Jika dipikir-pikir, ketika SD, permainan paling populer apa sih buat cowok selain sepak bola di sore hari? Saya kira kayaknya nggak ada, deh. Mungkin bagi sebagian anak muda seangkatan saya—yang sekarang sudah berkepala dua— akan merasakan bagaimana asyiknya permainan tersebut.
Dulu, di desa saya tinggal, tampaknya sepak bola menjadi fenomena yang menjamur, bahkan sebelum kehadiran Ronaldowati dan Tendangan Si Madun. Hehehe. Ya kalau sekarang, sih, mungkin mirip permainan daring, seperti Mobile Legends, PUBG, Free Fire, dan lain sebagainya.
Nah, tentu populernya permainan ini hadir bukan tanpa sebab, dong. Permainan ini lahir dari situasi kekeluargaan dan kesetiakawanan di kalangan anak-anak. Yakni perasaan tanpa membeda-bedakan siapa pun. Untuk itu, guna kembali bermain-main dengan masa lalu, terus terang saya menobatkan “permainan sepak bola menjelang maghrib” sebagai olahraga paling fair play di dunia.
Saya yakin permainan satu ini menjadi satu dari sekian banyak langkah kenapa timnas sepak bola muda Indonesia paling baik ketimbang timnas seniornya. Tanpa berlama-lama, berikut alasannya:
#1 Merangkul semua orang dengan tidak menentukan batas jumlah pemain
Biasanya, sebelum itu, untuk menentukan lapangan pun nggak ada standar, yang penting ada dan nggak mengganggu. Seperti apa pun bentuknya, entah trapesium, jajar genjang, segitiga sama kaki, di tanah kosong, dan halaman sekolah sekalipun, semua itu nggak masalah.
Di samping itu, penentuan jumlah pemain pun nggak ada batasannya. Semua anak boleh join. Terserah mau ikut kubu yang lepas baju atau yang nggak. Fungsinya apa? Ketiadaan adanya batasan jumlah pemain inilah yang sebenarnya mengandung banyak tafsir. Dari sisi sosiologis hingga filosofis semua bisa diartikan.
Tujuan permainan ini sebenarnya bukan menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Melainkan merangkul semua orang agar ikut merasakan indahnya bermain bersama.
#2 Mengakui pelanggaran sebagai bentuk kejujuran diri
Sepak bola mungkin identik dengan kekerasan, kerusuhan, dan perkelahian. Namun, beda ceritanya dengan sepak bolanya anak-anak. Dengan wajah polos dan lugu, anak-anak yang handsball dan melanggar pasti akan mengakui.
Pokoknya nggak ada aksi lempar batu sembunyi tangan. Jika melanggar, pasti berhenti. Jika handsball, pasti mengakui. Dan yang terpenting nggak ada istilah diving-divingan.
#3 Mengutamakan kebebasan berprasangka kepada si penjaga gawang
Uniknya lagi, permainan sepak bola menjelang magrib ini adalah bentuk kepercayaan terhadap sesama. Pasalnya, nggak ada wasit yang memimpin. Serta nggak ada tiang gawang atau sejenisnya. Adanya sendal/botol/kaleng saja.
Tinggi gawangnya pun manut prasangka kiper. Jika kipernya nggak sampai, berarti tendangannya melambung tinggi. Hahaha. Juga biasanya, penjaga gawang dipilih bukan karena skill-nya, melainkan karakter fisiknya (bukan body shaming, lho, ya). Yup, yang berbadan gemuk besarlah yang ditarget jadi penjaga gawang.
#4 Injury time datang ketika bola sedang menyangkut di pohon maupun di genteng
Memang nggak ada waktu pasti berapa lama pertandingan ini berlangsung. Tetapi, di dalamnya akan tiba saatnya injury time. Bukan karena lelah, melainkan ada kendala serius. Misalnya, bolanya nyangkut di pohon, kecebur got, dan nyangsang di genteng.
Inilah yang disebut injury time. Susahnya adalah ketika bola sudah nyangsang ke atas genteng rumah orang. Soalnya harus mencari tangga dulu, itu pun jika nggak kepergok sama yang punya rumah. Jika ketangkap basah, ya, iuran lagi buat beli bola baru. Hahaha.
#5 Kehadiran ibu salah satu seorang anak adalah tanda peluit akhir pertandingan
Sebagaimana yang telah disebutkan, nggak ada batas waktu dalam permainan sepak bola menjelang magrib. Semua berjalan apa adanya. Pemilihan waktu di sore hari disinyalir sebagai waktu alternatif yang nggak mengganggu waktu anak-anak.
Sebab, dulu waktu SD, paling pol pulang sekolah jam 11.00 siang, satu jam tidur siang, dan jam 13.30 berangkat ngaji hingga jam 15.30/16.00. Sehingga, pemilihan waktu sore menjadi satu-satunya opsi terakhir.
Selain itu, akhir pertandingan selalu ditandai bukan dengan peluit panjang, melainkan suara salah seorang ibu yang memanggil anaknya panjang-panjang.
“Heee… Wes magrib iki, lho. Rak butuh bali opo kepiye? Wes rak usah bali sekalian, yo?. Kira-kira seperti itu bunyi peluit akhirnya. Wqwqwq.
Nah, itulah alasan kenapa “sepak bola menjelang magrib” menjadi permainan paling fair play menurut saya. Sebab, nggak ada namanya ketidakjujuran, persaingan, dan sebagainya. Semuanya bertanding berlandaskan azas kekeluargaan, kesetiakawanan, dan kecintaan. Asyekkk. Lantas, permainan apa lagi, nih, yang paling fair play, Gaes?
BACA JUGA Aturan Sepak Bola Baru Bikinan FIFA Blas Ra Mashok! dan tulisan Adhitiya Prasta Pratama lainnya.