Sepak Bola Tanpa Kekerasan Gender Adalah Hal yang Harus Diperjuangkan

Seandainya para Filsuf Melatih Sepak Bola Pakai Strategi dari Pemikirannya terminal mojok.co

Seandainya para Filsuf Melatih Sepak Bola Pakai Strategi dari Pemikirannya terminal mojok.co

Banyak hal yang bias antara benar dan salah. Sering kali mereka menilai cukup berdasar nurani masing-masing individu. Dan hal yang bisa menimbulkan perdebatan yang disebabkan penilaian yang bias adalah pelecehan seksual, terutama dalam dunia sepak bola.

Mari kita berbicara tentang sepak bola dan pelecehan seksual. Sejak 2010, Inggris mulai mempercayai wasit perempuan sebagai pengadil pertandingan resmi mereka, tepatnya di divisi Championship, yang kemudian setelah itu berlanjut ke Premier league.

Awal kemunculan pengadil perempuan tak sepenuhnya berjalan baik dan banyak diremehkan. Salah satunya, Sian Massey-Ellis yang pernah dikritik memimpin pertandingan yang buruk dan tak mengerti offside oleh Andy Gray.

Laga Man. City melawan Arsenal pada 17 Oktober 2020 kembali melibatkan dirinya. Pada menit 41 terjadi perebutan bola antara Gabriel, Mahrez, dan Aguero di pinggir lapangan. Saat bola keluar hakim garis Massey-Ellis memutuskan bola dikeluarkan oleh pemain City. Aguero menunjukkan sedikit protes terhadap keputusan hakim garis.

Kejadian yang mengecewakan adalah saat sang striker mengakhiri protes dengan tangannya merangkul hakim wanita tersebut, respon Massey-Ellis terlihat buru-buru membuang tangan Aguero. Aksi tersebut cukup mengganggu untuk saya.

Posisi perempuan dalam sepak bola di antara laki-laki sering kali kurang menguntungkan. Kehadirannya dianggap sebagai penghias, dan bahkan diperlakukan kurang pantas. Contohnya, sepak bola wanita dianggap membosankan, tanpa skill, dan sering kali orang-orang berkata lebih baik nonton perempuan sebagai idol daripada bermain bola.

Itu baru perkara pemain. Chelsea pernah memiliki Eva Carneiro sebagai dokter tim. Alih-alih karena kepiawaian sebagai dokter tim, Eva lebih tersohor sebagai sosok cantik nan segar yang diharapkan sering masuk ke tengah lapangan.

Pertanyaannya, kenapa kehadiran mereka tak pernah dianggap karena kompetensi mereka?

Sebagai contoh, Marina Granovskaia kaum minoritas yang kehadirannya tidak bisa disepelekan dalam sepak bola, berperan sebagai direktur luar biasa untuk Chelsea. Megan Rapinoe dan Alex Morgan adalah pemain wanita top yang tidak perlu diragukan kemampuannya. Mereka masuk dalam jajaran pemain wanita terbaik tahun lalu. Masih banyak lagi perempuan-perempuan hebat lainnya di sepak bola dalam berbagai peran.

Kembali ke insiden Aguero. Tindakan Aguero tersebut dianggap hal yang tidak perlu dibesar-besarkan. Toh, itu cuma rangkulan, katanya. Padahal jelas-jelas sang wasit tidak nyaman dengan perlakuannya. Tindakan Aguero tetap saja masuk ke pelecehan, dan tak ada yang ringan dari sebuah pelecehan.

“Sergio adalah orang terbaik yang pernah saya temui. Jangan melihat sebuah masalah hanya dari satu sisi,” sang pelatih, Pep Guardiola, ikut membela anak asuhnya tersebut usai pertandingan.

Amy Lawrence, salah satu penulis ternama ikut berkomentar tentang hal ini. Melalui akun Twitter pribadi miliknya dia meng-counter pernyataan Guardiola tersebut. Dia menyebut Massey-Ellis adalah sosok yang baik dalam pekerjaannya.

Amy Lawrence mengatakan, “tidak nyaman melihat Aguero meletakkan tangannya di lehernya seperti itu–bukan sesuatu yang saya setujui terlepas dari jenis kelaminnya. ‘Kebaikan’ Aguero jelas tidak relevan dalam hal ini.”

Sikap Aguero dan pembelaan Pep hanya segelintir dari kekerasan gender yang pernah terjadi di sepakbola. Jauh sebelumnya Hope Solo pernah bersuara tentang pelecehan yang dia terima, pelakunya adalah mantan presiden FIFA, Sepp Blatter. Kasus yang terjadi tidak hanya sekali-dua kali kepada perempuan di dunia sepak bola ini, bahkan pejabat tertinggi sepak bola juga pernah melakukan hal tidak terpuji tersebut. Bukankah harus mulai ada aturan yang tegas dan melindungi perempuan di dunia sepak bola? Solusi konkret untuk mengatasi titik lemah yang kronis ini sudah seharusnya ditangani lebih baik lagi. Bukan malah melanggengkan hal seperti rangkulan tersebut sebagai kewajaran.

Tanpa menuntut perlakuan istimewa di lapangan, biarkan perempuan bekerja sebagai pemain, staf, wasit, apa pun itu dalam sepakbola dengan aman sesuai kapasitasnya tanpa tempelan cantik dan seksi, apalagi perlakuan kurang menyenangkan.

Saya berharap federasi dapat memunculkan aturan baku tentang ini. Untuk mewujudkan itu mungkin kita masih perlu menunggu dalam waktu yang lama, tapi sebagai penonton setidaknya kita bisa berlaku lebih waras. Sesederhana berhenti melihat perempuan sebagai objek saja, apalagi menjadikannya guyonan sensual. Berhenti menganggap semua hal menjijikan ini sebagai kewajaran. Jangan juga bilang saya feminis baperan, bukankah memperlakukan manusia secara setara adalah sebuah kewajaran?

Pada akhirnya ini juga adalah wujud cinta terhadap sepak bola, untuk sepakbola tanpa rasisme, tanpa kecurangan, tanpa pelecehan seksual, dan kekerasan gender.

Terakhir, saya ingin menuliskan pesan yang baik dari @arsenalkitchen, “Budaya jelek ini perlu dihilangkan karena kesetaraan gender itu juga keistimewaan manusia”.

BACA JUGA Pemain Naturalisasi: Ketika Jadi Tuan Rumah Pildun, tapi yang Main Bukan Orang Indonesia

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version