Sewu Dino: Kenapa Film Indonesia (Terkesan) Alergi Pakai Bahasa Daerah yang Utuh?

Sewu Dino: Kenapa Film Indonesia (Terkesan) Alergi Pakai Bahasa Daerah yang Utuh? (Pixabay.com)

Sewu Dino: Kenapa Film Indonesia (Terkesan) Alergi Pakai Bahasa Daerah yang Utuh? (Pixabay.com)

Trailer Sewu dino mengundang banyak kritikan karena penggunaan bahasa daerah yang kacau. Jujur saja, masalah ini bukan kali pertama

“Hari itu kita mulih.”

“Untuk apa kalian mrene?”

Adalah kalimat yang pasti akan terdengar saat kalian memutar video trailer dari film Sewu Dino yang sedang hangat-hangatnya bertengger di beranda YouTube. Berlatar hawa mistis dari hutan belantara, munculnya penggambaran rumah tua bermaterial kayu usang, lalu terdapat kakek-kakek dengan kepribadian yang misterius, sampai dengan alasan klasik dari pemeran utama yang kepepet mencari kerja apapun karena nggak punya uang adalah paket lengkap yang terkemas dalam film ini.

Film yang rencananya akan ditayangkan pada saat Lebaran ini merupakan adaptasi dari thread horor yang pernah mengguncangkan dunia Twitter. Sebelas dua belas dengan KKN di Desa Penari, masyarakat banyak yang berharap agar penggambaran ceritanya akan dikemas secara apik layaknya tweet asli yang dibuat oleh akun Simpleman, akun yang juga menceritakan legenda KKN itu.

Memang benar kalau perkembangan industri film khususnya genre horor di Indonesia sudah sangat berubah sejak beberapa tahun silam. Film-film ini sudah berhasil melepas stigma negatif dari tema yang melenceng ke arah pornografi. Hal inilah yang membuat saya cukup bersemangat untuk menonton beberapa film horor yang akan tayang di tahun ini, salah satunya Sewu Dino.

Dialog Sewu Dino blas ra ketok Jawa

Terlepas dari hal tersebut, saat melihat cuplikan filmnya ada beberapa bagian saat para pemeran mengucapkan kata-kata berbahasa Jawa. Para pemeran ini berusaha untuk memakai logat medhok padahal dialognya saja bahasa Indonesia. Maksudnya, kenapa tidak langsung saja pakai bahasa Jawa sehari-hari gitu, biar pendalaman karakternya lebih kerasa?

Saya tahu, mungkin saja dari pihak penulis memang membuat naskah dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun, alangkah lebih baik jika memang berkomitmen menggunakan suatu ciri kedaerahan dibuat dengan maksimal, natural, dan lebih mengalir. Masalah lain bisa juga karena faktor pemerannya bukan orang daerah asli atau warga lokal yang memang sudah kental mengalir dalam dirinya atas bahasa Jawa, misalnya saja.

“Untuk apa digowo mrene.”

“Sing harus kalian lakukan hanya mbasuh dan jogo Dila.”

“Sri gak mau kelangan Bapak karena kita gak punya uang, Pak.”

Gimana? Kalian kesal tidak bacanya? Apalagi saat mendengarkannya secara langsung. Sayangnya ini bukan hanya terjadi di film Sewu Dino saja, ada beberapa film lain yang tertangkap basah gunain bahasa gado-gado campur, kanibal sana-sini, sambung gini sambung gitu.

Saran saja, kalau misal alasannya karena takut penonton nggak ngerti ucapan dari aktor dan aktrisnya ya silahkan saja gunakan subtitle dalam penayangannya. Toh masyarakat kita juga biasa nonton film luar dengan bahasa asing yang secara total sebenarnya nggak paham pemeran ngucap apa, tapi terbantu sama subtitle yang ada.

Baca halaman selanjutnya

Penyakit yang telanjur dimaklumi…

Penyakit yang telanjur dimaklumi

Mungkin ada beberapa penonton yang sebetulnya bodo amat dan nggak terlalu peduli dengan tata bahasa yang cukup aneh dalam film yang mereka tonton, tapi kalau keterusan lama-lama industri perfilman kita menyepelekan unsur ini. Padahal kalau pihak produksi mau berusaha meneliti dan menyesuaikan dialog dengan benar, maka hasil karya yang awalnya memang sudah berkualitas akan tambah bagus dan terkesan profesional.

Selain Sewu Dino, kita juga dapat melihat beberapa dialog gado-gado dalam film KKN Desa Penari, Bumi Manusia, atau bahkan Kartini yang dibintangi oleh aktris senior Dian Sastro.

“Maap ndhuk, nek sing iku… Abah gak bisa bantu.” Dalam KKN di Desa Penari.

“Koe iki bocah terpelajar, siswa HBS, kenapa tinggal serumah sama nyai? Hah? Dasar bocah edan!” Dalam cuplikan dialog Bumi Manusia.

“Kamu saksiku, aku gak nikah, ra bakal aku nikah.” Ketika Kartini menolak dijodohkan di dalam filmnya.

Kacaw.

Belajar dari Tilik

Mungkin kita bisa contoh film pendek Tilik yang sempat ramai beberapa waktu lalu. Isinya yang simpel, mengalir dengan baik, tidak kaku, tidak pula terlalu baku, bahkan bisa memancing emosi penonton karena ciri khas pemainnya yang super duper julid saat menggunakan bahasa lokalnya sendiri. Bukankah yang seperti itu justru lebih membawa suasana film sampai ke penonton dengan kuatnya?

Tilik juga membuktikan bahwa sebuah cerita tidak harus memakai pemeran utama yang sudah amat sangat terkenal demi memancing jutaan penonton. Yang dibutuhkan sebetulnya adalah penjiwaan karakter yang kuat dan mungkin saja bisa ditemukan lewat casting dadakan ke masyarakat biasa. Siapa tahu ketemu pemeran yang multitalenta.

Misal dicampur pun, nggak masalah sebenarnya, asal, asal, tepat. Bisa kok riset ke orang-orang yang lama merantau, terus balik ke daerahnya. Liat bagaimana mereka mencampur bahasa, yang jelas tidak sekaku film. Atau kalau perlu mah, full pake bahasa Indonesia sekalian. Tapi ya tetap aneh sih, setting Sewu Dino ini lebih tepat dengan full bahasa daerah.

Mari kita sudahi komposisi dialog yang aneh ini. Tidak ada salahnya sih misal pun tetap dicampur seperti itu, tapi tolonglah… nanti jatuhnya terdengar amat sangat maksa di telinga. Lagi pula, kalau full tanpa dicampur pun saya berterima kasih kepada pihak yang sudah membuat dialog tersebut, soalnya sambil nonton juga bisa belajar bahasa daerah. Itu juga lebih menghargai identitas pluralnya masyarakat kita, kan?

Penulis: Anisa Cahyani
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Tilik adalah Contoh Bagaimana Orang Kota Masih Gagap dalam Melihat Desa

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version