Sebelum “Marriage Story”, Ada “The Wife” yang Cerita Soal Perempuan dan Rumitnya Pernikahan

marriage story

Kalo 2019 kita disuguhi Marriage Story bersama Scarlett Johansson, mundur dikit ke belakang, di 2017 kita pernah disuguhi film bertema perempuan juga, The Wife. Film ini mengantarkan Glenn Close yang memerankan Joannie menyabet banyak penghargaan best actress, plus meskipun nggak menang, masuk nominasi Academy Award 2019 kategori best actress.

The Wife diangkat dari novel The Wife karya Meg Wolitzer, menceritakan tentang Joan seorang penulis berbakat dan pergulatan batinnya sebagai istri seorang penulis ternama, yang karena memutuskan mengabdikan diri demi nama besar suami, akhirnya menjadi tersisih dan dilupakan. Keputusan yang pada waktunya kemudian dipertanyakannya sendiri.

Telepon panggilan untuk Joseph (suami Joan) ke Stockholm dalam rangka menerima penghargaan nobel sastra, sejatinya membahagiakan sekaligus menimbulkan perasaan biru di hati Joan. Apalagi ketika Joseph meloncat-loncat kegirangan sambil bernyanyi-nyanyi “I won the Nobel! I won the Nobel!”, makin-makin dadanya sesak saja. Bisa-bisanya dia bilang AKU menang nobel, begitu kira-kira yang dipikirnya.

Karena semua novel yang diterbitkan dengan nama Joseph Castleman selama 40 tahun terakhir itu, sebenarnya adalah karya Joan, istrinya.

Joan menulis novel-novel itu dengan sepenuh hati karena semua cerita tentang perempuan yang hidup dengan laki-laki narsis, doyan selingkuh dan pemaksa itu diangkat dari kepiluannya sendiri. Tapi dia mencintai suaminya, setidaknya ia pikir begitu, dan ia merasa tidak sanggup ditinggal suaminya. Jadi ia menerima saja dipaksa bekerja 8 jam tiap hari untuk menulis novel-novel itu sementara Joseph bermain-main dengan anak-anaknya, dan selingkuh dengan pembatu-pembantu mereka silih berganti.

Hari-hari selama di Stockholm makin membuat Joan gundah. Ya gimana ya, pergulatan batin wanita yang merasa hidupnya memang diabdikan untuk suami yang dicintainya, tapi dia juga ingin diapresiasi karyanya. Masalahnya, kalau dia menginginkan hal kedua, jelas itu bakal menghancurkan suaminya.

Bayangkan saja Joan setiap hari harus mengurus semua kebutuhan suami dari urusan terkecil macam mengingatkan sikat gigi, menyiapkan pakaian, membersihkan remah roti dari mulut suaminya yang jorok banget suka makan jebres semua, menyediakan obat tiap kali jam minum obat tiba, sampai urusan besar semacam ia juga yang harus membela marwah suaminya ketika hampir mendapat malu karena lupa pada karakter novelnya sendiri. Ia marah pada suaminya yang berkata pada koleganya “istriku tidak menulis apa-apa”.

Ia marah lalu pergi keluar seorang diri, dan ndilalah bertemu dengan Nathaniel, seorang penulis biografi yang hampiiiiir berhasil mengulik rahasia kotor di balik nama besar Joseph. Tapi Joan bergeming, meskipun sedang teramat marah pada suaminya, dia tetap membela suaminya di depan Nathan yang terus menerus menekannya untuk menceritakan kisah yang sebenarnya.

Film ini emang 180 derajat kebalikannya Marriage Story kurasa hehee. Ya tapi memang latar waktu kejadiannya memang beda juga. The Wife ini ceritanya tahun 90an itu pun mereka udah tua-tua. Kalo Marriage Story kan film-film jaman sekarang. Ini juga maksudnya mungkin mau menggambarkan kalo hal-hal semacam yang terjadi di The Wife itu relevannya sama kehidupan pernikahan jaman old. Sekarang udah nggak musim yang begituan, musimnya istri-istri berontak minta me time dan ga mau kalah eksis wakakaaa.

Nonton ini mengingatkanku pada ibuku sendiri. Ibu itu di masa mudanya bukan perempuan biasa. Saat anak perempuan SMP-SMA seusianya masih sibuk sekolah dan yang-yangan, ibu sudah jadi aktivis GSNI underbownya PNI.

“Sukawi Sutarip iku lho boloku biyen nyepeda tekan ndi ndi ropaat rapat wong aku iki ketua GSNI dekne iku anak buahku kok.”

Itu cerita yang sering sekali diceritakan ibu dengan bangga, tentang masa mudanya aktif di GSNI bersama mantan walikota Semarang yang kebetulan pas saya kuliah di Semarang dia masih menjabat. Kemudian ibu akan mengingat-ingat dan menyanyikan kembali mars GSNI, mars Marhaen sambil tertawa-tawa. Aku yang mendengarnya ya senyam-senyum saja membayangkan sangarnya ibuku dulu wkwk.

Di masa mudanya, ibu bukan perempuan yang biasa ngalah dan nrimo. Sudah tidak jadi aktivis dia aktif berbisnis. Jadi juragan minyak tanah sukses, jadi juragan pakaian yang kulaknya aja di Pasar Johar padahal jaman dulu transportasi umum nggak semudah sekarang.

Tapi setelah menikah, ibu melepaskan semuanya. Semua waktunya buat bapak dan dedikasinya sebagai guru. Guru saja, tidak ingin jenjang struktural apapun. Tidak ingin lebih mencolok dari bapak. Apa-apa bapak yang nomer satu. Melanjutkan kuliah untuk kenaikan pangkat, bapak dulu. Daftar kepala sekolah, bapak saja.

Setelah bapak meninggal, ibu pernah bercerita, suatu ketika bapak entah habis terpengaruh oleh siapa atau bacaan apa, membuat pengakuan pada ibu. Dulu waktu mereka menikah, bapak ngapusi wetonnya, biar cocok, padahal aslinya nggak cocok.

“Nggak cocoknya itu siapa yang kena bala’nya?” tanya ibu.

“Kamu” kata bapak.

“Oh nggak papa. Aku ikhlas. Aku nggak akan menyesal kalopun harus menanggung bala’nya.”

Seperti Joannie. Di saat-saat terakhir setelah kematian Joseph, ia masih bilang ke Nathaniel.

“Nathan, kalau sampai ada pernyataanmu yang menjelek-jelekkan suamiku dan mendelegitimasi nama besarnya, kita berjumpa di pengadilan.”

Begitulah. Ada perempuan seperti Nicole (Marriage Story) yang meskipun mencintai suaminya, ia rela berpisah demi panggilan jiwanya. Ada juga perempuan seperti Joannie (The Wife), meskipun tersakiti jiwa raga, tapi rela menanggung demi tak berpisah dengan kecintaannya. Sepanjang para wanita hebat seperti ini tak saling berperang di arisan keluarga, dunia kurasa akan baik-baik saja.

BACA JUGA Perspektif Orang Ketiga dalam Prahara Rumah Tangga Orang Lain atau tulisan Nia Perdhani lainnya. Follow Facebook Nia Perdhani.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version