Sekolah Jam 6 Pagi Itu Bukan Solusi, Kang Dedi Mulyadi, Itu Nyusahin!

Sekolah Jam 6 Pagi Itu Nyusahin, Kang Dedi Mulyadi!

Sekolah Jam 6 Pagi Itu Nyusahin, Kang Dedi Mulyadi!

Kang Dedi Mulyadi, sekolah jam 6 pagi itu bukan solusi kedisiplinan, itu cuma nyusahin!

Saya pikir hidup sebagai warga Jawa Barat sudah cukup menantang. Harga cabai kadang naik lebih cepat dari mood mantan, transportasi umum yang entah ke mana arahnya, dan jalanan rusak yang selalu berhasil bikin suspensi motor goyah. 

Tapi, ternyata saya keliru. Hidup di Jabar belum lengkap kalau belum ikut merasakan kebijakan “unik” dari Kang Dedi Mulyadi (KDM), sang gubernur tercinta yang sepertinya tidak pernah kehabisan ide, walau kadang ide tersebut membuat saya bertanya-tanya, “Ini niat menertibkan rakyat atau ngetes kesabaran warga?”

Belum juga tuntas polemik soal siswa “nakal” yang dikirim ke barak militer, eh, sekarang muncul lagi rencana sekolah dimulai pukul 06.00 pagi. Bukan, ini bukan jam olahraga, bukan juga ekstrakurikuler baris-berbaris. Ini jam masuk sekolah. Jam enam. Pagi. 

Sekolah jam 6 pagi landasannya (selalu) kedisiplinan, kek kaset rusak

Ketika sebagian orang dewasa bahkan masih berdebat dengan alarm dan kopi sachet, anak-anak Jabar sudah harus siap berangkat ke sekolah. Saya jadi kasihan membayangkan mereka: wajah masih ngantuk, isi perut kosong, jalanan masih gelap, tapi sudah dituntut menyerap pelajaran. Belum belajar aja, rasanya sudah kayak zombi di serial Netflix.

Tentu saja alasan yang dipakai oleh Kang Dedi Mulyadi sebagai landasan sekolah jam 6 pagi adalah “untuk mendisiplinkan anak-anak”. Ya, kedisiplinan. Kata sakti yang entah kenapa sering dipakai pejabat kita untuk menjustifikasi kebijakan absurd. 

Tapi, mohon maaf, Pak Gubernur, kalau mendisiplinkan harus bikin anak-anak kehilangan sarapan, tidur cukup, dan potensi trauma karena gelap-gelapan di jalan, apakah itu masih layak disebut kedisiplinan? Atau jangan-jangan ini cuma cara lain untuk membangun citra: tampak tegas di permukaan, tapi minim empati di akar persoalan.

Kalau sekolah jam 6 pagi itu solusi, apakah masalahnya sudah dipahami?

Masalahnya, banyak kebijakan Kang Dedi Mulyadi ini terasa seperti dibikin buru-buru tanpa fondasi yang kuat. Mirip seperti beli sepatu hanya karena warnanya lucu, padahal ukurannya kekecilan. Sekilas keren, tapi nggak nyaman dipakai jalan jauh. Begitu juga kebijakan masuk sekolah jam 6 pagi: tampilannya mungkin terlihat tegas dan disiplin, tapi esensinya rapuh karena tak berangkat dari kebutuhan nyata di lapangan. Kebutuhan siswa, guru, orang tua, semuanya seperti hanya jadi latar, bukan pemeran utama.

Pendekatan semacam ini bikin kebijakan terasa populis: yang penting viral dulu, baru mikir belakangan. Tiap muncul ide “mengejutkan”, langsung dilempar ke media sosial, diiringi narasi heroik bahwa ini demi masa depan anak-anak bangsa. Padahal yang dibutuhkan bukan kejutan, tapi ketenangan dan keberlanjutan. Pendidikan itu bukan acara televisi yang butuh rating, melainkan proses panjang yang memerlukan riset, evaluasi, dan terutama: empati.

Jadi wajar kalau banyak warga (termasuk saya) merasa muak. Setiap kali gubernur muncul dengan “gebrakan baru”, kita bukannya penasaran, malah waswas. Bukan karena takut perubahan, tapi karena sudah terlalu sering disuguhi kebijakan yang lebih cocok jadi konten TikTok ketimbang solusi jangka panjang. Kita butuh pemimpin yang mendengarkan, bukan yang sekadar tampil. Yang merumuskan kebijakan dari lapangan, bukan dari likes dan view medsos.

Orang tua jadi alarm hidup

Kebijakan sekolah jam 6 pagi ini tidak hanya mengubah hidup siswa, tapi juga mengacak-acak ritme hidup para orang tua. Bayangkan, orang tua yang biasanya bangun jam lima sekarang harus nyetel mode “alarm hidup” mulai jam empat subuh. Siapin sarapan, bantu anak siap sekolah, pastikan seragam disetrika, sepatu nggak ketuker, PR sudah dibawa, dan semuanya itu dilakukan sebelum ayam sempat kepikiran buat berkokok.

Dan, ini pun belum termasuk orang tua yang harus antar anak ke sekolah karena rumahnya jauh dari jalur angkot atau jalanan rawan. Mereka jadi supir pribadi yang harus tancap gas di gelap gulita, menembus kabut dan kantuk, demi mengejar jam enam pagi yang suci itu. Lalu setelahnya, mereka balik lagi ke rumah atau lanjut kerja, dalam kondisi setengah zombi juga. Kalau anaknya zombi akademik, orang tuanya jadi zombi logistik.

Ironisnya, suara orang tua seperti ini jarang terdengar dalam perumusan kebijakan. Padahal, mereka adalah pihak yang paling terdampak dan paling tahu ritme hidup anak. Tapi sayangnya, dalam logika kebijakan populis, suara warganya sering kali kalah dengan suara notifikasi Instagram. Yang penting kelihatan tegas dan beda, urusan repotnya ya urusan belakang.

Guru: Jadwal maju, nasib tetap di belakang?

Di tengah ribut-ribut soal sekolah jam 6 pagi, nasib guru sering kali cuma jadi catatan kaki. Padahal, mereka juga harus ikut bangun lebih pagi, bersiap lebih cepat, dan tetap mengajar dengan senyum meski mata masih setengah merem. Lucunya, negara menuntut mereka tampil segar dan inspiratif, tapi lupa kalau sepulang ngajar mereka juga harus jadi orang tua, nyambi les privat, atau malah jualan online demi menutup lubang pengeluaran.

Apalagi guru honorer. Mereka ini ibarat garda depan pendidikan dengan status kontrak yang nyaris kayak ghosting: ada, tapi nggak dianggap serius. Gaji masih jauh dari layak, beban kerja tidak kalah berat dari guru ASN, tapi sekarang disuruh ikut aturan baru yang makin memberatkan. Nggak salah kalau kemudian banyak guru merasa, yang maju bukan kualitas hidupnya, tapi hanya jadwalnya.

Kalau betul kita mau membenahi pendidikan, kenapa yang dibenahi selalu jadwal, seragam, atau aturan luar? Kenapa bukan kesejahteraan guru yang dijadikan titik tolak? Jangan sampai yang terus bergerak hanya jam di dinding sekolah, sementara nasib para pengajarnya tetap mandek di tempat.

Daripada diserang fans KDM, saya mau disclaimer dulu. Saya tidak menolak gagasan soal kedisiplinan. Saya juga tidak alergi terhadap inovasi. Tapi, kalau setiap kebijakan baru selalu bikin rakyat pening, mungkin yang perlu didisiplinkan pertama bukan siswa, bukan orang tua, bukan guru, tapi cara berpikir pemerintahnya dulu. Sejauh ini, yang tampak disiplin justru masalahnya: datang lagi, datang lagi, dan datangnya makin pagi.

Logika kebijakan makin absurd

Kebijakan masuk sekolah jam 6 pagi ini bukan cuma urusan jam dinding, tapi soal logika kebijakan yang makin absurd. Rasanya seperti kita disuruh ikut lomba lari, tapi start-nya tengah malam, sepatu bolong, dan panitianya sibuk selfie. Sementara kita ngos-ngosan di lapangan, mereka sibuk di podium pencitraan.

Pun, rakyat cuma bisa bertanya sambil narik selimut jam empat pagi: ini kita sedang membangun generasi unggul, atau sedang bereksperimen dengan sirkus kebijakan yang tak pernah selesai? Kalau jawabannya yang kedua, ya wajar dong kalau banyak warga mulai mikir pindah KTP. Bukan karena nggak cinta Jabar, tapi karena udah capek jadi figuran dalam drama populisme tanpa naskah yang jelas.

Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Bahaya Trauma “Anak Nakal” Jawa Barat yang Dikirim Gubernur Dedi Mulyadi ke Barak Militer

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version