Semarang dan Surabaya adalah dua kota yang berada di pesisir Pulau Jawa dan sama-sama berstatus sebagai ibu kota provinsi. Statusnya ini membuat keduanya menjadi episentrum untuk berbagai aktivitas masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Ya, deretan kampus besar ada di kedua kota tersebut. Setidaknya kampus top 20 di Indonesia seperti UNDIP, UNNES, dan UIN Walisongo ada di Semarang, sementara Unair, ITS, dan Unesa ada di Surabaya.
Selain kampus-kampus tersebut, ada kampus lain yang juga membuat Semarang dan Surabaya menjadi pilihan utama anak muda untuk berkuliah. Akibatnya, kedua kota jadi padat dengan para pendatang, terlebih di kawasan area kampus.
Tapi begini, sebagai orang yang merasakan hidup di kedua kota tersebut dengan status mahasiswa (S1 di Semarang dan S2 di Surabaya), Semarang dan Surabaya punya sisi keras yang memberikan “penderitaan” bagi para perantau, khususnya mahasiswa.
Sebelum membahas satu per satu penderitaan yang dihadapi, saya ingin menegaskan bahwa penderitaan mahasiswa di Semarang dan Surabaya bukan soal yang mana yang paling parah, melainkan bagaimana beban itu menekan dari pagi sampai malam, dari cuaca yang menempel di kulit, cara kota memaksa kita bergerak, sampai kebocoran kecil di dompet yang diam-diam menumpuk. Karena itu, saya akan mengurai pengalaman kuliah S1 di Semarang dan kuliah S2 di Surabaya ke 5 sisi yang paling terasa bagi mahasiswa.
Cuaca Surabaya lebih menyiksa mahasiswa dibanding Semarang
Di Semarang, cuaca panas di musim kemarau begitu menyiksa. Keluar siang hari melewati Jalan Pandanaran yang berada di tengah kota terasa begitu menyiksa. Apalagi melewati kawasan Kalibanteng atau Krapyak yang jadi langganan truk. Sekujur tubuh rasanya seperti berada dekat tungku yang sedang memasak air.
Mahasiswa yang ada di kampus macam UIN Walisongo, Udinus, atau Unimus pasti merasakan betul penderitaan ini. Meski begitu, penderitaan seperti itu tidak selalu dialami terutama bagi mahasiswa yang berada di kawasan atas, misalnya Gunung Pati (UNNES) atau Tembalang (UNDIP).
Akan tetapi lain cerita bagi mahasiswa yang kuliahnya di area Semarang bawah macam Unissula. Mereka harus menghadapi penderitaan lain selain panas, yaitu banjir saat musim hujan. Bahkan Unissula sudah langganan banjir sehingga perkuliahannya sering libur atau online saat musim hujan karena kampusnya kebanjiran.
Kondisi yang lebih menderita saya rasa terjadi di Surabaya. Sebab, saya merasa tingkat kepanasannya lebih ekstrem daripada Semarang. Panasnya seperti menusuk kulit, saat mengenakan jaket pun, rasanya nggak betah. Kalau di Semarang, hawa panas bisa sedikit berkurang saat berkendara karena ada angin. Nah, di Surabaya ini nggak ada angin bertiup.
Kalau di Semarang panasnya kayak berada dekat tungku, di Surabaya hawa panasnya seperti berada dekat api unggun di siang hari. Kulit perih, kepala berat, haus terus. Jalan-jalan lebar memantulkan panas. Jalan kaki 5 menit di ruang terbuka sudah bikin lelah. Malam mereda, tetapi kamar tanpa AC berubah jadi oven yang mendidihkan sabar.
Terlebih, di Surabaya itu datarannya relatif sama, nggak ada area tinggi yang banyak pohon rimbun sehingga bisa membawa oksigen segar biar panas sedikit berkurang. Di sisi lain, ketika musim hujan, berbagai kawasan mengalami banjir. Apalagi daerah macam Gubeng atau Sukolilo yang padat penduduk. Kondisi itu tentu membuat mahasiswa merasakan penderitaan yang sama. Nggak peduli ketika musim hujan atau kemarau.
Makanya dari segi cuaca, saya rasa Surabaya lebih menyiksa ketimbang Semarang.
Geografis Fisik
Dari sisi geografis fisik, mahasiswa di Semarang, terutama yang berkuliah di kampus seperti UNDIP, UIN Walisongo, UNNES, atau Unisbank, atau kampus lain yang secara geografis banyak menanjak, tentu menderita. Apalagi kalau mahasiswa ini jalan kaki ke kampus.
Lha, bayangkan saja kalau mereka ke kampus, terus harus berjalan kaki melalui jalur tanjakan di tengah cuaca panas yang terik. Kondisi seperti itu benar-benar menguji kesabaran mahasiswa. Punggung membawa ransel berat, berjalan di tengah hari di rute yang menanjak. Ditambah haus lagi. Aduh, kulit terasa panas, kaki pun ikutan pegal.
Berbeda dengan Surabaya yang secara geografis relatif lebih rata. Area tanjakan, terutama di kawasan kampus hampir nggak ada. Jadi penderitaan mahasiswa ya cuma hawa panas seperti yang saya jelaskan sebelumnya.
Kesimpulannya, dari segi geografis, Semarang lebih menyiksa mahasiswa daripada Surabaya.
Biaya hidup Semarang dan Surabaya tidak jauh berbeda
Dari sisi biaya hidup, kedua kota ini sama-sama sepakat soal harga yang harus dikeluarkan. Sebab, meski punya UMK yang berbeda, nyatanya pengeluaran mahasiswa di sini hampir sama saja, kok. Soalnya harga kebutuhan pokok antara satu daerah dan daerah lain nggak jauh berbeda.
Dari sisi ini, saya bisa menyimpulkan kalau mahasiswa di Semarang lebih menderita ketimbang Surabaya. Dengan uang saku atau gaji (kerja sampingan) yang sedikit, mahasiswa harus mengeluarkan biaya hidup yang nggak berbeda jauh dengan Surabaya yang UMK-nya lebih tinggi.
Saya bilang begini karena item pengeluaran penting seperti harga makanan di warung itu nggak jauh beda. Yah, kisaran 10 sampai 15 ribuan untuk menu dengan lauk yang standar (telur, tahu, atau ayam). Jadi dari sisi biaya hidup, mahasiswa Semarang sedikit lebih menderita daripada Surabaya.
Transportasi umum Semarang lebih unggul daripada Surabaya yang semrawut
Dari sisi mobilitas, transportasi umum di Semarang sudah terintegrasi dengan baik. Mahasiswa tanpa motor yang ingin bepergian ke area pusat kota atau area kampus lainnya dimudahkan. Tetapi bukan berarti tanpa penderitaan, ya. Mahasiswa yang hanya mengandalkan transportasi umum seperti BRT harus menghadapi rasanya berdesak-desakan dan waktu tunggu lama.
Meski begitu, penderitaan mahasiswa di Semarang ini masih bisa ditoleransi. Soalnya yang dialami mahasiswa Surabaya lebih parah. Transportasi umum di Surabaya bisa disebut amburadul!
Armadanya sedikit, jangkauan koridor belum ada, headway jam non-puncak lebih jarang, hingga sejumlah halte nggak berada di titik keramaian mahasiswa. Belum lagi jangkauan bus dalam kota nggak menjangkau seluruh area Surabaya. Jadi, mau nggak mau mahasiswa yang nggak punya kendaraan pribadi sering naik ojol. Akhirnya ya menguras dompet.
Keamanan di malam hari
Kedua kota sama-sama nyeremin di beberapa titik. Meski sebelumnya seorang kawan bilang malam harinya Surabaya relatif lebih aman daripada Semarang, kenyataannya nggak demikian. Beberapa kasus kejahatan terjadi di Surabaya akhir-akhir ini. Misalnya di bawah Jembatan Suramadu, Jalan Kenjeran, TPU Rangkah, Jalan Kapas Madya, Jalan Ir. Soekarno, dan Jalan Ngaglik.
Tentu ini membahayakan mahasiswa ketika harus pulang tengah malam. Kalau di Semarang sendiri kejahatan bisa terjadi di mana saja, tetapi daerah yang paling rawan biasanya di Semarang bagian timur dan barat.
Dari kelima poin di atas, kita bisa menilai penderitaan yang dihadapi mahasiswa Semarang dan Surabaya hanya berbeda dari sisi jenis dan mekanismenya. Tetapi tekanannya setara. Semarang menguji mahasiswa lewat tanjakan dan kontur kota, sementara Surabaya mengantam lewat terik dan ritme lalu lintas. Pada akhirnya hasilnya sama saja. Waktu habis, tenaga terkuras, dan dompet mahasiswa menipis.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Surabaya memang Cocok Jadi Kota Tujuan Belajar, tapi Pikir-pikir Dulu kalau Mau Kuliah di Sini!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
