Kemarin sempet viral statusnya seorang Ukhti yang merasa hina setelah mendapati sisa-sisa skincare dan makeup yang pernah beliau pakai pada masa yang menurut beliau masa jahiliyah. Dan status itu cukup memantik emosi banyak netizen yang memang menggunakan skincare dalam keseharian mereka.
Saya jadi teringat beberapa waktu lalu satu teman pernah bikin status facebook soal keberuntungan suaminya kelak karena teman saya ini mengaku bukan cewek skincare yang katanya udah pasti lebih hemat dalam hal finansial. Ada lagi satu teman facebook lain yang bilang, “Saya sih mending beli makanlah daripada beli skincare. Buat apa muka glowing tapi mati kelaperan?”
Yaaa, Anda benar. Buat apa glowing tapi isi perut cuma rengginang. Tapi mohon maaf, logikanya orang yang dapat membeli kebutuhan sekunder tentu adalah orang yang kebutuhan primernya sudah terpenuhi.
Pokoknya kalau udah urusan per-skincare-an. Kita tuh udah kayak dosaaaaaa banget. Dicap wanita yang masih berada dalam kubangan jahiliyah lah, perempuan yang bisanya ngabisin duit pasangan lah, dicap perempuan yang bisanya dandan doang haduuhhh udah khatam banget deh, khatam to the max. Kenapa harus dicap ngabisin duit pasangan?
Banyak kok perempuan mandiri yang mampu beli skincare sendiri. Dan jangan salah, banyak suami-suami perhatian di luar sana yang menyuruh bahkan beliin skincare buat istrinya.
Perlu diketahui sebelumnya, skincare dan make up adalah dua hal yang berbeda, Kamerad! Skincare adalah serangkaian produk yang dapat digunakan untuk merawat kulit wajah. Sedangkan makeup ialah serangkaian produk yang dapat digunakan untuk merias wajah.
Maka terlalu dini rasanya kalau kita ujug-ujug melabeli orang yang menggunakan skincare as known as orang yang sedang merawat kulit wajahnya sebagai orang yang kecentilan, tabarruj, bersuamikan lelaki dayyuts dan sebagainya dan sebagainya.
Kulit wajah yang sehat adalah dambaan bagi setiap perempuan. Jadi kalau dituding pakai skincare cuma buat dapetin perhatian ikhwan, ih dangkal banget sih pemikirannya, kisanak! Sesuatu yang berhubungan dengan penampilan, kulit, khususnya skincare, mereka nggak melulu dipakai sebagai sarana untuk mendapat atensi dari lawan jenis, kok.
Kalau saja Mbaknya pernah mengalami breakout parah semasa SMA yang membuat bekasnya memerah semuka-muka seperti saya dulu. Kalau saja Mbaknya pernah insecure bahkan untuk ngobrol di tempat yang kesorot matahari hanya supaya jerawat-jerawatnya nggak keliatan banyak. Kalau saja.
Saya tidak bermaksud meremehkan tips sebagian perempuan yang menyarankan untuk merawat kulit wajah dengan air wudu saja. Tapi untuk membantu proses sembuhnya jerawat saya yang dulu semuka-muka itu honestly tidak cukup dengan air wudu saja.
Lagipula kenapa sih sebagian orang kalo ditanya, “Pakai skincare apa?” Selalu jawab, “Pakai air wudu aja, kok.” Sadarkah kalian pernyataan itu melukai orang-orang yang rajin wudu tapi tetep jerawatan? Jawaban yang secara tidak langsung mengobrak-abrik mental saya yang tempe ini.
Rasanya dulu pengen banget bikin film judulnya “Ayah Mengapa Aku Berjerawat?” Kadang saya suka pengen telfon Indosiar supaya disambungkan dengan Mamah Dedeh untuk bertanya “Mah, saya sudah wudu 5x sehari tapi kulit wajah tetap bermasalah. Apakah jerawat saya ini kafir, Mah?” Tapi nggak jadi. Soalnya Mamah Dedeh sekarang udah nggak di Indosiar lagi.
Saya pribadi sangat merasakan manfaat dari pemakaian skincare yang rutin. Sedikit cerita, dulu saya pernah berjerawat parah atau lebih sering dibilang breakout semasa SMA. Jerawat saya bentuknya besar-besar dan memenuhi setiap sudut wajah saya dan semuanya adalah jerawat aktif. Sudah pasti sakit, dan bernanah. Pokoknya parah.
Kalau perempuan lain bisa posting sedih ala-ala karena muncul jerawat PMS sebulan sekali, lah kita yang acne fighter gini mana ada waktu buat postingan gituan. Ya iyalah, kita jerawatannya tiap hari. Ribet amat ngabsen jerawat dari Jumadil awal ampe Jumadil akhir.
Dan tahukah kalian wahai sobat sekalian bahwa yang paling menyakitkan bukanlah si jerawat itu sendiri melainkan perkataan dari orang-orang yang melihatnya. Perlu sobat sekalian tahu, bahwa orang yang jerawatan nggak butuh pemberitahuan basa-basi dari kalian yang nontonin muka kita. Kayak, “Eh, jerawat kamu gede-gede lho sumpah.”, “Ih, itu ada mata nanahnya tau.”, Sungguh ya, demi Nicholas Saputra yang gantengnya tiada bantahan. tanpa dikasih pinjem cermin ajaib mamanya Snow White juga saya tuh tahu. Nggak usah ngasih breaking news lagi, hanya menambah perih..
Kalau sekarang para acne fighter udah lebih PD untuk speak up dan fight back. Ditambah orang-orang udah lebih concern terhadap body shaming. Saya yang mengalami breakoutnya di zaman Arya Kamandanu mencari jati diri ya cuma bisa menangis. Dan penderitaan tidak berakhir sampai di situ, anak muda.
Layaknya luka yang selalu meninggalkan kenangan. Jerawat juga pergi dengan meninggalkan bekas yang tak hilang. Tapi semua berubah setelah inovasi perawatan wajah menerjang. Skincare mulai ramai di pasaran. Dan skincare membantu saya mencapai tahap kulit wajah yang lebih sehat.
Sejatinya, kegiatan merawat kulit wajah sudah dilakukan dari zaman dulu hingga sekarang. Kalau zaman sekarang saya pakai serum, nenek saya udah lebih dulu pakai sarerang kawung. Kalau sekarang ada The Ordinary, nenek saya sudah merasa cukup dengan Saripohaci. Bedanya zaman dulu belum banyak orang yang nyinyir aja. Ehe ehe~
Yang tidak banyak diketahui orang adalah memiliki kulit wajah sehat merupakan perjuangan bagi sebagian orang. Maka ketika mendapatkannya, adalah hal yang wajar apabila kita ingin merawatnya. Bagi saya pribadi, berskincare ria layaknya treatment mandiri atau me time setelah penatnya bekerja seharian.
Kalau kata Mihaly Csikszentmihalyi nah bingung kan bacanya? Sama! Beliau yang pernah menulis buku Flow: The Psychology of Optimal Experience berujar bahwa kegiatan rutin yang kita nikmati merupakan kunci untuk membahagiakan diri.
Terlepas dari sholeha atau tidaknya seseorang, merawat pemberian Tuhan merupakan satu dari sekian banyaknya cara untuk bersyukur. Terlepas dari jahiliyah atau tidak, hemat atau boros, kita semua sejatinya ingin terlihat baik secara penampilan.
Skincare mungkin hanya sebuah aktifitas pemborosan bagi sebagian orang, tapi bagi saya yang punya kulit rese, skincare juga adalah kebutuhan.
Katakanlah kesabaran adalah obat paling mujarab. Tapi kalau sabar doang nggak pake ikhtiar, nungguin sampe Kalagondang jajan astor juga nggak bakal ada hasilnya. Mahal dan murahnya suatu harga itu relatif. Layaknya cireng isi, skincare juga banyak jenisnya. Dari yang harganya paling adem, sampai yang harganya aja ngajak berantem.
Lagian semahal-mahalnya skincare selama masih mahalan pedang naga puspa mah ya wajar aja sih.
BACA JUGA Apa Jadinya Kalau Skincare Ditanggung BPJS? atau tulisan Elsa Fitriyani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini