Senja Kelabu di Hari Minggu

senja hari minggu

senja hari minggu

Aku selalu suka menyendiri jika hari sudah sore saat senja menjelang—menulis puisi atau cerpen sembari ditemani secangkir kopi dan kretek. Kebiasaan ini sering kulakukan semenjak ditinggal pergi oleh mendiang istriku untuk selama-lamanya—di saat usia pernikahan kami sudah berjalan 30 tahun lamanya. Kala itu aku masih berumur 55 tahun dan istriku berumur 45 tahun.

Jarak umur kami terpaut lima tahun, aku menikahinya di saat dia masih berumur 20 tahun. Kala itu, dia sengaja tidak meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Keluarga istri memang serba pas-pasan, sedangkan dia anak pertama dari lima bersaudara. Oleh karenanya, dia lebih memilih untuk bekerja sebagai penjahit di rumahnya sendiri. Sebab dia dan adik-adiknya adalah anak yatim yang sudah lama ditinggal pergi oleh bapaknya. Ketrampilan itu dia kuasai semenjak mertuaku punya mesin jahit, ditambah lagi dengan pelajaran menjahit yang ada di masa sekolahnya dulu.

Kini usiaku 70 tahun, angka yang cukup banyak untuk seukuran orang yang sedang lanjut usia sepertiku. Itu artinya, sudah 15 tahun aku sendiri dan hanya ditemani sunyi.

Kami dikaruniai dua anak. Anak pertama kami perempuan yang kami namai Riany dan anak kedua kami laki-laki yang kami berinama Satria. Keduanya sudah menikah dan dikaruniai anak. Mereka memberiku 5 orang cucu—Riany punya tiga anak, dan Satria dua anak. Sesekali mereka semua pulang kampung dan menjadi penghiburku di tengah kesendirian—sudah sangat cukup bagiku.

Aku bersyukur bahwa aku masih diberi rizki, anugerah dan kesempatan oleh Tuhan kepadaku—sehingga aku masih bisa memeluk erat anak-anak dan cucu-cucuku.  Tapi ada satu hal yang membuat kondisi kembali sepi, tentu ketika mereka semua sudah pergi meninggalkanku untuk kembali bekerja dan menyekolahkan anak-anak mereka di tanah rantau. Tapi doaku senantiasa membersamai mereka.

Meski begitu aku selalu merindukannya dan membuatku kembali berpikir—entah kapan aku dapat menyusulnya ke sana. Walau ku tahu pasti dia telah tenang di sana

Mungkin kamu sudah paham bahwa yang namanya cinta sejati—bagi sebagian orang—mungkin sulit untuk dicapai. Butuh usaha lebih agar kita saling memahami, pengertian, dan mempercayai satu sama lain. Maka jangan heran, jika kamu melihat fenomena zaman sekarang yang di awal sangat dan saling mencintai satu sama lain—yang jika kemana-mana tangan tak pernah putus dan akan selalu menggengam erat kemanapun kaki melangkah. Tapi seiring berjalannya waktu—ketika telah mengetahui kelemahan, kekurangan, dan segala keterbatasan sang kekasih—beberapa orang  cenderung akan merasa bosan bahkan memilih untuk menyudahi hubungan yang telah terjalin lama.

Tapi tidak bagi kami. Di awal pernikahan, aku dengannya selalu memberikan yang terbaik—walaupun kami memiliki keterbatasan dan kekurangan yang telah kami ketahui dan sadari bersama. Segala kekurangan dan keterbatasan itu dapat kami atasi dengan saling melengkapi dan mengindahkan segala bentuk kelebihan kami. Hal ini mungkin tidak mudah untuk dilakukan.

Semenjak aku ditinggal olehnya, aku masih sering membayangkan bahwa dia selalu berada di sisiku. Ketika aku tidur, memotong rumput di taman, menulis puisi, menyeruput kopi, dan menghisap rokok. Aku pun membayangkan cantik wajahnya, senyumnya yang dapat membuat hatiku selalu berwarna, lentik bulu matanya, bibir tipisnya, dan semua tentangnya, terekam sempurna dalam ingatanku.

Dan aku pun masih ingat kala itu.

Dia meninggal karena stroke dan serangan jantung yang dideritanya. Aku tak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi, akupun tak paham maksud dan tujuan Tuhan pada kehidupan kami. Tapi setelah aku merenungi kembali masa-masa indah kami, aku sadar. Bahwa terkadang pada titik tertentu kita tak mengerti keinginan Tuhan membuat kita protes, “Tuhan tak adil—merenggut seluruh sumber kebahagiaan hidup ini”.

Tapi itulah ketetapanNya. Boleh jadi dengan cara itu Dia mengukur seberapa besar ketabahan dan kesabaran  yang ada dalam diri kita. Kita—mau tak mau dan siap tak siap—harus menerima ketetapan yang telah digariskan olehNya. Bukankah kita diciptakan untuk merasakan kehilangan?

Aku masih ingat di masa-masa kritisnya—sekitar seminggu sebelum kepergiannya—kami selalu pergi ke pantai yang jaraknya hanya sepelemparan batu yang tepat di belakang rumah kami. Sembari dia duduk di atas kursi dorong, setiap desiran ombak, hembusan angin, kicau burung camar, dan lembayung senja yang selalu kami nikmati berdua.

Senyumannya selalu membuatku rindu, belaiannya selalu membuatku ingin memeluk erat, dan tatapan mata ‘kristalnya’ membuatku semakin jatuh cinta, layaknya pandangan pertama pertama kami yang takkan pernah kulupa. Duhai indahnya masa-masa itu.

Jika kamu tahu beberapa kisah cinta yang terkenal—seperti yang tertuang dalam kisah 1001 malam—bagi kakek tua ini itu tidaklah seberapa. Semua itu tidak bisa menandingi kisah cinta yang telah kami tanam dan merawatnya hingga tumbuh sempurna. Tak lupa di setiap kami mengunjungi pantai, aku selalu berusaha untuk merangkai kata untuknya dan menorehkannya di selembar kertas. Kemudian jadilah beberapa bait puisi yang kami rasa cukup romantis. Salah satunya yang kusimpan adalah puisi yang berjudul Hati Ini Untukmu.

 

Hati Ini Untukmu

Tahukah engkau siapa yang paling membuatku berpaling dari duniaku?

Tahukah engkau siapa yang selalu bisa membuatku tetap, dan akan mencintaimu selamanya?

Tahukah engkau siapa yang pandai membuatku semakin bersemangat dalam mengarungi bahtera rumah tangga ini?

Tahukah engkau siapa yang selalu menyelimutiku dikala aku terlelap tidur?

Dan Tahukah engkau siapa peracik kopi ternikmat yang pernahku cicipi di pagi dan soreku?

Tak perlu kau jawab, itu semua sudah nyata jelas

Tapi yang harus kamu tahu

Hati ini selalu dan akan tetap untukmu

Untuk selamanya.

 

Setelahnya aku selalu membacakan puisi untuknya. Kulakukan dengan usaha terbaikku dan dia selalu mengapresiasinya dengan cara memberi tepuk tangan kecilwalau suaranya terkalahkan dengan riuhnya ombak yang datang silih berganti.

Hingga pada Hari Minggu—atau hari ketujuh kami mengunjungi pantai—di saat sang mentari mulai redup cahayanya dan lembayung senja telah nampak di pelupuk mata, tiba-tiba saja dia sesak nafas, tak bisa berkata apa-apa. Tangan kirinya memegang lenganku erat-erat dan tangan kanan menekan dadanya—seakan-akan dadanya tertusuk duri. Aku panik setengah mati, lantas aku memanggil Riany yang kala itu masih SMA kelas tiga, bilang siapkan mobil untuk segera melarikan ibunya ke Rumah Sakit. Riany dengan sigap mengambil kunci mobil lantas menuju garasi untuk mengeluarkan mobil. Aku membopongnya menuju mobil, kami pun berangkat ke Rumah Sakit.

Sekira 7 menit dengan laju mobil yang sangat kencang, kami sampai di teras ruang ICU. Para suster dengan sigap membawanya dan menaruhnya di ranjang pasien untuk kemudian dioper ke bangsal khusus ICU. Dokter menyarankan agar kami berdua menunggunya di luar ruang hingga proses pemeriksaan selesai.

Lima belas menit aku menanti kabar, perasaanku tak karuan—gelisah. Aku mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Riany mencoba untuk menenangkanku dengan cara mengajakku duduk, akupun menurutinya. Mataku mulai berkaca-kaca.

Tiga puluh menit—akhirnya pintu dibuka dari dalam. Raut wajah dokter yang menanganinya seperti tak ada harapan, lesu tak bertenaga, tidak seperti sedia kala. Tanpa pikir panjang, akupun menghampirinya.

“Dokter, bagaimana dengan keadaannya dok?” aku bertanya dengan nada gemetar—tanganku sedari tadi mengeluarkan keringat dingin—berharap dia baik-baik saja,.

Dokter pria berkacamata dengan stetoskop digantungkan di leher itu tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia nampak menghembuskan nafas panjang sebelum menjawab pertanyaanku, sembari menatap ke lantai.

“Maaf, Pak. Kami sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menolong istri bapak agar tetap bertahan. Tapi sayangnya, Tuhan berkata lain.”

Pernyataan dokter terhenti sejenak—dokter itu mencoba untuk menenagkan diri dengan mengambil nafas dan menghembuskannya perlahan. Di saat itu pula, aku dan Riany sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya.

“Bahwasannya istri anda telah berpulang untuk selamanya. Bapak dan anaknya silakan masuk untuk melihat almarhumah. Silakan.” Dokter paruh baya itu mempersilahkan kami masuk menuju bangsal ICU—tempat istriku menemui ajalnya.

Mendengar hal itu, aku terkulai lemas—hati ini rasanya remuk, patah, terluka sedalam-dalamnya. Senja yang teramat kelabu.

“Tidak! Tidak mungkin, Dokter! Itu tidak mungkin!”

Aku merintih—tak tahu lagi harus berbuat apa kala itu. Demi mendengar kabar itu, Riany yang ku kenal sangat tabah dan tidak mudah menangis, kini dia nampak menitikan air mata, tapi dia mencoba untuk segera menenangkanku dan membopongku untuk menuju ibunya.

Di hadapan istriku, aku langsung mencium keningnya, pipinya, kemudian memeluknya erat-erat. Riany pun demikian, dia semakin tak kuasa membendung tangis. Dia kehilangan ibundanya yang sangat dia cintai.

Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Seperti itulah kisah perpisahanku dengannya. Walaupun aku telah kehilangan untuk selamanya, tapi rasa cinta ini akan tetap ada dan tak akan pernah sirna. Sebab kami dipertemukan melalui skenario Tuhan yang Maha Sempurna.

Aku terus berharap dan berdoa—agar kelak aku dipertemukan dengan istriku di surgaNya kelak. Dan itulah alasan mengapa di sisa umurku ini lebih memilih untuk tetap sendiri. Sebab aku ada untuknya dan dia ada untukku—selamanya.

Exit mobile version