Sekolah internasional di Indonesia yang elite dan mahal ternyata tetap punya sisi gelap yang patut diwaspadai.
Pendidikan merupakan tangga menuju masa depan yang lebih gemilang. Itu mengapa, tidak mengherankan, banyak orang tua calon siswa mengedepankan opsi sekolah internasional sebagai alternatif pendidikan formal anak mereka. Harapannya, status internasional yang disandang sekolah, ditambah biaya yang nggak murah, anak mereka mendapat pendidikan yang terbaik.
Rata-rata sekolah internasional di Indonesia memang memiliki kualitas lebih baik daripada sekolah pada umumnya. Namun, sebagaimana tiada gading yang tak retak, sekolah internasional juga punya sisi gelap. Di bawah ini beberapa sisi gelap dari sekolah internasional di Indonesia:
Daftar Isi
#1 Sekolah internasional di Indonesia jadi tanda status sosial
Hampir semua orang tua akan memberikan jawaban diplomatis ketika ditanya seputar alasan menyekolahkan anaknya di sekolah internasional. Jawaban itu tidak akan jauh-jauh dari perluasan jaringan peluang kerja, kurikulum yang diterapkan, hingga mutu tenaga pendidik. Kecanggihan teknologi yang digunakan, atau pemakaian bahasa Inggris dalam kegiatan belajar mengajar juga menjadi alasan lain.
Akan tetapi, kalau para orang tua itu mau sedikit lebih jujur, ada latar belakang lain yang mendorong mereka menyekolahkan anak di sekolah internasional. Alasan tersebut bersifat personal, tetapi tidak elok bila diutarakan. Alasan itu adalah status sosial.
Sebagai makhluk sosial, manusia masih memiliki hasrat untuk diakui, termasuk soal status sosial dan reputasi. Salah satu jalan mencari validasi adalah dengan menyekolahkan anak di tempat bergengsi. Bagi beberapa orang, keputusan menempuh pendidikan di sekolah berlabel internasional jauh lebih prestisius ketimbang sekadar membeli barang bermerek. Sebab, sekolah membutuhkan komitmen tinggi dan memiliki keterikatan cukup lama dengan orang tua siswa yang berimbas pada besaran biaya setiap tahunnya. Dengan kata lain, hal ini akan mendongkrak prestise sosial dari orang tua itu sendiri.
Baca halaman selanjutnya: Sekolah internasional di Indonesia sebagai panggung kompetisi materi…
# 2 Sekolah internasional di Indonesia sebagai panggung kompetisi materi
Ruang lingkup pendidikan formal seringkali tidak lepas perilaku flexing yang bisa jadi berujung pada tindakan pengucilan. Contoh nyatanya kegaduhan di sosial media perkara kotak makan Smiggle beberapa saat lalu. Selain itu, les di luar sekolah dapat pula menjadi sebuah ajang pembuktian. Sama-sama les musik saja, ada kastanya. Kalian baru boleh bernapas lega kalau buah hati mengambil kelas musik piano klasik atau harpa yang harga alatnya saja sudah puluhan juta.
Intinya, orang tua wajib bersiap diri manakala tetek bengek kehidupan sosial di sekolah diukur dengan materi. Lha wong perkara isi hampers ulang tahun saja bisa dijadikan bahan perbincangan.
#3 Perundungan yang tidak bisa dikesampingkan
Kasus perundungan memang kerap terdengar di berbagai institusi pendidikan belakangan ini. Namun, ketika hal tersebut menyangkut nama sekolah internasional, kritik masyarakat yang beredar menjadi lebih tajam. Dapat dipahami bahwa ekspektasi khalayak terhadap para siswa di sekolah elite cukup tinggi. Sekolah internasional dinilai punya sumber daya yang lebih besar dalam membangun karakter anak. Misalnya saja dengan menyisipkan pelatihan pengembangan kepribadian atau mempekerjakan psikolog dalam pendidikan karakter anak.
Faktanya, pengucilan dan perundungan tetap saja bermunculan di sejumlah sekolah yang dibilang terpandang. Oleh sebab itu, wajar jika kemudian muncul keraguan masyarakat terkait bagaimana sistem pembentukan karakter anak didik di sekolah terkait. Bagaimanapun, sekolah memiliki peran dalam membimbing para siswa, terlebih lagi jika didukung dengan sumber daya di atas rata-rata.
#4 Kemampuan berbahasa Indonesia yang memprihatinkan
Salah satu kebijakan di sekolah internasional adalah penggunaan bahasa Inggris dalam aktivitas pembelajaran. Makanya, para muridnya menjadi lebih fasih dan terbiasa memakai bahasa asing saat berkomunikasi dengan orang lain, bahkan di luar kegiatan sekolah. Sayangnya, benefit tersebut kerap kali tidak dibarengi dengan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Bukan bermaksud menjadi fanatik atau sok bersikap nasionalis. Tapi, alangkah lebih baik jika anak didik sekolah internasional juga dibekali keahlian menerapkan penggunaan bahasa Indonesia secara lisan maupun tertulis. Bukankah miris ketika bahasa Indonesia dikatakan hanya memiliki sedikit kosakata sebagaimana yang dihebohkan di sebuah platform media sosial beberapa minggu terakhir ini? Nyatanya, opini tersebut disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan orang-orang terhadap kekayaan bahasa nasional kita. Diharapkan, dengan mengenal keragaman kosakata Bahasa Indonesia, anak-anak akan semakin mencintai budaya sendiri, khususnya karya para pujangga tanah air.
Bersaing di era saat ini memang menuntut orang tua untuk lebih selektif dalam menentukan tempat anak menimba ilmu. Meskipun secara garis besar sekolah bertaraf internasional menawarkan layanan yang lebih menggiurkan, bukan berarti kita tutup mata atas potensi negatif yang mungkin saja juga bisa terjadi di institusi pendidikan yang dianggap elite itu. Perlu juga diingat bahwa akar pendidikan anak yang pertama dan utama bermula dari orang tua mereka sendiri sehingga kesuksesan seorang anak tidak mutlak dibebankan kepada sekolah semata.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Biaya Pergaulan di Sekolah Favorit, Tekanan Tak Terlihat yang Begitu Nyata
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.