Judul: Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa
Penulis: Patresia Kirnandita
Penerbit: EA Books
Jumlah Halaman: xvi + 228 halaman
Tahun Terbit: 2021
Masih banyak anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari pengasuhan anak yang wajar. Anak dinilai patut dikerasi supaya disiplin, orang tua punya kuasa penuh atas si anak (di antaranya bahkan berpikir sampai anak menikah), serta bagaimanapun, surga berada di telapak kaki ibu dan “kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa.” (Hal. 34).
Memulai membaca Si Kecil yang Terluka dalam Tubuh Orang Dewasa, ingatan tentang luka masa kecil saya terasa dipanggil kembali. Sama seperti Mbak Patresia Kirnandita (penulis buku ini), saya adalah seorang anak yang tumbuh dengan perasaan ganjil kepada ibu.
Saya tidak tahu bagaimana menyebut perasaan itu. Ada kecewa, marah, sayang, sekaligus takut. Kekerasan fisik maupun verbal yang saya terima sejak kecil, membuat saya tumbuh menjadi anak yang sulit mengingat bagaimana hangatnya pelukan seorang ibu.
Saya bahkan tidak ingat bagaimana saya dan ibu saling mengucapkan selamat ulang tahun. Kami juga tidak pernah membahas hal-hal yang berhubungan dengan perempuan. Makanya, ketika saya menstruasi untuk pertama kali, saya benar-benar bingung menghadapinya.
Seperti yang tertulis di dalam buku ini, oleh banyak orang di luar sana, perasaan saya itu sering kali dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan. “Tidak ada yang namanya orang tua toksik. Yang ada hanya anak yang tak berbakti, gampang mengeluh, tukang menyalahkan, atau durhaka.” (Hal. 218)
Akhirnya, alih-alih menyadari dan berusaha mengobati luka yang ada, saya malah terbiasa untuk mengabaikannya. Sampai detik ini, saya belum pernah mendatangi psikolog sebagai langkah menyembuhkan diri sendiri. Padahal, saya sempat begitu lama hidup dengan melabeli diri sendiri dengan sebutan anak durhaka yang tidak berhak bahagia.
Membaca buku ini, sering kali saya seperti melihat diri sendiri. Banyak luka yang diceritakan Mbak Patresia yang membuat saya merasa bahwa luka masa kecil saya diakui, saya punya teman.
Saya suka bagaimana Mbak Patresia merangkai kisah luka masa kecilnya dengan memadukan jurnal pribadi dan referensi ilmu psikologi. Jadi, membaca buku ini bukan sekadar berbagi luka dan pelukan, tetapi sekaligus mendapat banyak sekali pengetahuan baru.
Di dalam buku ini, Mbak Patresia menceritakan kisahnya secara runtut, mulai dari bagaimana luka masa kecil itu muncul, bagaimana ia tumbuh dengan lukanya, bagaimana luka itu berpengaruh terhadap banyak hal dalam hidupnya (termasuk kisah percintaan), dan bagaimana luka itu menjadikannya seorang ibu yang berusaha agar anaknya tidak mengalami apa yang ia alami dulu. Tidak mudah memang, tetapi dari sanalah kita bisa melihat betapa luka masa kecil itu bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan.
Sama seperti Mbak Patresia, saya juga sadar bahwa kedua orang tua saya bukan tidak pernah melakukan kebaikan dan memberi cinta. Kebaikan dan cinta itu ada. Namun, ekspresi untuk menunjukkan bahasa cinta itu yang tak sama dengan apa yang saya harapkan.
Memang benar ada anak yang akhirnya bisa menjadi “orang” karena didikan yang keras, tetapi itu bukan berarti bahwa tidak ada anak yang merasa lebih dicintai dengan pelukan dan kata-kata manis. Orang tua juga bukan hanya perlu didengar oleh anak, tetapi juga perlu untuk mendengarkan isi hati anak.
Satu hal yang juga paling menyenangkan bagi saya dari buku ini adalah ketika Mbak Patresia menceritakan bagaimana dia mulai memaafkan diri sendiri dan belajar memaklumi serta memaafkan kedua orang tuanya, terlebih sang ibu.
Orang tua yang toksik, yang menjadikan kekerasan sebagai bahasa cinta, bukan tidak mungkin tumbuh dalam keadaan yang sama.
Saya pribadi mengamini hal tersebut. Dari cerita saudara-saudara ibu saya, saya tahu bahwa ibu saya juga dididik dengan keras. Sayangnya, ibu saya menganggap hal tersebut sebagai bagian dari cara kedua orang tuanya dalam mendidik anak. Jadi, bisa dibilang, hal tersebut seperti lingkaran setan yang kalau tidak diputuskan, akan terus berlanjut ke generasi-generasi selanjutnya.
Membaca buku ini, saya dihadapkan pada tiga hal. Pertama, saya diajak melihat kembali luka masa kecil. Kedua, merasakan bagaimana luka masa kecil saya diakui dan bagaimana luka masa kecil itu menjadi bagian tak terpisahkan dari diri saya yang sudah dewasa (yang mau tidak mau berdampak pada kepribadian saya). Ketiga, saya diajak untuk merasa bahwa tidak ada tenggat waktu tertentu untuk berdamai dengan luka masa lalu. “Perjalanan rekonsiliasi selalu panjang, pun demikian dengan pemulihan anak kecil dalam diri kita.” (Hal 220).
Luka masa kecil yang saya bawa sampai dewasa memang tidak pernah tersentuh kata maaf, tetapi dari sanalah saya belajar tentang besarnya arti kata maaf dalam kesalahan.
Meskipun buku ini berisi toxic parenting, tetapi isinya bukan semata penghakiman terhadap orang tua. Ada banyak kalimat-kalimat menenangkan yang rasanya membuat saya pribadi ingin lebih fokus menerima dan menyembuhkan luka dibanding terus menyalahkan keadaan.
Catatan: ada bagian dalam buku ini yang memuat cerita tentang keinginan bunuh diri.
Sumber Gambar: Buku Mojok