Semester akhir sekolah adalah momen genting, terutama di masa seperti sekarang ini. Yang selalu saya tekankan soal genting adalah bayar duit sekolah. Memang pada kenyataannya menghitung biaya sekolah tak selalu asyik. Belum buku tulis baru, belum kuota internet, belum beli LKS, pokoknya bikin kantung menipis. Yang mau menghadapi kelulusan lebih gawat lagi. Harus ujian dan nggak boleh punya utang ke sekolah, nanti nggak bisa ambil ijazah. Pilih sekolah juga harusnya sekarang lebih mudah berkat sistem zonasi. Tapi, apakah sistem ini benar-benar efektif?
Salah satu tujuan dari adanya sistem zonasi adalah agar tak ada hierarki dalam sistem persekolahan duniawi. Seperti yang kita tahu ada sekolah favorit alias sekolah keren, beken, dan penuh prestasi. Sekolah yang diserbu oleh banyak orang tua dan siswa-siswa pintar dan kebanyakan kaya. Ada juga sekolah biasa, yang biasa saja gitu lah. Standar masuk sekolah favorit itu kayak gimana sih sebenarnya? Apa hanya karena nilai matematika yang baik? Pada kenyataannya, itu yang biasanya dicari sekolah favorit.
Saya nggak bilang sekolah favorit itu buruk, hanya saja wagu rasanya. Ada sekolah yang sama-sama punya pemerintah, tapi kok perlakuannya beda, pilih kasih gitu. Banyak anggota keluarga saya yang berlomba agar bisa memasukkan anaknya ke sekolah favorit, padahal bayaran yang diminta nggak masuk akal dan ngawur. Dalih fasilitas lengkap tak terelakkan lagi, ditambah nilai prestise tersendiri saat anaknya bisa punya seragam dari sekolah favorit.
Misalnya ada tetangga bertanya, “Anaknya sekolah di mana, Bu?” Tentu dijawab dengan nggleleng dan disertai tawa wangun khas ibu-ibu. “SMA favorit itu. Anaknya yang ngeyel, saya cuma manut.”
Sistem zonasi itulah yang diharapkan mampu menghilangkan hierarki dari sekolah. Belum lagi hierarki di dalam sekolah favorit itu sendiri, kelas reguler dan kelas berstandar internasional (RSBI), yang lagi-lagi menarik bayaran yang wow, berjuta-juta. Tapi, sampai hari ini masih banyak orang tua yang berharap anaknya masuk ke sekolah yang dianggap masih favorit itu.
Lantaran sistem zonasi, beberapa saudara saya bahkan sampai bikin kartu keluarga dan KTP baru alias pindah administrasi, agar dekat dengan sekolah yang dianggap favorit dan bisa diterima di sana. Sistem zonasi sepertinya sedang dicurangi. Rupanya, banyak yang melakukan hal semacam itu, buanyak buanget. Saya beruntung orang tua saya memegang prinsip “di manapun sekolah, yang menentukan masa depan adalah diri sendiri” (dibaca: dekat dari rumah biar irit).
Saat itu belum ada zonasi, namun bisa dibilang itulah yang saya lakukan. Pernah dan sering saya dengar dari mulut para siswa sekolah favorit, “Fasilitas dan kehebatan sekolah tak menentukan nilai dan kesempatan siswa.” Masalahnya, semua beasiswa masuknya ke sekolah itu, mulai dari pemerintah sampai perusahaan-perusahaan besar. Di sekolah negeri yang B saja, paling mentok bidikmisi. Ketimpangan inilah yang diharapkan bisa hilang. Tapi sayangnya, perkembangan dan pembangunan sekolah yang tak merata, membuat sistem sekolah favorit seperti tak bisa hilang 100%.
Sekolah yang masih dinilai favorit, atau kini favorit tipis-tipis, masih banyak peminat. Segala cara akan dihalalkan agar bisa masuk sekolah itu. Saya tak bisa menyalahkan para siswa dan orang tua. Memang pada kenyataannya, fasilitas sekolah favorit jauh lebih baik. Ekskul komplit, pelatih pun mumpuni. Semua jenis fasilitas, olahraga, laboratorium, seni, pokoknya semua ada. Siapa yang nggak mau coba?
Jadi, para orang tua pencandu sekolah favorit ini tak bisa disalahkan juga. Kebanyakan yang terjadi itu sudah merupakan sekolah turun temurun. Semua anggota keluarganya banyak yang merasakan enaknya sekolah di situ. Ada juga yang memang mengejar nilai prestisiusnya, dan itu nggak salah, boleh-boleh saja. Apalagi sekarang nggak ada lagi uang gedung dan pungutan khas sekolah favorit lainya, lebih irit.
Yang menurut saya tak tepat adalah sistem zonasi yang nyatanya tetap tak mampu menyelenggarakan sekolah yang adil merata, baik kualitas maupun pembangunannya. Di banyak tempat, khususnya luar Jawa, mereka nggak perlu zonasi-zonasian, apalagi favorit-favoritan. Sekolah cuma ada itu-itu saja, bangunan banyak yang hampir rusak, guru kurang, buku kurang, jauh dari rumah, dan benar-benar harus menembus sungai, hutan, gunung, hingga laut hanya agar bisa pergi ke sekolah. Jangankan memikirkan sekolah favorit, besok sekolah apa nggak saja belum tahu, mau melanjutkan juga susah, lebih jauh dan lebih mahal lagi tentunya.
Yang terpenting, para anak harus diberi pengertian perihal sekolah yang tepat. Bukan hanya perkara nilai rapor, nilai prestisius sebuah sekolah, tapi tentang karakter dan kesadaran diri, betapa pentingnya belajar dan berpendidikan agar bermanfaat untuk orang lain. Sehingga peran orang tua bukan hanya untuk membiayai saja, namun ikut membentuk karakter para anaknya.
BACA JUGA Menurut Saya, Menjadi Sekretaris Adalah Cobaan Terberat di Masa Sekolah dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.