Setia dengan Kartu Tri Adalah Keputusan Terbaik: Tri Tidak Akan Berkhianat, Cuma kalau Ujan Dia Nggak Berguna

Setia dengan Kartu Tri Adalah Keputusan Terbaik: Tri Tidak Akan Berkhianat, Cuma kalau Ujan Dia Nggak Berguna

Setia dengan Kartu Tri Adalah Keputusan Terbaik: Tri Tidak Akan Berkhianat, Cuma kalau Ujan Dia Nggak Berguna

Kartu Tri adalah saksi jatuh bangun kehidupan saya, dan ia tidak pernah meninggalkan saya… kecuali pas ujan.

Kalau ada yang tanya, apa hal paling setia dalam hidupku sejak tahun 2012, aku nggak akan jawab “pacar”, karena yang satu itu aja hanya bisa bertahan sebulan dua bulan. Nggak juga motor butut yang kalau dipake nganter gebetan malah mogok di tanjakan. Bukan juga teman yang katanya “teman sejati”, tapi datang hanya saat pas butuh pinjeman duit.

Kesetiaan paling nyata dalam hidupku datang dalam bentuk kecil kartu Tri. Iya, kartu SIM yang dari dulu identik dengan anak kos, pelajar irit, dan rakyat kelas menengah bawah yang ogah bayar mahal buat sinyal. Tri itu bukan sekadar provider, tapi teman hidup.

Dan seperti kebanyakan cinta sejati, kisahku dengan Tri nggak mulus-mulus amat.

Awal jatuh cinta dengan Kartu Tri

Pertama kali kenal Tri itu waktu kuliah. Sekitar 2012, tahun di mana orang cari “nomor cantik”. Ada yang bela-belain beli nomor berakhiran 8888 karena katanya hoki, ada juga yang 1234 biar gampang dihafal. Tapi aku? Bodo amat. Aku malah beli nomor acak dari konter depan gang kos. Dan dari sekian banyak simcard yang tersedia, aku memutuskan untuk membeli simcard dengan nomor berakhiran 1932.

“Wah, kayak tahun kelahiran kakek-kakek,” kata temenku sambil ketawa.

Tapi bagiku, angka itu istimewa. Itu tahun kelahiran PSIS Semarang, klub bola yang sejak kecil aku dukung, meskipun prestasinya lebih sering naik turun.

Dan dari situ, aku merasa ini bukan sembarang kartu. Ini takdir. Tri dan aku satu frekuensi. Bahkan ketika sinyalnya ilang pas hujan deras, aku tetap bertahan. Karena apa? Karena cinta yang tulus itu nggak pernah gampang nyerah.

Masa kuliah dan paket AON yang melegenda

Jujur aja, masa kuliah itu bukan masa-masa produktif. Itu masa-masa irit, masa-masa bertahan hidup. Duit pas-pasan, tapi kebutuhan segudang dari mulai bayar kos, beli buku, makan, dan tentu saja, beli kuota buat stalking gebetan.

Nah, di sinilah Tri menunjukkan jati dirinya. Dengan uang 2 ribu, aku bisa beli sebuah voucher pulsa.

Zaman itu belum rame WhatsApp. SMS masih jadi alat komunikasi utama. Paket AON (AlwaysOn) dari Tri itu tampil sebagai penyelamat. Cukup bayar sekali, bisa internetan satu bulan. Meski kecepatannya kadang kalah sama siput jalan pagi, tapi yang penting bisa buka Facebook, nyari meme di Twitter, atau streaming YouTube dengan kualitas 144p.

Aku masih inget, tengah malam di kosan, sambil ngetik tugas dan stalking gebetan, semua dilakukan berkat Tri. Tanpa dia, aku mungkin nggak bakal tau siapa cowok yang sering komen di postingan si dia.

Listrik padam, sinyal menghilang

Tapi ya, cinta itu nggak selalu indah. Tri punya satu kelemahan kronis yang dari dulu nggak sembuh-sembuh, yaitu sinyalnya manja banget. Begitu mati lampu, sinyal langsung pamit. Seolah-olah BTS Tri itu colokan listriknya nebeng di dapur rumah warga. Kalau listrik mati, ya udah, sinyal ikut tidur siang.

Bayangin, lagi asik-asiknya ngobrol sama gebetan, ngebahas hal-hal penting kayak “kamu udah makan belum?” atau “kamu kangen aku nggak?”, eh tiba-tiba chat pending. Lihat pojok HP, sinyalnya hilang. Patah hati versi digital. Kadang aku mikir, jangan-jangan hubungan kita gagal bukan karena beda prinsip, tapi karena Tri nggak bisa bertahan saat PLN memadamkan cinta.

Dan sialnya, sinyal Tri juga alergi hujan. Begitu langit mendung, sinyal langsung lemot. Apalagi kalau udah ujan deras, bisa-bisa sinyal lenyap kayak kenangan mantan.

Bertahan dengan kartu Tri karena kenangan

Meski begitu, aku nggak pernah bener-bener bisa ninggalin Tri. Pernah sih, coba-coba ganti provider lain yang katanya lebih stabil dan lebih kenceng. Tapi entah kenapa, rasanya nggak cocok. Seperti pacaran sama orang yang sempurna, tapi nggak ada “kliknya”.

Tri itu nggak sempurna, tapi dia ada. Dia hadir di masa-masa paling sulit dalam hidupku. Saat kepepet duit, saat butuh sinyal buat skripsi, saat pengin dengerin lagu galau tengah malam karena cinta bertepuk sebelah tangan, Tri selalu jadi bagian dari cerita itu.

Dan aku rasa, itu yang bikin aku bertahan.

Sekarang dan nanti, entah sampai kapan

Sekarang, tahun 2025, banyak hal sudah berubah. Dulu SMS, sekarang chat melalui sosial media, Dulu Facebook-an di warnet, sekarang main TikTok sambil rebahan. Tapi satu yang belum berubah sinyal Tri masih gampang ilang kalau mati lampu.

Tapi ya sudahlah. Aku udah ikhlas. Mungkin ini bagian dari ujian cinta. Dan kalau suatu saat nanti Tri benar-benar hilang dari pasaran, aku bakal jadi salah satu yang paling sedih. Karena aku tahu, di balik segala kekurangannya, Tri pernah jadi saksi hidupku. Saksi masa muda, masa jatuh cinta, dan masa-masa ketika kuota 2GB bisa bikin bahagia satu bulan penuh.

Mungkin cinta itu kayak sinyal Tri. Nggak selalu stabil, kadang hilang entah ke mana, tapi kalau udah terhubung, rasanya sulit dilepasin.

Dan meskipun kadang bikin geregetan, nyatanya, Aku tetap setia bersama Tri. Sampai sekarang, sampai nantim sampai dunia sinyal ini tak lagi menyisakan masalah.

Penulis: Andre Rizal Hanafi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Saya Beralih ke Tri Gara-gara Muak dengan Kelakuan Telkomsel yang Makin Lama Makin Nggak Masuk Akal

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version