Sebelum memulai tulisan ini, saya ingin mengucapkan turut berduka cita atas wafatnya Jalaluddin Rakhmat, pakar ilmu komunikasi Indonesia yang wafat pada Senin 15 Februari 2021, menyusul Almarhumah istrinya yang telah berpulang empat hari sebelumnya. Beliau adalah akademisi sekaligus cendekiawan Muslim dan pakar ilmu komunikasi yang sangat berjasa bagi seluruh sarjana ilmu komunikasi Indonesia. Mudah-mudahan beliau ditempatkan di sisi-Nya.
Ada hal yang tidak saya sukai ketika beliau wafat, yakni kolom media sosial yang saya lihat diisi dengan hujatan dan kata-kata yang tidak pantas yang intinya mensyukuri kepergian beliau. Alasannya, beliau dipercaya sebagai tokoh utama penyebaran aliran Syiah di Indonesia yang dianggap sesat oleh umat Muslim.
Namun, saya tidak akan membahas apakah beliau benar-benar Syiah atau tidak, bukan kompetensi saya untuk membicarakan sesuatu yang bukan keahlian saya. Bagi sarjana ilmu komunikasi seperti saya, siapa sih yang tidak mengenal Jalaluddin Rakhmat? Buku-buku karya beliau telah menjadikan saya seorang sarjana ilmu komunikasi. Bahkan saya memperoleh nilai A dalam mata kuliah pengantar ilmu komunikasi dan mata kuliah psikologi komunikasi karena membaca dan membuat sejumlah presentasi berdasarkan buku yang beliau tulis.
Tidak hanya itu, buku-buku seperti metode penelitian komunikasi, retorika komunikasi, dan puluhan buku ilmu komunikasi yang beliau tulis juga mengantarkan saya lulus dalam mata kuliah ilmu komunikasi yang saya jalankan. Secara langsung, buku-buku tersebut sangat membantu dalam penulisan skripsi saya karena banyak teori yang saya kutip dari sana.
Dan saya yakin, ribuan sarjana ilmu komunikasi di Indonesia pun sangat terbantu karena karya-karya beliau semasa hidupnya. Termasuk para dosen saya di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung yang juga menggunakan buku-buku beliau puluhan tahun yang lalu ketika mengerjakan skripsi jauh sebelum saya yang juga sama-sama menggunakan buku-buku beliau sebagai referensinya.
Ada satu cerita unik ketika saya sedang mengerjakan skripsi saya sekitar empat tahun yang lalu di perpustakaan. Saya update Instagram Story saya di perpustakaan lengkap dengan laptop dan buku-buku beliau, dan salah satu teman saya berkata, “Awas, Jalaluddin Rakhmat itu Syiah, jangan baca buku-bukunya”. Lah, sejak kapan buku itu berbahaya untuk dibaca? Lagipula yang saya baca bukanlah tentang Syiahnya, tapi tentang keilmuan ilmu komunikasinya! Saya ingin mendebat teman saya tersebut tapi karena sedang fokus mengerjakan skripsi, saya urungkan niat saya tersebut.
Saya sendiri tidak pernah berkesempatan bertemu langsung dengan beliau semasa hidupnya, hanya membaca sejumlah bukunya saja, dan juga sejumlah videonya di YouTube terkait pembahasan agama maupun fenomena sosial lainnya sesuai kapasitas beliau sebagai pakar ilmu komunikasi terkemuka di Indonesia.
Secara langsung, Jalaluddin Rakhmat adalah guru dari dosen-dosen saya di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung. Jalaluddin Rakhmat sempat mengajari para dosen saya ilmu komunikasi beliau ketika para dosen saya tersebut berkuliah di Universitas Padjajaran, sehingga bisa saya sebut bahwa Jalaluddin Rakhmat adalah guru dari guru-guru saya. Sejumlah dosen saya pun memberikan penghormatan kepada beliau dengan mengenang pribadi beliau dan juga karya-karya beliau dalam ilmu komunikasi dalam laman media sosialnya.
Ketika laman berita online dipenuhi oleh komentar negatif yang mensyukuri kepergian beliau, saya hanya bisa berkata-kata kasar dalam hati. Terlepas dari keyakinan yang beliau yakini sebagai kebenaran, saya pikir beliau sangat berjasa meluluskan ribuan sarjana, magister, doktor, dan profesor ilmu komunikasi di Indonesia dengan karya-karyanya.
Saya lihat pun sejumlah ulama terkemuka Indonesia pun menyampaikan ucapan duka dan doa mendalam kepada beliau ketika beliau berpulang, meskipun kolom komentarnya lagi-lagi diisi oleh umpatan kebencian kepada beliau.
Kita mungkin boleh tidak sependapat kepada sikap dan pemikiran seseorang, tapi ketika orang tersebut sudah tiada, mengapa kita tidak bisa memaafkan dan mendoakannya? Bahkan, dari apa yang saya tahu, Nabi Muhammad SAW saja ketika ada rombongan pelayat yang membawa jenazah umat Yahudi yang wafat saja, beliau ikut berdiri untuk menghormati jenazah tersebut atas nama kemanusiaan meskipun jenazah tersebut adalah umat Yahudi yang berbeda akidah dengan beliau.
Terakhir, selamat jalan Kang Jalal (sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat), terima kasih atas karya-karyamu yang akan terus abadi kepada kami yang mendalami ilmu komunikasi.
Sumber gambar: Akun Twitter @Safari_Tabaika
BACA JUGA In Memoriam Ica Naga: Mengenang Kang Pipit, Mengenang Kebahagiaan dan tulisan Raden Muhammad Wisnu lainnya.