Semiskin-miskinnya Kita, Nggak Ada Pembenaran Sama Sekali untuk Beli Buku Bajakan

Karya Sastra Boleh Jadi Alat Propaganda, Asal nggak Keliatan Bohongnya terminal mojok.co

Karya Sastra Boleh Jadi Alat Propaganda, Asal nggak Keliatan Bohongnya terminal mojok.co

Kemarin, seorang kawan lama dari pesantren bertandang ke rumah saya. Dia tampak terheran-heran ketika menatap rak berisi buku-buku original koleksi saya yang, menurutnya, sudah cukup banyak. Udah gitu, nggak ada buku bajakan sama sekali. Dia mengaku takjub justru bukan karena saya mengoleksi bermacam genre buku dan penulis lintas generasi.

Yang dia herankan adalah, dengan cara apa buku-buku itu saya dapatkan? “Duitmu sekarang sudah banyak yo sampai bisa ngoleksi buku sebanyak ini?”. Kepolosan yang bikin saya terbahak sampai tersedak.

Begini, dulu banget pas masih di pesantren, kawan saya ini emang jadi saksi hidup betapa memprihatinkannya kehidupan saya selama nyantri. Boro-boro buat beli buku, buat makan saja harus saya pressing seketat mungkin biar bisa bertahan satu bulan. Jadi nggak pernah kebayang bisa beli buku yang harganya saja antara lima puluh sampai seratusan ribu ke atas. Untuk menyalurkan hasrat membaca saya, biasanya cukup pinjem di perpustakaan sekolah atau pinjem temen sana-sini.

Aktivitas membaca ini semula hanyalah hobi biasa, ya pokoknya sekadar baca-baca dan ngisi waktu luang saja gitu lah. Hobi yang lama-kelamaan justru membuat saya terobsesi biar nggak cuma baca dari perpustakaan atau pinjem buku temen terus-terusan. Saya berhasrat untuk memiliki buku-buku sendiri, hasil beli sendiri, yang dengan buku-buku itu—dalam bayangan saya—kelak saya bisa membuat perpustakan pribadi di rumah.

Begitulah kemudian saya selalu menyisihkan uang jajan, yang setahun sekali bisa saya belikan buku di bazar tahunan di Kota Rembang. Setelah itu ya nabung lagi selama setahun buat belanja buku di bazar berikutanya. Gitu terus sampai saya lulus dari MA dan pesantren. Rata-rata dari hasil nabung setahun dengan sisihan uang yang nggak seberapa besar itu, saya bisa beli dua sampai tiga buku lah. Itu pun syukurnya masih tertolong sama diskon yang lumayan gede.

Habit ini ternyata kebawa sampai masa-masa kuliah sekarang ini, seiring dengan obsesi saya yang juga agak ngelunjak. Mulanya cuma hobi baca, terus punya hasrat buat ngoleksi buku-buku sendiri, eh pas kuliah malah jadi agak nggak tahu diri; pengin jadi penulis. Nah, sementara itu, dari sekian buku dan quote-quote yang pernah saya baca di internet, syarat jadi penulis itu katanya cuma dua thok. Pertama, perbanyak bacaan. Kedua, terus berlatih.

Syarat yang pertama itulah yang bikin saya jadi kecanduan sama buku. Tiap ngelihat buku—sebenernya khusus di sastra dan esai sih—jadi kayak apa yang digambarin Syekh Ibnu Qayyim al-Jauzi, “al-Kutubu syahwatun, ka syahwatuna ala al-nisa.” Kurang lebih artinya, “Buku itu bikin syahwat, kayak syahwat kita terhadap perempuan.” Dan itu yang saya rasain pas masa-masa kuliah. Libido saya auto nggak tertahankan kalau udah berhadap-hadapan sama buku.

Ditambah kenyataan bahwa ternyata akses saya sekarang jauh lebih mudah buat ke toko-toko buku seperti Gramedia atau Togamas. Beda dengan dulu yang baru bisa beli setahun sekali. Itu pun dengan genre buku yang sangat terbatas. Yang masih sama cuma di kendala; keuangan. Uang saku saya secara nominal emang sedikit lebih gede dari di pesantren. Tapi ya tetep aja pas-pasan buat kebutuhan hidup di kota yang sama gedenya.

Diperparah dengan “rasa iri” sama temen deket saya yang kalau beli buku mesti nggak tanggung-tanggung. Pokoknya kalau pengin beli ya beli aja. Dalam sebulan, total temen deket saya ini bisa beli tiga sampai lima buku. Hla misalnya saya nurutin kemauan saya buat beli secara jur-juran kayak dia, wah ya ndak kuat. Apalagi duit masih bergantung dari penghasilan orang tua yang nggak seberapa.

Siasat lama pun saya pakai kembali. Tiap dapet kiriman dari orang tua, saya mesti menyisihkan uang seratus ribu, atau paling minimal ya lima puluh ribu lah. Jadi per bulan saya bisa beli satu atau dua buku. Model saya gini, pokoknya tiap kiriman, uang seratus ribu ini saya ambil terus saya umpetin di bawah tumpukan baju. Kemudian pura-pura saya anggep nggak ada.

Kalau misalnya jatah uang jajan saya habis, saya udah nggak tergiur buat ngambil uang seratus ribu tadi, karena udah saya anggep nggak ada. Toh kalau urusan makan saya udah terbiasa masak sendiri. Makan nasi sama kecap thok—karena kehabisan duit buat beli lauk—rasanya udah cukup nikmat banget, og. Alhasil uang seratus ribu tadi pun aman sampai akhirya bisa buat beli buku lagi di akhir bulan. Begitu seterusnya sampai semester akhir ini. Tapi ya emang agak rekasa, Rek.

Saya malah heran banget sama orang-orang yang hobinya beli buku bajakan. Padahal mereka sendiri tahu, kalau itu jelas-jelas menciderai proses kreatif si penulis buku dan tentu melanggar undang-undang hak cipta. Kalau mereka sama pas-pasannya kayak saya sih, mungkin hati kecil saya agak sedikit maklum, meski tetep nggak bisa benerin beli buku bajakan kayak gitu. Ha wong mereka saja sanggup beli sepatu yang harganya sundul langit, Cah, yang harganya jelas-jelas lebih mahal dari buku. Mosok buat beli buku ori aja dalihnya, “Kemahalan.”

Dalam sebuah forum diskusi, saya bahkan pernah disemprot sama seorang kenalan karena menggugat para konsumen buku bajakan sebagai orang yang nggak manusiawi. Kenalan saya ini mendamprat balik saya dengan argumen gini, “Yang nggak manusiawi itu mereka para penulis. Lah katanya biar masyarakat melek literasi, eh bukunya malah dijual mahal-mahal. Sama aja boong, Cuk! Nggak ada yang sanggup ngebelinya!”

Kalau temen-temen baca lagi tulisan saya dari atas, temen-temen udah bisa nebak, tho, jawaban apa yang saya kasih ke orang ini. Yap, nggak ada alasan buat bilang, “kemahalan” sih bagi saya. Hanya saja mereka ini—dan kalian para konsumen buku bajakan—selain defisit hati nurani, juga emang dasarannya nggak becus ngelola keuangan. Hash, pengin rasanya dalam forum itu saya bilang, “Kalian yang pacarnya suka beli buku bajakan, mending putusin aja. Ngelola duit sendiri aja nggak becus, apalagi keuangan rumah tangga.” Terdengar sangat kasar, mangkanya urung saya utarakan. Eh, udah saya utarakan, ya? Ups.

BACA JUGA Selain Ken Arok, Milenial Emang ‘Doyan’ Kena Tipu Penguasa dan tulisan Aly Reza lainnya.

Baca Juga:  Menggali Kisah Wabah Misterius yang Ternyata Dulu Pernah Melanda Desa Saya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version