Secercah Hidayah dari Kursi Bioskop yang diberi Jarak

Secercah Hidayah dari Kursi Bioskop yang diberi Jarak terminal mojok.co

Secercah Hidayah dari Kursi Bioskop yang diberi Jarak terminal mojok.co

Yah, namanya juga pandemi Covid-19, kalau nggak bikin mangkel ya pastinya bikin jengkel. Narasi yang dekat jadi jauh dan yang jauh makin jauh mungkin sudah kita hapal di luar kepala. Tapi, mbok ya o sing nggenah, mosok apa-apa sekarang jadi berjarak. Kursi bioskop aja diberi jarak, apalagi gap si miskin dan si kaya di Indonesia yang makin, uwh.

Sudah pandemi Covid-19, tertimpa guyonan pemerintah. Kombinasi paling epik apalagi coba yang bisa mengalahkan kedua hal tersebut? Pasangan emas Tsubasa dan Misaki pun saya jamin nggak ada apa-apanya. Pandemi Covid-19 yang makin menggila, ditambah pemerintah yang bisanya cuma main revisi istilah, ya beginilah hasilnya. Mau contoh? Iya, contohnya kursi bioskop terpisah!

Iya, sudah nggak ada itu yang namanya yang-yangan dempel-dempelan ketika nonton. Nggak, nggak ada. Ada satu kursi yang dilarang diduduki dan kursi itu bajingannya ada di tengah-tengah dirimu dan pacarmu. Mungkin itu jadi semacam simulasi ketika ngambekkan. Atau ya persiapan menyambut geger gedhen antar-pasangan. Bisa saja. Namun, itulah protokolnya.

Tapi, nih ya, semisal ditelaah lebih jauh lagi, kursi bioskop yang berjarak satu petak itu, ternyata banyak juga hikmahnya. Ya walau nggak dimungkiri banyak problematiknya, tapi ada juga kok hal-hal positif. Pertama nih ya, kita jadi bebas menikmati film tanpa ada gangguan dari pihak terdekat. Apalagi kalau pihak terdekat itu orangnya nggak gampang paham nonton film.

Misal pacarmu terlampau lama proses dengan pikirnya ketika menyadap informasi yang diberikan film yang lagi ditonton, nggak ada itu yang namanya diskusi ketika nonton. Lha gimana coba? Mau saling teriak dalam jarak kurang lebih setengah meter? Ha geger satu studio.

Kamu bisa fokus menikmati film. Kecuali… kalau kamu yang ada di pihak nggak paham film tersebut bercerita tentang apa, berarti poin ini jadi kerugian yang mutlak.

Kedua, tempat menyimpan tas dan makanan. Hal sulit yang kadang terjadi kala nonton sebelum pandemi itu ketika saya bingung nyimpen makanan di mana. Apalagi kalau film horor, kakak saya pernah banting popcorn yang ia pegang ketika bagian jumpscare. Saya pernah nyimpen popcorn di bawah, pada akhirnya saya lupa buat memakannya. Ha mah ngopo beli makanan tapi selama jalanannya film nggak dimakan.

Berkat jeda satu bangku inilah masalah saya selama ini terselesaikan. Saya bisa menaruh makanan di tengah-tengah kami. Amat leluasa. Tas pun bisa masuk di tengah. Tak ada barang hilang dan kececer karena kondisi gelap. Ya, setidaknya meminimalisasi hal-hal yang menjadi problem ketika menonton film. Enak, bukan?

Ketiga, pembebasan bagi kaum jomblo. Puoool enak banget ketika statusmu jomblo, nggak usah takut lagi ke nonton ke bioskop. Setiap manusia di studio yang nonton film, walau membawa pasangannya, mereka cosplay bak jomblo juga. Sambil nonton, bisalah sambil ketawa ngekek kepada mereka yang membawa pacar.

Lha ini itu benar-benar momen terbaik bagi kaum jomblo. Gini lho, sudah bayarnya lebih murah (satu tiket doang), naik motor tanpa beban, nggak perlu jemput menjemput, nggak ribet karena kamu merdeka atas dirimu sendiri, ujung-ujungnya ya sama, nonton dengan batas dan rintangan yang membentang berupa satu petak kursi bioskop bertanda silang. Duh, duh.

Tapi, ya ada juga sih manusia jenis sableng. Sudah diberi tanda silang, pas lampu mulai redup dan mati, jebul pindah. Saya curiga, manusia-manusia jenis ini nih sedang cosplay sama pemerintah. Protokol hanya sekadar terminologi, ribet hanya sekadar makna dan arti, ketika dihadapkan oleh realitas dan kondisi nyata, bubrah nggak karuan!

Bagaimanapun, saya sih berharap semoga kondisi ini lekas usai. Nggak perlu lah meromantisasi kursi bioskop selama tujuan datang ke tempat ini masih sama, yakni menikmati film dan menghargainya. Mbok gek ndang rampung, Pakde.

BACA JUGA Film ‘Tenet’ Cocok untuk Ngajak Pacar yang Hobinya Mesum di Bioskop dan tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version