Shogi atau catur Jepang jelas kalah populer jika kita bandingkan dengan catur modern (chess). Akan tetapi, medan perang perpolitikan Indonesia dua hingga empat tahun terakhir membuka kembali ingatan saya pada satu ketentuan utama dalam catur Jepang yang telah saya mainkan sejak sembilan tahun ini. Aturan main yang sebenarnya sederhana dan bisa dipahami siapa saja, tetapi punya implikasi strategis yang mengerikan.
Bidak lawan yang kita makan bisa dimasukkan kembali (drops) ke atas papan permainan sebagai pion utama dalam serangan membunuh lawan. Singkatnya, shogi punya kemungkinan tak terbatas dalam hal siasat cepat menghabisi raja musuh. Satu lagi sistem unik yang hanya bisa dinikmati dalam shogi adalah buah catur milik kita bisa berubah bentuk (promotion) beserta fungsi langkahnya apabila berhasil mencapai tiga petak terakhir pertahanan sang penantang.
Secara teknis, memang agak njlimet jika dijelaskan, tetapi padanannya telah terjadi dalam saling silang sengketa politik praktis di Indonesia. Lihat saja Sandi yang belum lama ini “ditangkap” kubu Jokowi, lantas ditempatkan pada posisi strategis sebagai salah satu lini serang kubu oposisi. Sementara gerbong utamanya, Prabowo, malahan sejak lama dan awal mula seolah “menyerahkan diri” dengan dalih jalan ninja dalam membela rakyat.
Konsep permainan kedua, tentang berubahnya bidak shogi ketika menyentuh tiga petak terakhir di depannya, juga sudah jadi ajang akrobat bagi para simpatisan dan pendukung partisan. Lihat saja Erick Thohir yang kariernya kian eksponensial, mulai dari Asian Games, Tim Kampanye Nasional, sampai bertransformasi menjadi Menteri BUMN.
Kalau raja dalam shogi diibaratkan sebagai rakyat yang tentu saja turut berkompetisi sebagai pihak oposisi, maka ya pilihannya tinggal satu: menyerah, pasrah, dan resign dari permainan. Wong para tentara elitnya sudah kocar-kacir nggak karuan, apa lagi yang mau diperjuangkan? Sekarang pilihannya tinggal pulang pada kehidupan normal, mau dinasti politik ataupun penyerangan bersenjata tanpa keadilan hukum, semua sudah suratan yang Maha Kuasa.
Sebaliknya, shogi tetap bisa kita mainkan kapan pun dan di mana pun, sambil belajar melupakan kegilaan real life yang nggak ada juntrungannya. Platform resmi dari Japan Shogi Association yang bisa dimainkan secara daring adalah 81 Dojo. Opsi lain yang kurang populer misalnya Playok dan puluhan aplikasi yang tersedia dalam PlayStore ponsel pintar kalian.
Angka 81 yang menyertai laman online permainan shogi mengacu pada jumlah petak yang ada dalam papan permainan. Shogi memang memiliki 9 x 9 luas permainan, dengan tiga baris petak ditempati oleh masing-masing pemain. Baris pertama berisi sembilan buah catur dengan kekuatan yang berbeda-beda. Baris ketiga dikuasai oleh poin yang hanya bisa melaju satu demi satu langkah.
Sementara baris kedua hanya berisi dua bidak terkuat dalam shogi universe, hisha (rook) dan kakugyo (bishop). Seperti namanya, hisha punya langkah tak terbatas ke arah depan atau vertikal dan ke arah samping atau horizontal, persis seperti buah catur benteng dalam catur modern. Sedangkan kakugyo, meskipun diistilahkan dengan nama bishop, langkahnya lebih mirip ratu dalam terminologi catur, bisa melangkah tak terbatas secara diagonal.
Hisha dan kakugyo ini bisa menjelma menjadi buah catur yang lebih superior jika berhasil mencapai tiga baris petak terakhir dalam wilayah lawan. Hisha berubah menjadi ryuo, lantas bisa berjalan satu langkah secara diagonal. Kakugyo bermetamorfosa menjadi ryuma, kemudian dapat bergerak masing-masing satu langkah ke arah horizontal dan vertikal.
Perubahan bentuk setelah mencapai daerah kekuasaan musuh biasanya ditandai dengan membalik buah catur. Sehingga, aksara hiragana atau katakana pada buah catur berbentuk segi lima yang tadinya ditulis tinta hitam, berganti dengan tulisan berwarna merah. Nggak jauh beda lah dengan dominasi warna putih dan hitam golongan Prabowo Sandi yang kemudian melebur bersama merahnya gerbong banteng Bu Mega~
Pada akhirnya, politik tak ubahnya papan catur Jepang selebar sembilan kali sembilan. Dimainkan oleh dua “orang” atau otoritas yang lebih besar dan punya kepentingan. Di penghujung permainan, kedua orang pemain ini juga menuju satu tujuan yang sama. Siapa pun pemenangnya, keduanya akan selalu menjadi lebih kuat, lebih cermat, dan lebih puas agar bisa lebih buas dalam permainan selanjutnya, lima tahun kemudian.
Rakyat yang jadi penonton, penjudi, sekaligus bahan bakar paling awet setiap separuh dekade, hanya bisa berkomentar tanpa bermakna apa pun saja lantang teriakan. Kalangan berpendidikan bersabda dengan ilmu yang seringkali tidak utuh, demi kedekatan dan rekomendasi. Golongan pinggiran hanya bisa bersabar dengan manuver politik yang entah besok, lusa, atau bulan selanjutnya hanya akan menambah beban dan penderitaan harian.
Setidaknya, rakyat Indonesia masih punya banyak begawan dan seniman yang tidak bisa dibeli oleh iming-iming jabatan komisaris perusahaan. Kita tetap akan terhibur bahagia dan ditenangkan oleh candaan surgawi dari para negarawan akhirat seperti Cak Nun, Sujiwo Tejo, Gus Baha, Gus Mus, hingga Gus Miftah. Tak apalah rakyat lupa-lupa ingat dan sering kali tertukar makna antara nelangsa dan tawa, pada akhirnya Tuhan yang memiliki hati kita semua.
BACA JUGA Panduan Misuh Bahasa Jepang biar Kamu Bisa Sekuat Tokoh Anime dan tulisan Adi Sutakwa lainnya.