kita butuh imbalan pahala, surga, atau dikabulkannya doa-doa? Bener nggak, Mis?”

Kali ini Misbah hanya terlongo-longo mendengar pemaparan dari Kang Salim. Seberkas cahaya kesadaran mulai menyentuh ruang gelap dalam nuraninya.

“Tapi yang namanya manusia dengan iman tanggung seperti saya ini, Kang, agaknya nggak bakal bisa lepas deh dari kemungkinan nggak mengharapkan ada timbal balik yang nyata dari setiap doa yang kita haturkan. Susah, Kang. Secara, saya kan punya hasrat gitu.” protes Misbah.

“Pernyataan bagus, Mis. Kondisi seperti itu memang nggak bisa kita mungkiri. Saya jadi teringat dengan nasehat dari Syekh Abdul Aziz al-Mahdawi. Katanya kurang lebih begini; Barang siapa yang berdoa dan mengatur-ngatur Tuhan dengan cara apa permintaannya itu harus dipenuhi, doanya mungkin saja dikabulkan, tapi mungkin hanya sebagai bentuk istidraj. Tahu apa itu istidraj, Mis?”

“Gimana tuh, Kang.”

“Ibaratnya kayak ada peminta-peminta, seseorang akan gercep ngasih si peminta-minta ini uang biar segera pergi karena risih. Kurang lebih kayak gitu. Mungkin Gusti Allah memenuhi permintaan kamu seketika. Eh tapi, jangan seneng dulu. Jangan-jangan Gusti Allah malah risih sama kamu mangkanya langsung dikabulin. Hayooo pilih mana? Segera dipenuhi atau nunggu sak karep-karepe Gusti Allah wae?

“Waduh, jangan sampai tho, Kang, Gusti Allah risih sama saya.” ucap Misbah panik.

“Nah, Mis, coba bangun mindset seperti apa yang diajarkan Ibnu Athaillah; misalkan doa kita belum terkabul, cobalah berpikir positif, jangan-jangan Gusti Allah bakal ngabulin doa saya dengan caranya sendiri, dengan celah yang tak disangka-sangka. Bukan seperti apa yang saya mau. Karena toh Dia lebih paham mana yang terbaik buat saya.”

Iya, ya, siapa kita coba kok ngatur-ngatur Tuhan? Gumam Misbah dalam hati.

*Rujukan: Menjadi Manusia Ruhani (Ulil Abshar Abdalla), dan ceramah Gus Baha.

BACA JUGA Yang Dianjurkan Rasulullah itu Beli Baju Lebaran untuk Anak Yatim Bukan buat Diri Sendiri dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version