Selain rebahan, merajut asmara, dan aktif di organisasi, bekerja paruh waktu atau bahasa Swahilinya part time juga menjadi salah satu pilihan bagi para mahasiswa untuk mempertegas eksistensi. Terutama bagi mereka yang butuh tambahan biaya. Sayangnya, masih banyak yang kurang bijak dalam menentukan pilihan.
Sebagai penuntut ilmu yang pandai mengevaluasi kinerja pemerintah, sudah seharusnya mahasiswa lebih kritis lagi dalam urusan karirnya. Lha wong itu juga akan berkaitan dengan kesuksesan masa studinya. Tetapi kenyataannya, apa pun tawaran pekerjaan selama bisa dilakukan di luar jam perkuliahan, asal main sikat aja. Minim sekali usaha untuk mencoba cari tahu dulu detail pekerjaannya sebelum menghitung peluang dan risiko.
Padahal urusan pekerjaan paruh waktu ini bisa jadi sangat krusial. Terlebih bagi mahasiswa yang masih memiliki kewajiban 75% kehadiran. Itu belum termasuk praktikum lho. Yang tidak banyak diketahui adalah bahwa tidak semua lowongan pekerjaan paruh waktu itu benar-benar dikerjakan dalam separuh waktu. Para pemberi kerja paruh waktu tidak semuanya sungguh-sungguh memberikan pekerjaan untuk mereka yang hanya bisa bekerja dalam waktu-waktu tertentu.
Istilah pekerjaan paruh waktu sendiri sebenarnya masih bias untuk diartikan baik di kalangan pengusaha maupun praktisi seperti HRD. Terlebih jenis pekerjaan ini belum diatur secara mendetail di UU Ketenagakerjaan. Namun, satu hal yang telah disepakati bersama adalah bahwa durasi pekerjaan ini setidak-tidaknya separuh dari jam kerja pekerjaan penuh waktu.
Pekerja paruh waktu pun sering disamakan dengan pekerja lepas. Padahal keduanya jelas berbeda meskipun pengalokasian waktunya sekilas terlihat mirip. Pekerja paruh waktu melakukan pekerjaan rutin atau harian yang tidak jauh berbeda dengan pekerja full time di posisi yang sama meskipun jumlah jam kerjanya jelas berbeda. Sedangkan pekerja lepas tidak terikat dengan jam kerja. Beberapa tidak perlu berkantor. Pekerjaannya pun berupa proyek-proyek yang harus diselesaikan dalam batas waktu yang telah disepakati.
Wawasan ini penting karena semakin ke sini, saya melihat semakin banyak penyalahgunaan status pekerja paruh waktu. Mirisnya lagi, baik pemberi kerja maupun pekerja paruh waktunya itu sendiri sama-sama merasa tidak ada yang salah atas hal tersebut. Oleh karena itu, sebelum teman-taman turun ke jalan untuk mengkritisi UU Cipta Kerja, alangkah baiknya kalian memahami dulu dari hal-hal yang terdekat semisal ketentuan kuliah sambil bekerja.
Menurut UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 pasal 77, sudah diterangkan secara gamblang bahwa total jam kerja dalam seminggu bagi pekerja (full time) adalah 40 jam. Mengacu dengan peraturan tersebut, maka idealnya pekerja paruh waktu bekerja 20 jam dalam seminggu.
Sekarang mari kita lihat iklan lowongan pekerjaan yang berserakan di dunia maya. Cobalah hitung berapa di antara iklan-iklan yang menawarkan pekerjaan part time itu yang menyertakan informasi mengenai jumlah jam kerja. Hambok yakin banyak yang menyembunyikannya. Oke, saya berkhusnudzon saja mereka akan menjelaskan itu saat interview.
Lalu, pertanyaannya apakah para pelamar kerja ini sudah tahu bedanya pekerja part time dengan full time? Ataukah mereka akan mengartikan kalau pekerjaan part time itu yang penting bisa dilakukan secara sambilan? Sambil kuliah misalnya?
Sebelum pandemi, saya sering kali menjumpai mahasiswa-mahasiswa yang—katanya—sedang bekerja part time. Ketika saya tanya berapa jumlah jam kerja mereka, kapan mereka libur, bagaimana pergantian shiftnya—jika ada—dan apakah mereka memiliki kontrak atau perjanjian sejenisnya. Saya hitung-hitunglah itu semua, Ngeri sekali! Ternyata mereka bekerja rata-rata 36 jam per minggunya. Ini mah namanya kerja penuh dibayar separuh.
Siapa yang diuntungkan kalau sudah begini? Nggak perlu saya jawab ya. Ingat total Jam kerja pekerja part time itu tidak sama dengan pekerja full time, mendekati saja pun tidak.
Yang bikin saya tercengang, masalah eksploitasi jam kerja ini justru malah diabaikan oleh para pekerja—yang katanya—part time yang bekerja di sektor usaha jasa dan pelayanan macam penjaga warnet, game centre, dan sejenisnya. Kebanyakan dalih mereka seperti ini,
“Kan kita kerjanya malam, mau jam kerjanya panjang juga nggak terlalu berat. Paginya masih bisa kuliah.”
Perrnyataan seperti itulah yang membuat saya geleng-geleng kepala. Gini lho, Gaesss. Kenapa diistilahkan sebagai part time adalah karena pekerjaan itu pada dasarnya adalah bukan fokus utama. Full time atau waktu penuh kalian sebagai mahasiswa itu ya untuk belajar. Jadi, kalau kalian sudah lelah dengan kesibukan kuliah ditambah beban kerja yang naudzubillah, bisa-bisa nanti waktu belajar kalianlah yang akan kalah.
Mengenai apakah ada perusahaan yang memberikan jam kerja yang sesuai dengan fungsi dan tugas part time, saya yakin ada dan banyak. Saya sendiri pernah bekerja paruh waktu saat kuliah baik itu yang benar-benar part time maupun yang kaleng-kaleng. Di banyak perusahaan dalam asosiasi HRD tempat saya bernaung juga telah berkomitmen untuk memberikan jam kerja yang layak bagi pekerja paruh waktunya. Tinggal bagaimana effort kalian untuk mencari tahu informasinya.
Pokoknya ketika tawaran itu datang, jangan pernah ragu untuk menanyakan total jam kerja kalian. Dan jangan lupa juga untuk minta kejelasan tentang hak dan kewajiban yang disepakati bersama. Jangan asal iya-iya tetapi tidak ada bukti tertulisnya. Karena dengan kesepakatan itulah kalian dan para pemberi kerja sama-sama mendapatkan keadilan.
BACA JUGA Coffee on The Bus: Cara yang Berbeda untuk Menikmati Jogja dan tulisan Mohammad Ibnu Haq lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.