Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Semiskin-miskinnya Kita, Nggak Ada Pembenaran Sama Sekali untuk Beli Buku Bajakan

Aly Reza oleh Aly Reza
23 Juli 2020
A A
Karya Sastra Boleh Jadi Alat Propaganda, Asal nggak Keliatan Bohongnya terminal mojok.co

Karya Sastra Boleh Jadi Alat Propaganda, Asal nggak Keliatan Bohongnya terminal mojok.co

Share on FacebookShare on Twitter

Kemarin, seorang kawan lama dari pesantren bertandang ke rumah saya. Dia tampak terheran-heran ketika menatap rak berisi buku-buku original koleksi saya yang, menurutnya, sudah cukup banyak. Udah gitu, nggak ada buku bajakan sama sekali. Dia mengaku takjub justru bukan karena saya mengoleksi bermacam genre buku dan penulis lintas generasi.

Yang dia herankan adalah, dengan cara apa buku-buku itu saya dapatkan? “Duitmu sekarang sudah banyak yo sampai bisa ngoleksi buku sebanyak ini?”. Kepolosan yang bikin saya terbahak sampai tersedak.

Begini, dulu banget pas masih di pesantren, kawan saya ini emang jadi saksi hidup betapa memprihatinkannya kehidupan saya selama nyantri. Boro-boro buat beli buku, buat makan saja harus saya pressing seketat mungkin biar bisa bertahan satu bulan. Jadi nggak pernah kebayang bisa beli buku yang harganya saja antara lima puluh sampai seratusan ribu ke atas. Untuk menyalurkan hasrat membaca saya, biasanya cukup pinjem di perpustakaan sekolah atau pinjem temen sana-sini.

Aktivitas membaca ini semula hanyalah hobi biasa, ya pokoknya sekadar baca-baca dan ngisi waktu luang saja gitu lah. Hobi yang lama-kelamaan justru membuat saya terobsesi biar nggak cuma baca dari perpustakaan atau pinjem buku temen terus-terusan. Saya berhasrat untuk memiliki buku-buku sendiri, hasil beli sendiri, yang dengan buku-buku itu—dalam bayangan saya—kelak saya bisa membuat perpustakan pribadi di rumah.

Begitulah kemudian saya selalu menyisihkan uang jajan, yang setahun sekali bisa saya belikan buku di bazar tahunan di Kota Rembang. Setelah itu ya nabung lagi selama setahun buat belanja buku di bazar berikutanya. Gitu terus sampai saya lulus dari MA dan pesantren. Rata-rata dari hasil nabung setahun dengan sisihan uang yang nggak seberapa besar itu, saya bisa beli dua sampai tiga buku lah. Itu pun syukurnya masih tertolong sama diskon yang lumayan gede.

Habit ini ternyata kebawa sampai masa-masa kuliah sekarang ini, seiring dengan obsesi saya yang juga agak ngelunjak. Mulanya cuma hobi baca, terus punya hasrat buat ngoleksi buku-buku sendiri, eh pas kuliah malah jadi agak nggak tahu diri; pengin jadi penulis. Nah, sementara itu, dari sekian buku dan quote-quote yang pernah saya baca di internet, syarat jadi penulis itu katanya cuma dua thok. Pertama, perbanyak bacaan. Kedua, terus berlatih.

Syarat yang pertama itulah yang bikin saya jadi kecanduan sama buku. Tiap ngelihat buku—sebenernya khusus di sastra dan esai sih—jadi kayak apa yang digambarin Syekh Ibnu Qayyim al-Jauzi, “al-Kutubu syahwatun, ka syahwatuna ala al-nisa.” Kurang lebih artinya, “Buku itu bikin syahwat, kayak syahwat kita terhadap perempuan.” Dan itu yang saya rasain pas masa-masa kuliah. Libido saya auto nggak tertahankan kalau udah berhadap-hadapan sama buku.

Ditambah kenyataan bahwa ternyata akses saya sekarang jauh lebih mudah buat ke toko-toko buku seperti Gramedia atau Togamas. Beda dengan dulu yang baru bisa beli setahun sekali. Itu pun dengan genre buku yang sangat terbatas. Yang masih sama cuma di kendala; keuangan. Uang saku saya secara nominal emang sedikit lebih gede dari di pesantren. Tapi ya tetep aja pas-pasan buat kebutuhan hidup di kota yang sama gedenya.

Baca Juga:

Perpustakaan Harusnya Jadi Contoh Baik, Bukan Mendukung Buku Bajakan

Biaya Hidup di Solo Memang Rendah, tapi Syarat dan Ketentuan Berlaku

Diperparah dengan “rasa iri” sama temen deket saya yang kalau beli buku mesti nggak tanggung-tanggung. Pokoknya kalau pengin beli ya beli aja. Dalam sebulan, total temen deket saya ini bisa beli tiga sampai lima buku. Hla misalnya saya nurutin kemauan saya buat beli secara jur-juran kayak dia, wah ya ndak kuat. Apalagi duit masih bergantung dari penghasilan orang tua yang nggak seberapa.

Siasat lama pun saya pakai kembali. Tiap dapet kiriman dari orang tua, saya mesti menyisihkan uang seratus ribu, atau paling minimal ya lima puluh ribu lah. Jadi per bulan saya bisa beli satu atau dua buku. Model saya gini, pokoknya tiap kiriman, uang seratus ribu ini saya ambil terus saya umpetin di bawah tumpukan baju. Kemudian pura-pura saya anggep nggak ada.

Kalau misalnya jatah uang jajan saya habis, saya udah nggak tergiur buat ngambil uang seratus ribu tadi, karena udah saya anggep nggak ada. Toh kalau urusan makan saya udah terbiasa masak sendiri. Makan nasi sama kecap thok—karena kehabisan duit buat beli lauk—rasanya udah cukup nikmat banget, og. Alhasil uang seratus ribu tadi pun aman sampai akhirya bisa buat beli buku lagi di akhir bulan. Begitu seterusnya sampai semester akhir ini. Tapi ya emang agak rekasa, Rek.

Saya malah heran banget sama orang-orang yang hobinya beli buku bajakan. Padahal mereka sendiri tahu, kalau itu jelas-jelas menciderai proses kreatif si penulis buku dan tentu melanggar undang-undang hak cipta. Kalau mereka sama pas-pasannya kayak saya sih, mungkin hati kecil saya agak sedikit maklum, meski tetep nggak bisa benerin beli buku bajakan kayak gitu. Ha wong mereka saja sanggup beli sepatu yang harganya sundul langit, Cah, yang harganya jelas-jelas lebih mahal dari buku. Mosok buat beli buku ori aja dalihnya, “Kemahalan.”

Dalam sebuah forum diskusi, saya bahkan pernah disemprot sama seorang kenalan karena menggugat para konsumen buku bajakan sebagai orang yang nggak manusiawi. Kenalan saya ini mendamprat balik saya dengan argumen gini, “Yang nggak manusiawi itu mereka para penulis. Lah katanya biar masyarakat melek literasi, eh bukunya malah dijual mahal-mahal. Sama aja boong, Cuk! Nggak ada yang sanggup ngebelinya!”

Kalau temen-temen baca lagi tulisan saya dari atas, temen-temen udah bisa nebak, tho, jawaban apa yang saya kasih ke orang ini. Yap, nggak ada alasan buat bilang, “kemahalan” sih bagi saya. Hanya saja mereka ini—dan kalian para konsumen buku bajakan—selain defisit hati nurani, juga emang dasarannya nggak becus ngelola keuangan. Hash, pengin rasanya dalam forum itu saya bilang, “Kalian yang pacarnya suka beli buku bajakan, mending putusin aja. Ngelola duit sendiri aja nggak becus, apalagi keuangan rumah tangga.” Terdengar sangat kasar, mangkanya urung saya utarakan. Eh, udah saya utarakan, ya? Ups.

BACA JUGA Selain Ken Arok, Milenial Emang ‘Doyan’ Kena Tipu Penguasa dan tulisan Aly Reza lainnya.

Baca Juga:  Menggali Kisah Wabah Misterius yang Ternyata Dulu Pernah Melanda Desa Saya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 23 Juli 2020 oleh

Tags: buku bajakanKeuangan
Aly Reza

Aly Reza

Muchamad Aly Reza, kelahiran Rembang, Jawa Tengah. Penulis lepas. Bisa disapa di IG: aly_reza16 atau Email: [email protected]

ArtikelTerkait

Wattpad Menunjukan Betapa Menyedihkan Selera Kebanyakan Pembacanya terminal mojok.co

Kenapa Para Penulis Harus Muntab Kalau Bukunya Dibajak?

1 April 2020
Biaya Hidup di Solo Memang Rendah, kok, tapi Syarat dan Ketentuan Berlaku

Biaya Hidup di Solo Memang Rendah, tapi Syarat dan Ketentuan Berlaku

29 November 2023
Pentingnya Memahami Cash Flow biar Nggak Nanya Lagi Kenapa Duitmu Cepat Habis

Pentingnya Memahami Cash Flow biar Nggak Nanya Lagi Kenapa Duitmu Cepat Habis

13 Januari 2022
Festival Pustaka Sastra Tokopedia: Pembeli Nggak Bakal Dapat Buku Bajakan Saat Belanja, HKI Penulis pun Terlindungi

Festival Pustaka Sastra Tokopedia: Pembeli Nggak Bakal Dapat Buku Bajakan Saat Belanja, HKI Penulis pun Terlindungi

27 Oktober 2023
Modul Gratis Ini Bantu Pengusaha UMKM Bikin Laporan Keuangan Sederhana (Shutterstock)

Modul Gratis Ini Bantu Pengusaha UMKM Bikin Laporan Keuangan Sederhana

30 Mei 2022
uang habis decoy effect

Menjawab Misteri Uang Habis Secara Misterius padahal Belum Akhir Bulan

13 Maret 2020
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

3 Alasan Soto Tegal Susah Disukai Pendatang

3 Alasan Soto Tegal Susah Disukai Pendatang

30 November 2025
Nasi Goreng Palembang Nggak Cocok di Lidah Orang Jogja: Hambar!

Nasi Goreng Palembang Nggak Cocok di Lidah Orang Jogja: Hambar!

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Ekonomi Pembangunan Bikin Saya Tidak Bisa Enjoy Shopping Lagi

Kuliah Jurusan Ekonomi Pembangunan Bikin Saya Tidak Bisa Enjoy Shopping Lagi

30 November 2025
Lamongan Megilan: Slogan Kabupaten Paling Jelek yang Pernah Saya Dengar, Mending Diubah Aja Mojok.co Semarang

Dari Wingko Babat hingga belikopi, Satu per Satu yang Jadi Milik Lamongan Pada Akhirnya Akan Pindah ke Tangan Semarang

30 November 2025
5 Alasan yang Membuat SPs UIN Jakarta Berbeda dengan Program Pascasarjana Kampus Lain Mojok.co

5 Alasan yang Membuat SPs UIN Jakarta Berbeda dengan Program Pascasarjana Kampus Lain

1 Desember 2025
Desa Ngidam Muncar, Desa Terbaik di Kabupaten Semarang (Unsplash)

Desa Ngidam Muncar, Desa Terbaik di Kabupaten Semarang dengan Pesona yang Membuat Saya Betah

4 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.