Dua puluh tiga tahun tinggal di Lamongan, saya kerap menjumpai orang-orang terlampau kreatif dalam menanggulangi berbagai permasalahan. Saya tidak membahas orang yang punya utang, lantas berusaha menutup lubang hutangnya dengan cara main judi online. Tidak. Tentu cara itu jauh dari kata “kreatif” alih-alih teramat mainstream saya temui di sekitar sudut warung kopi. Yang saya maksud terlampau kreatif adalah mereka yang berusaha menutup lubang di jalan raya.
Permasalahan jalan raya yang berlubang ini tentu saja bukan sesuatu yang mengagetkan. Terlebih di Lamongan. Saya sampai kepikiran, apakah jalan raya yang dibiarkan berlubang merupakan satu agenda pemerintah untuk mendorong pemikiran kreatif warganya?” Dan di sini, posisi saya adalah sebagai pendukung Gerakan Kreativitas Jalan Berlubang atau jika disingkat menjadi GKJB.
GKJB adalah gerakan imaji, yang saya yakin output gerakan ini bukanlah sesuatu yang asing untuk kamu pahami. Mereka berisi beberapa warga sipil yang otaknya dipenuhi dengan kreativitas penghasil karya seni. Mereka terfokus untuk membuat karya seni terapan. Yakni karya seni yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan praktis atau material. Yaa maksudnya itu berfokus pada kebergunaan, gitu.
GKJB, usaha nyeni menanggulangi lubang di jalanan Lamongan
GKJB ini bergerak secara senyap pada malam hari. Selayaknya seniman tersohor, mata mereka langsung menyala ketika melihat ada jalan berlubang. Jalan berlubang tak ubahnya kanvas putih bagi mereka. Kalau dibeberkan, beberapa karya yang berhasil mereka buat di antaranya adalah: menanam pohon pisang di setiap lubang, membuat topi ulang tahun raksasa di atas lubang, menjadikan lubang sebagai sumur. Dan, satu ide yang menurut saya brilian tapi belum direalisasikan adalah membuat kolam ikan lele di lubang jalan raya Lamongan.
Branding kuliner Lamongan sebagai kota pecel lele harus digaungkan. Pelebaran lahan kolam ikan lele tidak boleh dibatasi. Kalau biasanya orang-orang luar Lamongan punya tambak untuk membudidayakan ikan lele, maka di Lamongan ini harus beda. Bukan hanya tambak, melainkan lubang-lubang jalan raya itu harus dimanfaatkan sekalian. Bukankah begitu, Pak Bupati dan Dijten Bina Marga, yang saya hormati?
Baca halaman selanjutnya
Saya yakin, ketika GKJB melakukan pengerukan dan perluasan lubang-lubang di jalan nasional semacam jalan jurusan Babat-Lamongan, tragedi mengenaskan yang terjadi pada Rabu (20/03/2024) sekitar pukul 21.20 WIB itu takkan terulang lagi. Di mana pada tempat dan waktu yang telah saya sebutkan, telah terjadi kecelakaan tragis akibat jalan berlubang yang menewaskan pengendara motor.
Bukankah ini adalah saat yang tepat untuk menjadikan lubang-lubang kematian itu menjadi lahan pengelolaan ikan lele? Lubang-lubang itu telah banyak merenggut korban jiwa. Bukan cuma satu atau dua. Kalau tetap saja tidak ditangani dengan semestinya, maka izinkan saja para warga menyulapnya menjadi lahan budidaya. Ini win-win solution, loh. Jalannya ditutup agar tak ada lagi yang celaka, dan Lamongan pun dapat menegaskan branding kulinernya, yang ditandai dengan pasokan ikan lele yang melimpah ruah.
Kapan lagi kalau bukan sekarang?
Rusaknya jalan memang bukan kehendak kita. Datangnya hujan atau peristiwa alam lainnya pun tak bisa kita kontrol semacam “Jangan hujan lebih dari lima jam, agar tak terjadi banjir”. Tapi saya harap revolusi budidaya ikan lele melalui lubang-lubang di jalanan ini bisa mengatasi permasalahan yang ada. Sebuah permasalahan “klasik” sekaligus menyedihkan yang terjadi berulang-ulang.
Pernah saya baca sebuah kisah nyata, bahwa “orang-orang atas” takkan turun tangan sebelum sesuatu yang parah menjadi sangat parah. Di kisah tersebut, “menjadikan sesuatu tambah parah” ternyata berhasil membuat “orang atas” berbenah atas kewajiban dan tugasnya. Maka saya ulangi sekali lagi, bukankah ini adalah saat yang tepat untuk totalitas memperkuat Lamongan dengan lelenya?
Penulis: Achmad Uzair
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Di Mana Ada Lahan, di Situ Ada Warung Pecel Lele Lamongan