Sebuah Kisah Anak Tukang Listrik

tukang listrik

tukang listrik

Saat kecil dulu, tentu sudah tak asing melihat anak-anak yang bertengkar akan selalu membawa-bawa pekerjaan bapaknya untuk menakut-nakuti temannya. Kalau yang bapaknya polisi, dia bakalan bilang, “Awas ya kamu tak bilangin bapakku, biar kamu ditembak pake pistol!”

Kalau yang bapaknya jadi dokter, dia tentu bakalan bilang, “Awas kamu biar kamu disuntik Vaksin MMR sama bapakku!”. Begitu pun dengan temanku yang bapaknya bekerja sebagai tentara ataupun security. Pokoknya mendengar semua gertakan itu, rasanya kok bikin ciut hati ya.

Sedangkan di satu sisi, aku yang merupakan anak dari tukang listrik kalau pas marahan gitu sama teman, paling cuma bisa bilang, “Awas kamu ya, tak bilangin bapakku, biar kamu disetrum pake listrik!”. Tapi bukannya temanku pada takut, yang ada malah pada ketawa semua.

Memangnya kenapa dengan tukang listrik?

Dari kecil, aku tak pernah malu menyebutkan pekerjaan orangtua sebagai tukang listrik dengan lantang di depan kelas. Meski bapak cuma tukang listrik biasa dan bukan pekerja PLN yang perlente. Tapi, aku selalu merasa pekerjaan Bapak itu adalah pekerjaan yang paling heroik sedunia.

Bagiku, saat Bapak bergelantungan siang-siang di tiang listrik yang tinggi itu sama kerennya dengan Spiderman. Saat Bapak naik dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya bahkan semua itu sudah mirip dengan kelihaian Ninja Hatori yang legendaris.

Nama Bapak pun kondang se-Kecamatan sebagai tukang listrik. Saya yakin, orang-orang desa langganan Bapak itu lebih sepakat antara Bapakku dan Michael Faraday, Bapakku-lah yang lebih cocok mendapat sebutan ‘Bapak Listrik’. (Maaf ya Om Faraday, namanya juga orang desa. Jadi harap maklum)

Kalau bapak teman-temanku berangkat kerja pakai seragam dinas dan bawa tas necis, maka bapakku juga melakukan hal yang sama. Tiap pergi dinas untuk membetulkan listrik milik orang lain, bapak akan memakai seragam dinas yang cuma itu-itu wae. Sebuah kaus polo yang sudah kusam, sebuah celana panjang kain, sepatu tanpa merk yang sudah tak diketahui warna aslinya, topi warna coklat muda yang sudah berubah warna menjadi abu-abu, serta tas gendong yang berisi tespen (test pen), tang, palu, gunting, dan lain-lain.

Biar saya kasih tahu, dulu waktu kecil tiap habis salat, saya selalu berdoa agar Tuhan menurunkan hujan yang deras sekali, sekalian disertai petir, dan lalu jangan lupa menyambar meteran rumah orang lain di daerahku yah. Kadang doa itu terkabul dengan cepat, maka aku makin rajin dan makin lantang berdoa.

Duh, jahat banget ya doaku. Tapi kan waktu itu aku masih kecil dan polos, bahkan saat itu aku belum tahu rasanya sakit hati gara-gara patah hati. Yang aku tahu, kalau ada rumah yang meterannya ke samber petir, maka Bapak akan kerja dan pulang bawa duit. Lalu Bapak akan pulang membawakan kami dua bungkus mie ayam untuk dimakan enam orang. Oh iya sebelum makan, tidak lupa ditambahkan air panas, biar kuahnya banyak.

Zaman itu PLN belum sekondang sekarang ini. Hanya orang-orang berduit yang bisa mengundang petugas PLN ke rumahnya walau hanya untuk membetulkan korsleting listrik. Warga desa lebih suka mengundang bapak yang bayarannya tak pernah dipatok alias seikhlasnya saja. Kadang bapak hanya dibayar dengan hasil panen, seperti beras, sayuran, atau kalau ada orang yang gak punya, bapak cuma pulang dengan ucapan terima kasih.

Cara kerja bapak tentang bayaran ini kadang menjadi patokan dalam hidup saya sampai sekarang ini. Bapak seorang lelaki yang punya prinsip, bahwa dia tak akan menerima bayaran kalau yang meminta tolong itu tetangga atau orang satu kampung. Kata bapak kita harus hidup baik dalam bertetangga, toh saat mati nanti, tetanggalah yang akan membantu mengubur kita tanpa minta bayaran.

Dulu, saat tengah malam, saya sering mendapati orang mengetuk pintu rumah dan meminta Bapak membetulkan listrik di rumahnya. Padahal waktu itu hujan turun dengan deras sekali. Tahu sendiri kan gimana dinginnya tinggal di bawah gunung. Tapi bapak tetap berangkat, karena anak si pemilik rumah ini tak berhenti menangis karena takut gelap.

Kata Bapak, dulu simbah pernah berpesan padanya, “Le, padangono wong sing kepetengen” artinya Nak, terangilah orang yang sedang dalam kegelapan. Jadi Bapak menggunakan ilmunya ini bukan hanya untuk mencari uang, tapi dia juga sangat senang melihat orang lain bahagia saat rumahnya menjadi terang.

Tumbuh besar dengan melihat Bapak yang setiap hari membetulkan listrik, dulu pernah timbul juga keinginan atau cita-cita untuk menjadi tukang listrik. Mungkin kelihatannya keren menjadi tukang listrik wanita. Lalu, sebuah kejadiaan nahas pun menghampiri saya hingga membuat saya tak pernah lagi memikirkan untuk menjadi tukang listrik.

Jadi, dulu saat kecil saya sangat glidik (apa ya bahasa Indonesianya glidik). Saya suka memainkan peralatan listrik bapak. Lalu saya menemukan cara untuk menghidupkan bohlam lampu yang sudah mati menjadi hidup lagi. Sebenarnya bohlam mati itu karena ada sambungan yang putus. Silakan kalau mau tahu secara detail caranya, baca saja di Google, karena saat ini saya tidak sedang membuat laporan praktikum fisika.

Singkat cerita, eksprimen menghidupkan bohlam lampu yang mati menjadi hidup ini berhasil. Sekitar empat lampu berhasil menyala kembali. Lalu di percobaan lampu kelima, tiba-tiba saja pundak saya kayak ada yang mukul pake kentongan. Kepala kaya dihantam pake gada milik Werkudoro. Tubuh rasanya kesemutan semua. Mau marah tapi ternyata pas noleh, nggak ada siapa-siapa di belakang saya. Ternyata itu yang namanya kesetrum. Sungguh, luar biasa rasanya.

Sejak kesetrum itulah, saya memutuskan untuk mengganti cita-cita saya. Jadi tukang listrik ternyata berat. Biar, Cukup Bapak saja yang jadi tukang listrik.

Jujur saja, saya gak pernah malu menjadi anak tukang listrik. Bahkan dari penghasilan tukang listrik yang tak menentu itu, saya dan ketiga kakak saya bisa makan dan sekolah hingga tinggi.

Saya masih ingat, saat SD dulu, tiap pulang sekolah berjalan kaki dengan teman-teman saya. Jika tak sengaja melihat Bapak bergelantungan di tiang listrik, maka saya akan berteriak-teriak heboh.

“Lihat lihat lihat, itu bapakku. Itu bapakku di atas. Keren kan!”

Ah, begitulah. Setiap bapak adalah pahlawan bagi anak-anaknya, bukan?

Exit mobile version