Masa pandemi ini tidak hanya memberikan efek pada kesehatan atau ekonomi. Urusan pendidikan anak pun juga terimbas. Nggak sampai kayak kejadian di Banten yang seorang ibu siksa anaknya hingga mati, sih. Sepele aja, Bro, anak saya yang harusnya sudah usia TK A, jadi nggak bisa masuk sekolah karena dilarang pemerintah.
Imbasnya adalah saya harus bawa dia ke kantor. Okelah awalnya dia senang malah bisa nonton YouTube. Namun, lama kelamaan bosan juga. Kadang ikutan main sih sama anaknya teman sekantor saya, tapi sepertinya nggak selalu akur. Akhirnya mau nggak mau, dititipin lagi ke mbahnya.
Sebenarnya sejak lahir, ia memang sudah dekat dengan mbahnya. Maklum, cucu pertama jadi disayang banget. Sampai si mbah belain berhenti jualan di pasar. Sebuah penghasilan yang sudah mengantarkan istri saya dan abangnya lulus kuliah.
Saya sebenarnya nggak tega anak saya dititipkan lagi ke mbahnya. Pasalnya, tongkat estafet pemomongan telah beralih ke keponakan saya yang baru saja lahir. Saya nggak tega kalau beliau harus momong dua balita di masa lansia yang harusnya untuk rehat itu.
Namun, apa mau dikata. Si kecil sudah bosan kalau di kantor dan berontak terus. Saya dan istri nggak bisa fokus kerja. Oh, iya lupa bilang, jadi saya dan istri ini sekantor. Alhamdulillah ngirit bensin.
Oke, kembali lagi. Lantaran nggak ada solusi lain, jadi si kecil kami titipkan lagi ke mbahnya. Untungnya, keponakan saya sudah berumur dua tahun.
Ada yang mengatakan bahwa orang tua kita tentu sudah berpengalaman dalam momong anak. Ya, ada benarnya juga, sih. Namun, meminta tolong orang tua buat momong cucu, menurut saya kok nggak pas, ya.
Begini, bukan karena meragukan pengalaman mereka. Namun, menurut saya merawat cucu bukan tanggung jawabnya. Sudah saatnya mereka beristirahat. Kasian, sebetulnya. Apalagi kalau tujuannya cuma pengin hemat. Ya, daripada cari pembantu atau taruh ke penitipan, lah. Lumayan duitnya. Hmmm, itu, sih, kurang ajar namanya.
Hal ini sebetulnya tampak ketika banyak orang tua mengeluh karena si mbah sering memanjakan cucunya. Ia pun tumbuh jadi pribadi opo-opo kudu dienek-enekne. Akhirnya, yang repot juga orang tua. Namun, sungguh nggak elok kalau kemudian nyalahin mbahnya.
Usut punya usut, akhirnya saya tahu “kegagalan” dalam konsep mendidik ala si mbah. Pasalnya, secara fisik dan emosional, beliau memang butuh untuk direhatkan.
Kejadian ini saya amati betul ketika ada hajatan tetangga. Anak saya dan sepupunya nangis minta beli mainan. Si mbah yang nggak sabar lihat mereka nangis, ya langsung aja dibelikan. Sampai rumah, mereka berebut mainan dan minta dibeliin lagi. Sebetulnya, masing-masing sudah pegang dua. Namun, masih berantem karena anak saya iri sama sepupunya karena mainannya lebih banyak.
Harga mainannya sama sebetulnya. Anak saya ambil tongkat bidadari, sepupunya ambil truk pengangkut mobil. Jelas, kelihatannya banyakan sepupunya, kan? Setelah itu, si mbah langsung menyodorkan uang, “Nyoh duite, tukunen eneh.”
Waduh, saya langsung menahan istri saya yang mau belikan dan berusaha meminta pengertian dari anak saya. Namun, si mbah udah nggak tahan dengan nangisnya, dan nyuruh pakai uangnya untuk belikan mainan lagi.
Dalam hal ini, sungguh saya bukan tersinggung karena dianggap nggak bisa belikan mainan. Namun, coba dipikirkan, Bro. Hari ini anak saya minta tiga mainan dan langsung dibelikan. Kalau gitu terus sampai besar, saya takut ia jadi terbiasa. Kalau pengin sesuatu terus ia bakal nangis, ngelunjak, terus ngerusak barang, kabur dari rumah, dan seterusnya, gimana?
Dari sini saya jadi paham bahwa memang si mbah tidak lagi pada masanya untuk momong. Oke, pengalamannya bisa dijadikan pegangan kita. Namun, bagaimana ia memanjakan cucunya, itu perlu direm. Percaya sih, itu memang tanda saja. Tapi, ya, sakjane nggur wis wegah momong si mbah kuwi. Mungkin kasarannya: beliau sudah judeg denger si anak kecil nangis, jadi langsung diturutin saja apa maunya.
BACA JUGA Cara Menentukan Bayi Kita Kelak Laki-laki atau Perempuan dan tulisan Alqaan Maqbullah Ilmi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.