Bus Mulyo trayek Purwokerto-Jogja tinggal menunggu waktu untuk gulung tikar.
Ada semacam perasaan sentimental ketika bepergian menggunakan bus bumel atau ekonomi non-AC. Apalagi bus bumel yang mengaspal di trayek Purwokerto-Jogja. Terlalu banyak kenangan yang tertinggal di trayek tersebut.
Saya orang asli Purworejo yang menetap di Purwokerto. Sewaktu kecil, saya dan keluarga kerap menggunakan moda transportasi ini untuk pulang kampung. Selain pulang kampung, saya kerap menggunakan bus untuk bepergian ke tempat-tempat lain. Itu mengapa bus bumel mengambil banyak tempat dalam kenangan saya.
Menggunakan bus sebenarnya wajar saja pada saat saya masih kecil. Bus masih menjadi primadona transportasi umum. Itu mengapa bus dengan berbagai jalur bermunculan dan banyak jumlahnya. Salah satu bus yang mudah ditemui pada saat itu adalah bus-bus ekonomi yang melayani jalur-jalur pendek seperti Solo-Purwokerto, Semarang-Purwokerto, maupun Purwokerto-Jogja
Masih ingat betul dalam ingatan saya, Perusahaan Otobus (PO) seperti Raharja, Antar Jaya, Mulyo, Tetap Merdeka, RP Jaya, Santoso, maupun Aman sangat mudah dijumpai di terminal-terminal bayangan. Sementara bus-bus patas yang pada saat itu lebih banyak melayani trayek-trayek perjalanan jauh seperti dari berbagai daerah di Jawa Tengah ke Jakarta dan Bogor. Itu mengapa bus-bus bumel alias ekonomi tanpa AC benar-benar menjadi andalan untuk trayek-trayek pendek.
Bersaing dengan patas
Itu semua dahulu, kini semakin banyak bumel trayek Purwokerto-Jogja yang tidak bisa bertahan. Salah satu yang masih mengaspal walau dengan susah payah hingga saat ini adalah bus Mulyo. Bahkan, bus yang satu ini juga terancam gulung tikar. Itulah yang disampaikan oleh Rohani, yang sudah 12 tahun menjadi awak bus Mulyo yang saya tumpangi hari itu.
Dia bercerita, salah satu sesepuh trayek Jogja-Purwokerto itu tidak akan bertahan lama. Kini skena bumel Purwokerto-Jogja sudah banyak berubah. Persaingan semakin sulit, di sisi lain bus Mulyo banyak kekurangan baik dari sisi jumlah maupun kualitas armada.
Persaingan paling berat justru datang dari bus-bus patas. Perlahan bus patas mulai mengangkut penumpang-penumpang di luar agen dan terminal. Padahal penumpang di pinggir-pinggir jalan seperti itu adalah sasaran bus Mulyo. Rohani bilang, jam keberangkatan bus patas yang mepet dengan bus-bus Mulyo semakin memberatkan persaingan.
Baca halaman selanjutnya: Armada bus Mulyo …
Armada bus Mulyo sudah reyot
Di sisi lain, armada bus Mulyo memang sudah tua dan tidak lagi menarik. Kebanyakan menggunakan bus model tua. Armada yang saya naiki terakhir kacanya kendor menimbulkan suara sepanjang perjalanan. Belum lagi kenalpot yang meraung-raung mengeluarkan suara kasar dan serak pertanda armada tidak mendapat perawatan seharusnya.
Saya sempat menghitung, dari Gombong, Kebumen sampai Klepu, Purworejo, bus Mulyo yang saya naiki ini hanya mengangkut 9 sampai 11 orang dari total kapasitas sekitar 40 penumpang. Beberapa menyusul naik, tetapi hanya 1 atau 2 orang. Pokoknya, jumlahnya kurang dari separuh jumlah murid kelas di SD negeri pinggiran.
Kebanyakan penumpang bus Mulyo naik dengan jarak yang pendek. Jarang ada penumpang yang full trayek dari awal hingga tujuan akhir. Penumpanya didominasi oleh para pedagang yang hendak pergi atau pulang ke pasar. Di hari-hari kerja, utamanya di waktu jam berangkat, bus ini banyak mengangkut pegawai, anak sekolahan hingga mahasiswa. Bus memang terlihat ramai di jalur-jalur tertentu, tapi ketika memasuki Gombong hingga Purwokerto bus tampak sepi.
Penumpang sedikit, setoran makin sulit
Minimnya jumlah penumpang yang diangkut membuat bus Mulyo tak menyelesaikan rute perjalan hingga akhir. Saya masih ingat, beberapa tahun yang lalu, saya menggunakan bus Mulyo dan berakhir dioper ke bus lain karena memang jumlah penumpang yang sedikit.
Sulitnya mendapatkan penumpang jelas merepotkan urusan setoran bagi sopir dan kenek bus Mulyo. Sesulit apapun kondisinya di jalan, uang setoran tetap harus disetor kepada perusahaan. Sementara, bus melaju memerlukan solar. Tidak jarang awak bus harus tombok demi memenuhi biaya operasional.
Tombok biaya operasional adalah hal yang berat. Apalagi hasil “narik” bus sehari-hari tidaklah besar. Pernah dalam sehari dia hanya mendapat Rp75.000 setelah bekerja seharian. Angka yang kecil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, belum kalau harus tombok untuk bahan bakar. Pernah suatu waktu busnya hanya mengangkut 3 penumpang, itu pun turun di Purworejo. Dia tetap nekad meneruskan perjalanannya hingga ke Jogja. Ujung-ujungnya dia boncos.
Rohani merasa sudah tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan bus yang satu ini. Senja kala bus Mulyo sudah tidak bisa terhindarkan lagi. Roda bus armada bus Mulyo kalah cepat dari laju roda perubahan dunia ini. Sebagai seseorang yang pernah merasakan kejayaan bus Mulyo, sebenarnya saya sedih dengan kondisi saat ini, hanya saja saya tahu, bertahan pilihan yang lebih sulit.
Penulis: Muhamad Iqbal
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.