Segalau-galaunya Hubungan Tanpa Status, Masih Lebih Galau Tak Kesampaian Beli Buku di Tanggal Tua

pedagang buku penjual buku online toko buku online Segalau-galaunya Hubungan Tanpa Status, Masih Lebih Galau Tak Kesampaian Beli Buku di Tanggal Tua

pedagang buku penjual buku online toko buku online Segalau-galaunya Hubungan Tanpa Status, Masih Lebih Galau Tak Kesampaian Beli Buku di Tanggal Tua

Galau gara-gara hubungan tanpa status sih biasa, lebih galau nggak kesampaian beli buku di tanggal tua.

Kalau Mas Sahyul Pahmi bercerita tentang kisahnya yang tidak kebagian sodoran rokok karena ia memilih untuk minum kopi terlebih dahulu membuatnya merasa dicampakkan, dilupakan, dikhianati, diabaikan, bahkan disia-diakan. Sedahsyat itu rasanya ya Mas ketika sampean tidak kebagian sodoran rokok. Tapi lain Mas Sahyul, lain lagi saya.

Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi – Tan Malaka.

Mengutip dari kalimat Tan Malaka yang berusaha mengatakan ketertarikannya pada buku yang bahkan bisa mengalahkan kebutuhan pakaian dan makanan. Meskipun saya tidak termasuk dalam kategori bibliophile atau bibliomania tapi harus saya akui kebutuhan membaca buku memang krusial bagi asupan kepala saya yang sudah lama tidak menjamahi kosa kata baru.

Hal ini saya sadari ketika saya yang lebih menyukai buku digital harus berhadapan dengan kosa kata yang benar-benar baru bagi saya. Sejenak saya tercenung, apakah saya sudah terlalu lama meninggalkan bacaan dalam buku ketimbang kebiasaan membaca wacana dalam media daring? Jawabannya tentu saya, ya. Saya pun menyadari saya butuh buku bacaan baru.

Namun niat beli buku itu harus dibarengi kesialan dan kekecewaan, sebab ia muncul di waktu yang kurang tepat. Saya merutuk diri saya sendiri, mengapa keinginan untuk beli buku justru datang di saat tanggal tua? Keinginan beli buku yang meletup-letup ini terjadi pada akhir bulan Desember lalu.

Setelah saya merasa perlu memperbarui perbendaharan kata dengan membaca buku, saya pun tergiur untuk mengunjungi laman toko buku online dalam Instagram yang hampir setiap hari menayangkan buku-buku best seller di timeline Instagram saya. Mendadak kalap, seketika saya ingin memasukkan judul buku yang saya kehendaki dalam troli belanja.

Saya memilih buku Seni Hidup Bahagia oleh Lucius Anneus Seneca, Hidup Ini Brengsek dan Aku Dipaksa Menikmatinya oleh Puthut EA, How To Stop Feeling Like Shit oleh Andrea Owen, dan The Simple Guide To A Minimalist Life – Cara Hidup Minimalis oleh Leo Babauta. Keempatnya seperti merepresentasikan pikiran saya yang sering kali merasa insecure.

Kemudian dengan percaya diri saya mengklik kotak bertulisan Checkout. Lalu apa yang terjadi? Voila! Total harga buku-buku belanjaan saya mencapai 200.000 rupiah. Sempat kaget, saya kembali mengingat transaksi terakhir yang membuat isi saldo rekening saya mengalami penuaan tanggal lebih cepat. Dan benar saja. Ketika saya memastikan berapa saldo terakhir pada rekening saya, rasanya sangat mengenaskan.

Saya kembali mengakses laman toko buku online yang berhasil menggoda iman saya. Saya kembali menimbang-nimbang isi saldo dengan total harga buku-buku yang harus saya bayarkan bahkan saya juga memperhitungkan jarak antara tanggal tua dan tanggal di mana saya akan menerima gaji. Lalu saya menulis reng-rengan pengeluaran yang harus saya kontrol demi bertahan hidup dari tanggal tua hingga kembali sampai di tanggal muda 🙁

Kegalauan ini nyaris sama rasanya ketika saya harus menimbang keputusan untuk tetap bertahan atau meninggalkan dalam sebuah hubungan yang tak jelas arah dan statusnya. Padahal saya terlanjur jatuh cinta. Iya, sama galaunya dengan tetap membeli keempat buku ini dan membiarkan keuangan saya meronta-ronta selama beberapa hari ke depan atau saya harus rela meninggalkan buku-buku ini demi mengontrol pengeluaran uang. Hanya saja ini lebih galau!

Setelah menghitung dan memperkirakan, akhirnya saya harus merelakan dua judul buku untuk saya tinggal dalam troli belanjaan. Betapa hati ini rasanya teriris, dan gundah gulana. Meski sudah mencoba optimis berkat kutipan Tan Malaka, kok rasa-rasanya saya yang sedang dalam masa semester akhir ini akan lebih banyak kebutuhan selama beberapa bulan ke depan hingga menjelang wisuda. Belum lagi tanggal gajian masih dua minggu yang akan datang.

Tapi akhirnya saya berusaha meredam kegalauan saya sendiri. Meskipun tidak semua judul buku berhasil saya beli dalam waktu yang bersamaan, setidaknya saya berhasil mendapatkan dua di antaranya. Sementara dua buku lainnya yang belum berhasil saya beli akan menjadi target selanjutnya di bulan ini. Saya tetap bersyukur, sebab dari kejadian ini saya dapat memetik tiga hikmah sekaligus.

Pertama, cara ini diatur oleh Tuhan agar saya lebih giat dan tekun mencari rezeki. Secara tidak langsung Tuhan menegur saya agar lebih bijak mengelola keuangan dan menyentil saya supaya lebih giat bekerja.

Kedua, cara ini juga ditentukan Tuhan untuk menjaga saya dari nafsu duniawi yang serba membuat terburu-buru. Mengapa bisa terburu-buru? Sebab ketika buku dibaca dengan sangat terburu-buru tanpa mengilhami esensinya saya hanya akan mendapat kesia-siaan belaka.

Ketiga, cara ini diberikan Tuhan pada saya agar motivasi membaca saya tetap konsisten. Tuhan menakdirkan saya untuk membaca buku How To Stop Feeling Like Shit dan Seni Hidup Bahagia di bulan ini. Sebab saya terlebih dulu dituntun untuk selalu bersyukur, dan yang terpenting agar saya selalu merasa bahagia. Meskipun harus dua buku lainnya harus tertunda. Di bulan berikutnya semoga Tuhan telah mengizinkan saya meminang dua buku yang tertunda itu.

BACA JUGA Beli Buku Aja Dulu, Soal Baca Nanti Bisa Belakangan atau tulisan Ade Vika Nanda Yuniwan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version