Kita mulai dengan pertanyaan, berapa jumlah ayat dalam Al-Qur’an? Beberapa mungkin spontan menjawab 6.666 ayat, namun faktanya jumlah tepatnya 6.236 ayat. Hal ini bisa kamu buktikan sendiri dengan menjumlahkan ayat pada setiap surah dalam Al-Qur’an, atau kalau tidak mau repot, tinggal melihat di halaman pengantar mushaf Al-Qur’an cetakan Saudi yang biasa dibawa oleh jamaah setelah menunaikan ibadah haji.
Contoh di atas hanya detail kecil tentang Al-Qur’an yang sering terabaikan. Jumlah itu pun bukanlah jumlah absolut. Ada banyak perbedaan pendapat mengenai jumlah ayat Al-Qur’an dengan alasan beragam. Misalnya, basmalah pada Surah Al-Fatihah, ada yang memasukkannya sebagai ayat pertama dan ada yang tidak.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya, mengapa sampai berbeda? Bukankah Al-Qur’an itu diturunkan Allah Swt. melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw.? Apakah ada kesalahan teknis dalam proses itu?
Al-Qur’an memang kitab suci yang harus dikultuskan, tapi bukan berarti tak ada ruang bagi rasio untuk mendekati baik makna maupun sejarahnya. Bicara sejarah, biasanya dijelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dari Lauhulmahfuz ke langit dunia dan kemudian diturunkan berangsur-angsur ke Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Namun, pernahkah kita bertanya apa yang terjadi pada Al-Qur’an dalam kurun waktu kurang lebih 1.500 tahun jarak antara Nabi dan kita?
Faktanya, perjalanan Al-Qur’an tidak sesederhana lagu anak TPA. Merujuk literatur Islam, dijelaskan bahwa dalam 23 tahun masa kerasulan dan dakwah Nabi, sejak diangkat sebagai Rasul berusia 40 tahun, sejak itu juga dimulai sejarah perkembangan Al-Qur’an hingga akhirnya terkumpul dalam bentuk mushaf seperti saat ini. Perkembangan Al-Qur’an setidaknya dapat dibagi dalam 3 periode.
Periode penulisan
Pada masa itu Al-Qur’an tidaklah sama dengan apa yang kita lihat sekarang. Awalnya Al-Qur’an hanya hafalan para hafiz di antara sahabat Nabi. Masyarakat saat itu memang terkenal dengan kemampuan hafalannya, terbukti dari kebiasaan mereka bersyair saat berkomunikasi. Itulah mengapa bahasa Al-Qur’an sering disajikan dalam bentuk sastra dengan memberi analogi atau mengangkat kisah imajinatif maupun cerita umat terdahulu, yakni agar sesuai dengan tabiat umat saat itu.
Di antara banyak hafiz Quran saat itu, yang populer adalah Khulafa al-Rasyidin, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mu’awiyah, Ibnu Zubair, Aisyah, Hafsah, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, dan lainnya.
Setelah turun ayat demi ayat, Nabi membentuk tim penulis yang mayoritas anggotanya adalah para hafiz serta beberapa sahabat lain untuk menuliskan hafalan mereka secara mandiri. Saat itu penulisan dilakukan di pelepah kurma, daun lontar, dan media lain yang tersedia. Metode penulisannya berdasarkan instruksi Nabi mengenai susunan ayat dan letak surahnya.
Tak terbayang kerja keras Nabi dan sahabat dalam menjaga Al-Qur’an. Apa pun yang terbayang di otak kita saat ini, sebagai generasi yang telanjur mengenal ATK, tidak akan betul-betul menggambarkan usaha mereka dengan alat seadanya yang tersedia saat itu.
Salinan Al-Qur’an saat itu tidak terkumpul dalam satu mushaf. Catatan yang ada pada satu sahabat belum tentu ada pada sahabat lain. Hal ini berlangsung hingga Nabi SAW wafat karena hingga akhir hayatnya, sahabat masih senantiasa menantikan ayat yang turun untuk kemudian dicatat.
Pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf
Inisiatif mengumpulkan Al-Qur’an dalam lembaran-lembaran mushaf dimulai pada masa Khalifah Abu Bakar. Asbabnya adalah perang melawan kaum murtad yang dipimpin Musailamah pada tahun 12 Hijriah. Di perang itu banyak hafiz gugur sehingga Umar bin Khattab yang visioner dan rasionalis berusul kepada Khalifah Abu Bakar untuk segera menuliskan Al-Qur’an dalam lembaran, agar tidak hilang bersama dengan gugurnya para hafiz.
Ditunjuklah Zaid bin Tsabit menjadi ketua tim penulis mushaf Al-Qur’an. Tentu saja prosesnya dengan syarat dan ketentuan yang sangat ketat. Ayat yang bisa diakui dan dicantumkan dalam mushaf tidak cukup sekadar hafalan, tapi didukung bukti catatan dan bukti itu harus didukung orang yang bersedia bersaksi atas kebenarannya.
Berbeda dengan masa Abu Bakar dan Umar, di masa khalifah ketuga, Utsman bin Affan, Islam telah tersebar di wilayah yang sangat luas hingga ke kawasan non-Arab. Kendala bahasa menjadi faktor utama adanya perbedaan cara membaca Al-Qur’an yang berujung pada saling menyalahkan. Melalui proses yang berliku, dengan panitia yang kembali dipimpin oleh Zaid, penulisan mushaf kembali dilakukan di masa Utsman, bertujuan untuk menyeragamkan bacaan Al-Qur’an.
Pemberian tanda baca
Jika kamu pernah melihat kitab gundul, ketahuilah Al-Qur’an di masa Khalifah Utsman lebih gundul dari itu. Jangankan tanda baca, beberapa huruf saja masih sulit dibedakan karena tak ada tanda khusus yang membedakan. Huruf sin dan sya sulit dibedakan karena tak ada titik, begitu juga dengan huruf lain.
Periode ini terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah yang dipimpin oleh Mu’awiyah. Adalah Ziyad bin Abihi yang berusul agar Salinan Al-Qur’an diberi harakat pada huruf. Sebagai gubernur Basrah dia sering mendengar kekeliruan bacaan yang berujung pada kesalahan memahami Al-Qur’an.
Orang yang memikul tugas ini adalah Abu al-Aswad al-Duali. Atas jasanya, kita mengenal istilah kasrah, fatha, damma, tanwin, dan sistem dua titik pada huruf hijaiyah.
Sungguh pembicaraan tentang sejarah Al-Qur’an tak cukup hanya dengan satu-dua buku, apalagi artikel 800 kata. Tujuan tulisan ini adalah agar kita memahami mushaf yang kadang dibiarkan berdebu itu tidak serta-merta turun dari langit, melainkan melibatkan kerja keras para pendahulu kita yang ditugaskan Tuhan sebagai penjaganya.
BACA JUGA Nadiem Makarim Kaget Ada Orang Indonesia Nggak Punya Listrik, Plis Jangan Kasih Tahu Beliau Gaji Guru Honorer Berapa dan tulisan Muhammad Dzal Anshar lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.