Sedotan Ramah Lingkungan yang Diperdebatkan

sedotan

sedotan

Bukan cuma muslimah yang menjadi perdebatan, namun juga sedotan ramah lingkungan. Petaka yang disebabkan oleh sedotan logam membuat lansia di Inggris meninggal. Sedotan sepanjang 25 cm itu menusuk mata kiri dan menembus kepalanya. Kecelakaan nahas tersebut mengakibatkan kerusakan pada batang otaknya. Ngeri ya.

Siapa sangka bahwa sedotan ramah lingkungan yang sedang marak dikampanyekan oleh para pecinta dan peduli lingkungan malah menjadi tonggak utama dari tragedi yang menimpa penggunanya. Setelah berita itu menjadi perbincangan di sosial media, banyak komentar warganet yang mulai sangsi (kembali) akan penggunaan benda tersebut.

Berusaha selamatkan hewan laut, eh malah manusia yang tewas.” – @awengkyy

Akibat sedotan SJW.” – @katashafar_

Lebih bahaya dari sedotan plastik, hati-hati” – @dikarrmdn

Kenapa sih harus sedotan non plastik? kenapa ngga sekalian gausah pakai sedotan?” – @ngihoioix

Begitulah respon warganet yang berhasil saya himpun dari kolom komentar pada salah satu postingan artikel sebuah portal berita. Beberapa hal bisa menjadi sebuah diskusi. Salah satunya adalah kehebatan eksistensi benda itu sendiri. Sedotan yang awalnya difungsikan untuk membantu manusia mengonsumsi minuman, terutama minuman dingin agar tak langsung menyentuh gigi, juga untuk membantu anak kecil, lansia dan penyandang disabilitas. Kini, berubah menjadi sesuatu yang diperdebatkan keberadaannya.

Itu semua tak lepas dari mulai munculnya kesadaran manusia akan kerusakan lingkungan terutama di laut karena konsumsi sedotan plastik. Berdasarkan data yang dihimpun oleh EcoWatch sebanyak 500 juta sedotan plastik per hari dibuang setelah 1x penggunaan.

Data lain yang diperoleh oleh Divers Clean Action menyatakan bahwa pemakaian sedotan plastik di Indonesia setiap harinya mencapai 93 juta. Apabila jumlah tersebut direntangkan maka akan mencapai jarak tempuh Jakarta-Meksiko.

Selain itu, mengapa sedotan plastik menjadi masalah besar dibanding sampah plastik yang lain? Karena ukurannya yang kecil, sedotan plastik tidak bisa tersortir alat daur ulang sampah, sulit untuk disortir secara manual, dan seringkali tidak diambil oleh pemulung. Sampah-sampah plastik yang pada akhirnya bermuara ke laut, kemudian berubah menjadi potongan lebih kecil atau microplastic yang berpotensi merusak biota laut karena terkonsumsi oleh mereka.

Pertanyaannya, efektif kah kampanye tanpa sedotan plastik ini?

Memang tidak semua orang di seluruh Indonesia melakukan kampanye ini, setidaknya dengan memulai dari hal terkecil maka dapat menjadi stimulasi untuk merambah ke hal yang lebih besar. Banyak para influencer, selebrtiti, public figure juga restoran cepat saji yang sudah menggalakkan kampanye ini dengan beralih pada penggunaan serta penyediaan sedotan ramah lingkungan.

Bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pudjiastuti juga mendukung kampanye ini. “Stop penggunaan sedotan plastik. Menjadi sampah di laut dan menyakitkan kesayangan kita,” ungkap Bu Susi dari akun Twitter.

Namun, kampanye tanpa sedotan plastik saja tidak cukup untuk menuntaskan permasalahan lingkungan yang ada. Perlu adanya partisipasi dari banyak pihak yang mendukung pengurangan penggunaan produk plastik.

Bahkan restoran cepat saji yang sudah mengampanyekan anti sedotan plastik, masih menggunakan produk berbahan plastik untuk tutup cup atau kemasan produk mereka. Padahal dengan nama brand yang mentereng sebenarnya pengaruh mereka cukup besar untuk dapat menjadi penggerak utama dalam pengurangan konsumsi plastik oleh masyarakat.

Selain itu, perusahaan swasta maupun negara sebaiknya perlu didesak pula untuk menggunakan formula produksi yang bebas plastik atau lebih ramah lingkungan. Hal itu dapat menjadi sumbangsih dalam langkah mulia pelestarian lingkungan oleh umat manusia.

Jadi, selain gerakan tidak menggunakan sedotan plastik lagi oleh masyarakat. Pemerintah juga perlu memberikan dukungan sarana, infrastruktur dan juga insentif yang memadai untuk daur ulang sampah, terutama sampah plastik. Karena sejauh ini kegiatan daur ulang di Indonesia masih dilakukan oleh sektor informal.

Lantas, bagaimana untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasan masyarakat gara-gara berita kematian perempuan Inggris yang tertusuk sedotan logam? Bisa jadi masyarakat yang sudah kepalang terlanjur membeli sedotan ramah lingkungan malah berlomba-lomba untuk minta refund ke penjual?

Hmm sepertinya tidak perlu, karena sedotan ramah lingkungan bukan hanya sedotan yang berbahan besi/logam. Namun juga ada yang berbahan kertas, bambu, silicon hingga kaca. Coba cari deh. Lagipula, coba kita bandingkan kasus malang yang menimpa perempuan Inggris itu dengan sebuah logika. Apakah ketika ada orang kecelakaan karena nyetir motor terus kita semua jadi gak boleh dan gak mau pakai motor lagi? ya seperti itulah kurang lebihnya, perlu memahami kembali konteks berita. Ternyata perempuan bernama Elena Gardner itu meninggal tertusuk stainless straw karena ia jatuh dan menimpa sedotan, bukan karena enak-enak seruput bubble tea atau cendol pakai sedotan logam kemudian meninggal karena tertelan.

Exit mobile version