Serba-serbi Kerja Paruh Waktu di Jepang untuk Pelajar Asing

Kerja Paruh Waktu di Jepang agar Bisa Kirim Uang untuk Keluarga di Indonesia terminal mojok

Sudah bukan rahasia lagi mahasiswa atau pelajar asing di Jepang kerja paruh waktu demi menimbun cuan. Tak hanya pelajar Indonesia, para pelajar asal Vietnam dan Tiongkok pun menjadi pemburu pekerjaan ini di sela-sela kesibukan studi mereka. 

Menurut aturan perundang-undangan Jepang, pelajar asing memang diperbolehkan bekerja paruh waktu maksimal 28 jam seminggu (anggap saja sehari bekerja selama 4 jam) pada saat kuliah biasa, sedangkan pada saat musim liburan diperbolehkan 56 jam seminggu. 

Uang adalah tujuan utama

Hampir 70% pelajar asing tanpa beasiswa melakukan pekerjaan paruh waktu di Jepang. Mulai dari pekerjaan di sektor servis seperti pelayan toko, restoran, sampai ke pabrik atau konstruksi bangunan. Semua pekerjaan boleh dilakukan, tapi jangan sampai pekerjaan ilegal dan melanggar aturan tata tertib Jepang.

Ada persyaratan yang dibutuhkan untuk bisa kerja paruh waktu di Jepang, tergantung jenis pekerjaan. Melamar pekerjaan paruh waktu pun sama seperti melamar pekerjaan pada umumnya, yakni menggunakan CV dan wawancara. Setelah dinyatakan diterima, para pekerja juga akan menjalani masa percobaan selama 1-3 bulan, tergantung tempat bekerjanya. Meski banyak persyaratan, kalau boleh dibilang yang paling utama agar bisa diterima kerja ya tetap etos kerja dan bahasa. Memang alangkah baiknya jika kita bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Jepang, meski hanya pekerja paruh waktu.

Ada juga, sih, yang nggak perlu CV dan bahasa Jepang yang jago, misalnya bekerja memanen sayur pada musim panen. Hanya saja untuk pekerjaan jenis seperti ini, biasanya orang Jepang membutuhkan rekomendasi dari orang yang mereka percayai. Karena itu, mempunyai kenalan orang Jepang yang bisa merekomendasikan kita adalah hal yang menguntungkan.

Hitungan upah pekerjaan paruh waktu di Jepang berdasarkan jam. Upah minimum juga berbeda, tergantung daerahnya. Sebagai contoh hitungan gaji dengan upah per jam 800 yen, misalnya seorang pekerja paruh waktu full bekerja selama seminggu, berarti 28 x 800 yen = 22.400 yen. Artinya, dalam waktu sebulan, seorang pekerja paruh waktu di Jepang mendapat sekitar 89.600 yen, yang kalau dikurskan ke rupiah menjadi sekitar Rp 12 juta. Sangat fantastis, bukan?

Akan tetapi, kenyataannya tak seindah itu. Kalau kuliah padat, tentu saja kita nggak akan bisa bekerja 4 jam dalam sehari. Bisa, sih, dikejar saat akhir pekan, yang penting seminggu 28 jam. Namun, badan bakalan capek banget dan kemungkinan bisa mengganggu studi. Padahal tujuan utama datang ke Jepang, kan, menuntut ilmu, bukan kerja paruh waktu. Ehe.

Ada juga mahasiswa berbeasiswa dan tetap bekerja paruh waktu dengan getol, meski kesannya jadi nggak tahu diri dan “maruk”. Meski sah-sah saja, sih. Kalau agak kebangetan sampai bolos kuliah dan nilai turun, biasanya dosen pembimbing atau pihak kampus juga akan menegur dan mengingatkan kembali bahwa tujuan utama datang ke Jepang ya belajar, bukan kerja cari uang.

Sebenarnya bukan uang saja, sih, yang menjadi motif utama para pelajar di sana memutuskan untuk kerja paruh waktu. Pengalaman kerja dan interaksi dengan orang Jepang di tempat kerja juga bisa jadi poin plus.

Soal cuan, pemerintah Jepang juga memberlakukan peraturan agar mahasiswa asing melaporkan pendapatan mereka dari kerja paruh waktu atau bisa juga dilakukan oleh tempat kerjanya. Oleh karena itu, bukti seperti slip atau bukti transfer gaji sangat diperlukan saat mengajukan perpanjangan visa. Bagi yang ketahuan melanggar aturan jam, dll. tentunya bisa dideportasi. 

Untuk mengakali hal ini, biasanya pelajar asing bekerja paruh waktu di banyak tempat tetapi yang upahnya resmi dengan transfer/slip gaji hanya satu atau dua, yang cukup dengan aturan 28 jam per minggu. Kalau lebih dari itu, mereka mengakali dengan mencari pekerjaan yang upahnya tunai langsung tanpa terdeteksi dalam transaksi keuangan resmi. Agak berisiko, sih, kalau ketahuan lantaran efeknya bisa langsung dideportasi. Meski begitu, banyak pelajar asing yang melakukannya, terutama dari Vietnam dan Tiongkok.

Saya pernah mendengar kisah pelajar Vietnam yang bekerja gila-gilaan sampai mendapat upah 40 juta rupiah per bulan, namun tidurnya sehari hanya sejam atau dua jam saja. Gila, sih, bisa remuk tu badan.

Sebenarnya kerja paruh waktu nggak hanya dilakukan pelajar asing, pelajar Jepang juga melakukannya. Terkadang mereka juga mendapat perlakuan nggak menyenangkan karena nggak digaji sesuai perjanjian awal. Pelajar yang masih bisa dikibulin dan nggak ada kontrak resmi tertulis mungkin menjadi alasan mereka diperlakukan semena-mena. Kalau orang Jepang saja dibegitukan, orang asing tentunya juga mudah menjadi sasaran empuk kecurangan seperti ini.

Pengalaman saya

Pernah kerja paruh waktu di Jepang? 

Pernah, dong.

Saya pernah bekerja paruh waktu sebagai pelayan restoran halal dan karyawan toko oleh-oleh. Kedua tempat ini membolehkan saya tetap mengenakan hijab saat bekerja. Bagi muslimah yang tetap ingin berhijab saat bekerja memang agak susah, sih, mencari pekerjaan paruh waktu di sektor jasa dan servis. Sebagian besar alasannya ya karena berhubungan langsung dengan customer, dan memakai aksesori hijab bukan hal yang umum dilakukan di Jepang.

Kebetulan karena restoran halal dan toko oleh-oleh tempat saya kerja membutuhkan karyawan yang bisa melayani customer muslim Asia, makanya saya bisa dapat dua pekerjaan itu. Sayangnya, saya tak lama bekerja di kedua tempat itu. Masing-masing hanya sekitar 2 bulanan.

Upahnya?

Kebetulan lagi saya hanya bekerja seminggu sekitar 2-3 kali dengan masing-masing 3 jam saja, sehingga sebulan hanya mendapat sekitar 28.800 yen (atau sekitar 3,5 jutaan rupiah). Memang jumlah yang sedikit, sih, dibanding teman-teman lain. Tapi, lumayan lah, masih di atas UMR Yogyakarta. Eh.

Saya juga pernah bekerja sebagai pelayan yang merangkap jadi tukang cuci piring di restoran hotel. Untuk pekerjaan satu ini, saya terpaksa melepas hijab saat bekerja. Agak dilematis, sih, hanya saja waktu itu saya membutuhkan uang untuk membayar biaya deposit sewa kontrakan baru yang nggak murah. Perjalanan bersepeda dengan tanjakan dan agak jauh dari kontrakan juga menjadi kenangan yang masih saya ingat sampai detik ini. Menangis di tengah hujan, “Ya Tuhan, hidup kok gini-gini amat, ya?” keluh saya waktu itu. 

Alasan bekerja? 

Ya uang, dong. Pengalaman mah nomor dua. Teman dan koneksi nomor tiga. Ehehehe. 

Uang itu saya gunakan untuk biaya perjalanan penelitian tesis saya yang kebetulan harus pergi ke luar daerah. Sisanya saya gunakan untuk mengirim uang ke rumah di Indonesia. 

Hal seperti ini juga biasa, kok, dilakukan oleh pelajar Indonesia. Selain untuk membayar utang, mengirim uang ke Indonesia juga menjadi tradisi tersendiri bagi orang Indonesia yang bekerja di Jepang.

Lha gimana, ya, sudah dianggap banyak uang karena bekerja di Jepang, sih. Padahal sehari makan apa dan remuknya badan karena kecapekan bekerja tak pernah diceritakan ke orang lain.

Saya yakin, sih, kalau nggak terpaksa demi uang untuk biaya kuliah, kirim uang ke orang tua, atau apa pun itu, nggak banyak pelajar yang mau bekerja paruh waktu, kok. Kalau boleh memilih, ya belajar dan studi dengan tenang, duduk manis di kelas mendengarkan dosen tanpa khawatir besok makan apa. 

Eh, tapi mumpung di Jepang, kan?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version